Pixabay.com |
TERIMA KASIH NONA SU BIKIN SAYA TERLUKA
adaku adalah lukamu,
dan pergiku adalah bahagiamu, maka aku akan pergi sejauh mata tak mampu
memandang, telinga tak mampu mendengar, kaki tak mampu melangkah, dan tangan
tak mampu merangkul, agar bahagiamu adalah bahagiaku.... Bukankah itu yang
engkau inginkan dariku?
******
“Halo nona”. “Iya kakak”, jawab suara dari
seberang telepon.
“Entar malam nona
sibuk kha? Kalau son sibuk, entar sa jemput engko di rumah, kita ke tempat
biasa”.
“Minta maaf kakak saya kecapean dan butuh istirahat”.
“Okkk baiklah”
Seakan tubuh tak
menerima jawabanmu. Namun itulah kamu, selalu punya alasan. Ini dan itu,
pokoknya banyaklah.
Hampir dua Minggu belakangan
ini aku merasakan perubahan atmosfer dalam dirimu, entah kamu merasakannya juga
atau tidak, tapi yang pastinya itulah yang aku rasakan akhir-akhir ini. Engkau
mulai membuat jarak pemisah yang cukup jauh. Seolah aku adalah orang asing
dalam hidupmu. Dan malam ini aku sengaja meneleponmu dan mengajakmu jalan,
hanya karena aku tahu bahwa hari ini genap enam tahun kita jadian, aku ingin
merayakannya bersamamu, namun sayang kamu tak dapat memenuhi permintaanku,
mungkin sibuknya kuliah dan kerja membuatmu lupa. Namun pikiranku salah dan
pada akhirnya aku mengetahui semuanya.
Baca juga:
******
Malam itu terasa hambar, keindahan bunga Edelweis lenyap
dilahap malam, mungkin malami itu lebih pahit dari pahitnya kopi Manggarai.
Kenapa tidak? Kehadiranmu hanya menambah luka, seakan engkau memangkas semua
harapan yang telah kau dan aku tabur di lahan yang sama, dan pada akhirnya kau
lebih memilih dia.... Enam tahun aku berusaha tuk merawat dan menjaga hubungan
kita, meski kerap kali kau menabur luka,
tapi hati ini berusaha untuk
bersahabat dan mengampunimu. Namun sayang tubuh yang kuat dan gagah perkasa
belum tentu memiliki hati yang kuat, seperti batu yang selalu ditetesi air,
pada akhirnya akan pecah. Kini Engkau datang dan katakan minta maaf... Sudah
cukup minta maafmu, karena toh pada akhirnya hal yang sama akan terulang lagi.
Ingat hati ini bukan dermaga yang memberikanmu tempat sandaran lalu pergi, bukan
juga terminal bagimu, setelah engkau menurunkan penumpang lama, lalu menerima
yang baru dan kemudian pergi.....
Aku ingat sebelum
matahari terbenam, Engkau katakan bahwa tubuhmu lelah dan butuh istirahat, Aku
memahaminya, karena mungkin lelah
bekerja,
tapi Aku tak memahami lagi ketika malam itu mataku menangkap Engkau sedang bercumbu
dengan dia. Dia ya dia.... Tidak adakah orang lain selain dia? Kenapa harus dia?
Apa Kau ingin menghancurkan hubungan ini? Sakit aku melihat kamu bercumbu dengan
dia, ya dia, bukan orang lain, sahabat dekatku sendiri.... Aku seakan tak
mempercayai diri sendiri... Aku bertanya pada bunga di taman dan binatang malam
yang berkeliaran, apakah ini hanyalah khayalanku? Atau pikiranku saja yang ngawur?
Mereka hanya membisu... Kepalaku hampir pecah. Aku ingin menghancurkan semua bunga di taman dan membunuh semua
bintang itu, karena tak ada yang menjawabku. Aku merasakan bahwa dunia telah
mengkhianatiku.
Aku tak ingin
persahabatanku hancur hanya karena kamu Jesi. Perempuan yang kuanggap tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku, namun aku salah, kamu hanya bunga di
taman, yang engkau sendiri cabut dari hidupku. Aku memilih mundur, karena
mungkin adaku adalah lukamu, dan pergiku adalah bahagiamu. Mungkinkah aku
lelaki yang paling malang? Terima kasih karena telah mengajarkanku arti sebuah luka. Jaga dia, dan cukup aku yang terluka. Cinta
bukan seperti ajang piala dunia, ketika
kalah lalu tersingkir, tapi cinta adalah sesuatu yang kekal dan abadi, seperti
ombak yang setia menepi pada bibir pantai.
Mungkin itu yang
aku rasakan. Aku telah masuk dalam medan asmara, menikmati senja bersamamu di
pesisir pantai, menikmati kopi di kafe
rindu, menghabiskan malam minggu bersamamu, dan bahkan setiap hari dan waktuku
ada bersamamu... Namun semuanya sia-sia, karena toh kopinya lebih nikmat dari
kopi di kafe rindu.
Ahhhhh semuanya
itu hanya masa lalu, kenapa Aku harus mengingatnya lagi, yang lalu biarlah
berlalu. Bukankah sekarang aku sudah menemukan cinta yang kekal dan abadi.
Sambil tersenyum dalam diam, aku berbisik pada diriku, Cinta-Nya lebih nikmat
dari anggur dan Ia tak akan pernah mengkhianatiku.
Romo Heri... Romo...
Romo Heri....Sentak aku kaget dari lamunanku... Bu koster tersenyum melihatku
yang tertangkap basah sedang melamun. Aku tersipu malu dan pura-pura mengelabuinya,
meskipun Aku tahu bahwa Bu koster mengetahuinya, dan aku bertanya ada apa Bu
koster? Semuanya sudah siap Romo, pasangan nikah juga sudah berada di depan
pintu gereja, kata Bu koster.... Sambil tersenyum, Aku katakan mari kita sambut
mereka dalam perjamuan suci.
_______________________________
Tentang penulis
Agus Ndiwa berasal dari Nagekeo. Tinggal di Wisma St. Agustinus Wairpelit.
0 Comments