Cerita Perempuan Kampung || Cerpen Ariano Aran

 


(sumber gambar: www.mogimogy.com)

Berkumpul merupakan moment yang paling mengasyikkan. Ketika sudah berkumpul ada-ada saja topik yang diceritakan, mulai dari selebritis-selebritis tanah air yang menikah dengan perbedaaan usia lima belas tahun, sinetron-sinetron kesukaan, ibu yang tega membuang bayinya, uang desa yang hilang tanpa tahu pencurinya, dan yang  paling hangat dibicarakan adalah masalah perselingkuhan, suami mengambil isteri orang dan isteri mengambil suami orang tanpa izin. Akh sungguh

Seperti itulah perempuan-perempuan di kampungku. Mulut-mulut mereka seperti harian Pos Kupang dan Flores Pos yang selalu memberikan informasi. Aku tak tahu dari mana mereka mendapatkan informasi-informasi itu. Jujur, aku katakan kepada kalian semua, kampungku adalah kampung yang udik. Jalan-jalan dipenuhi dengan  kerikil dan bebatuan. Listrik belum masuk. Malam hari pelita dan lantera adalah penerang yang setia, kalaupun tidak, sinar bintang dan rembulan malamlah penggantinya. Televisi pun  hanya satu, yaitu  milik bapak desa.

Kalau begitu.............................

Ah, tidak.

Hidup di kampung saja seperti ini, lalu bagaimana dengan kehidupan di kota?

    (Baca juga: Kepala Mama dan Telapak Tangan Tuhan || Puisi Manek Tatu)

Aku mulai tumbuh menjadi seorang dewasa. Seorang yang mulai mengerti tentang semuanya. Aku tahu ”mencari kutu” adalah momen perkumpulan yang paling mengasyikkan bagi peremuan-perempuan di kampungku. Dan karena kutu juga, ibuku jadi korban. Ibuku rela menghabiskan nyawanya sendiri karena tidak tahan mendengar kata-kata mereka. Ibuku digosip berselingkuh. Ironisnya ibuku digosip berselingkuh dengan bapak desa. Karena tak tahan mendengar gosip itu, ibu mengakhiri hidupnya. Kalian tak tahu bagaimana ibu mengakhiri hidupnya. Aku tak bisa menceritakannya, karena aku sendiripun tak tahu bagaimana ibu meninggal. Mungkin aku masih terlalu kecil atau aku terlalu bodoh untuk mengetahui semuanya atau mungkin polisi dan pihak yang menangani kasus ibu terlalu pintar menjelaskan padaku, hingga aku sulit untuk memahami alasan ibu meninggal dengan cara seperti itu. Kata mereka, ibu mengakhiri hidupnya sendiri. Ibu meninggal saat ia menjabat sebagai pengawas dan sekretaris desa. Sedangkan bapak desa, ia tidak pernah merasa bersalah ketika ia digosipkan berselingkuh dengan ibu. Ia biasa saja. Bahkan sibuk berkampanye kesana-kemari untuk pencalonan periode berikutnya.

“Ibu, mengapa semua ini terjadi begitu cepat. Mengapa ibu begitu rapuh. Apakah ibu takut bersuara, karena ibu seorang perempuan?”

“Ibu..................”

“Mengapa........?

Air mataku jatuh. Aku menangis. Maaf ibu, aku kembali mengingat semuanya.

Namun tenang ibu, sekarang aku tak lagi sedih, tak lagi menjatuhkan air mata. Semua ini sudah kering dalam diriku. Saat ini yang tersisa dan masih ada dalam diriku adalah sebuah pengharapan, ketika aku diijinkan untuk mengikuti ibu oleh yang Empunya kehidupan, aku berharap disaat itu aku sudah bisa tersenyum dan tertawa.

Kembali lagi ke cerita tentang kampungku dan perempuan-perempuan di kampungku. Cerita tentang bapak desa yang kembali terpilih dan cerita tentang perempuan-perempuan yang makin senang berkumpul untuk mencari “kutu”. Aku tidak tahu, seperti apa perempuan-perempuan di kampung kalian. Perempuan-perempuan di kampungku adalah  perempuan-perempuan pekerja keras. Mereka menjunjung semua beban yang dibawa ketika ke kebun atau kembali dari kebun, sehingga tidak heran bila banyak kutu di kepala mereka. “Karena terlalu sibuk bekerja, mereka lupa membersihkan kepala mereka”.

Atau............................

Akh. Bukan hanya karena mereka adalah seorang yang pekerja keras, tetetapi kampung kami masih cukup udik dan jauh dari kota sehingga perempuan-perempuan dikampungku, ketinggalan tentang info perawatan tubuh. Termasuk kebersihan rambut dan kepala. Mereka tidak seperti orang-orang kota yang selalu menggunakan produk-produk modern,” pikirku. Jika perempuan-perempuan di kota atau bahkan di kampungmu, berkumpul untuk mengadakan arisan atau memamerkan kekayaan yang mereka miliki, perempuan-perempuan di kampungku berbeda. Mereka berkumpul karena satu hal yakni “mencari kutu”.

(Baca juga: Paket Masuk || Puisi Nando Liko)

Kali ini pembicaraan mereka saat berkumpul “mencari kutu” kembali menghasilkan berita yang menghebohkan warga kampung.  Bukan lagi tentang uang desa yang hilang, bukan lagi tentang ibuku dan bukan lagi tentang perselingkuhan. Mungkin sudah biasa bagi kalian orang-orang  kota, orang-orang kaya, tetetapi bagi kami orang-orang kampung berita ini cukup menghebohkan, yakni seorang perempuan diberi begitu banyak uang untuk membeli produk-produk perawatan tubuhnya, agar memar-memar di sekitar tubuhnya bisa ditutupi. Mengherankan. Ada-ada saja cerita aneh yang muncul kalau mereka sudah berkumpul. Entahlah, aku tak tahu dari mana mereka mendapatkan berita itu. Pikiranku pun tertuju  pada satu-satunya orang  yang  memiliki televisi di kampung kami. Semoga bukan dia.

Aku kembali terkenang saat-saat bersama ibu. Ketika di dapur, aku menemaninya memasak untuk sarapan sebelum aku berangkat ke sekolah dan sebelum ibu ke kantor desa. Ketika aku atau ibu yang duluan kembali ke rumah, kami akan saling menunggu untuk santap siang bersama. Itulah saat yang tak akan pernah kulupakan. Di atas pangkuan ibu, aku dibelai dengan lembut, dengan kasih dan sayang, sambil ditemani cerita-cerita yang kadang menakutkan tetetapi kadang juga mengundang tawa. Aku bahagia mengingat semuanya itu tetapi kebahagianku kali ini ditemani dengan air mata. Akh...................

Aku kembali menangis. Namun air mata yang jatuh kali ini bukan lagi air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan. Air mata  kebahagiaan yang  jatuh membasahi kekeringan hidupku, disaat ibu tak lagi ada. Aku bersyukur karena sebelum waktu memisahkan kami, ibu sudah memberikanku kebahagiaan yang tak pernah terlupakan.

Kata-kata ibu selalu kuingat:

“Nak, menjalani hidup di kampung tak semudah kita membalikkan telapak tangan. Hidup yang paling senang sekaligus paling susah adalah hidup di kampung. Ibu tak menginginkan engkau mengikuti cara hidup ibu. Itu tergantung padamu. Ibu cuma menginginkan agar engkau menjalani hidup menurut kemauanmu, bukan orang lain. Ikuti hati nuranimu. Karena sebesar apapun tantangan dalam hidupmu, jika engkau menghadapinya dengan hati, ibu yakin semuanya pasti bisa engkau jalani. Seperti seorang yang mendaki gunung. Ketika ia  berhasil mencapai puncak, bukan gunung itu yang ia takhlukan, melainkan dirinya sendiri. Ingat itu nak.

Pesan itu selalu kuingat dan menjadi kekuatanku saat ini.

Ibu.......... aku mengerti.

 Tetapi yang namanya hidup, tidak terlepas dari dua pilihan. Kita harus menggenggam yang satu dan melepaskan yang lain dari keduanya. Terkadang pilihan yang terbaik adalah pilihan yang tidak biasa,” sebuah tulisan seorang penyair yang aku temukan di dalam laci meja ibu. Sangat tepat untukku karena seperti itulah yang kualami.

Baiklah, dengan mengingat pesan ibu, akhirnya aku berani memilih. Sebagai seorang perempuan, aku memilih untuk menjauh dari perempuan-perempuan di kampungku.

Aku tak mau seperti mereka, berkumpul hanya untuk mencari kutu dan menyebarkan berita-berita yang mungkin benar mungkin pula salah. Itu tidak penting bagiku.

Aku memilih untuk menggunduli kepalaku. Dengan begitu, tak ada perempuan lain yang mengajakku bergabung ataupun mendekatiku. Memang sulit bagi seorang perempuan untuk menjalani hidup sendiri. Namun, demi sebuah kebahagiaan dan demi sebuah kebenaran aku sanggup menjalaninya.

Seperti kata ibu: ”Bukan dunia yang ditaklukan tetapi diriku sendiri yang hidup dalam dunia.”

 


Ariano Aran atau yang biasa disapa Ari, lahir di Boru pada 25 Juni 1997. Saat ini penulis tinggal di Wisma St. Agustinus Ledalero dan sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.  

 

Post a Comment

0 Comments