Tentang Jiwa yang Hampir Hilang || Cerpen Fand Wasa

 


(Sumber gambar: depositphotos.com)


Sajak masih terlalu kaku untuk bersua kala sang fajar  belum sempat menampakan diri, mungkin karena takut pada raga yang masih indah pada alam mimpi. Itu mungkin. Sepi adalah nada yang tak lekas tumbuh dari serangkaian kata musafir yang masih jauh dari benar. Sempat dia meragukan dirinya untuk melihat fajar. Mungkinkah ada kebaikan di sana? Ragunya menjadi semakin kuat manakala rasa tak sehangat dinding rahim sang ibunda.

Ragunya semakin mencuat, memaksa waktu tuk berbalik arah, serasa ada pelatuk yang sudah siap meluncurkan peluru manembus jiwa lisu ini. Sontak terlintas dalam benak ramalan Simeon tentang diri Sang Ibunda “Sebilah pedang akan menembusi jiwa.” Ketakutanku semakin memuncak mungkin pedang yang sama akan membela jiwa rapuhku ini. Raguku ini semakin menakutkan. Aku harus menghalau arah kelamku ini. Namun fajar masih teramat indah, menorah kisah pada awal sebuah langkah.

Tangisan berderai. Jiwa lisu telah terbungkus badan. Tak terlihat arti dalam setiap kata atau tawa. Nada mayor seakan terasa lebih keras lantunannya sedang sang minor berdiam menunggu sambil berbincang pada waktu, berikan aku dirimu karena dia ada karena aku. Serasa lamunanku waktu malam adalah salah. Karena pedang bahkan peluru tak malu mengundurkan diri, mengalah pada sang fajar. Benarkah demikian? Raguku kembali bersenandung namun larut dalam hangatnya dada sang ibu. Tawa ria menyelimuti setiap sapa salam dari jwa-jiwa yang sedang mengembara menyakinkan aku akan kasih selembut sutra yang sedang kualami ini. Ya.. dia memang indah bahkan serasa dia memang lebih indah. Kuyakinkan raguku.

(Baca juga: Cerita Perempuan Kampung || Cerpen Ariano Aran) 

***

Mungkin sang minor telah sempat merebut hati sang waktu. Sang minor kini telah memenangkan waktu. Seakan waktu dimilikinya secara utuh tanpa ada separuh dibiarkannya dimiliki mayor. Kau terlalu lama menggenggamnya, kata si minor pada si mayor. Bisakah kita memilikinya secara bersama karena itu akan menjadikan harmoni yang indah, tawar sang mayor. Tidak. Akulah yang pantas memilikinya. Sang mayor akhirnya mengalah, sedang sang minor mulai menari, menyusun setiap tapak yang akan dilaluinya setelah ini.

Perlahan mengikis tawa. Menumbuhkan air mata. Tapi tak seindah fajar yang sempat terekam rasa yang katanya selalu hangat. Perlahan jiwa mulai kedinginan kala selimut yang janjinya selalu menghangatkan mulai hilang terkikis nada minor yang terlalu keras dikumandangkan. Sampai nada tak bersuara.

“Ini (anak) apa?” Tanya dia pada ibu tentang aku. Ahhh inikah pedang yang kau maksudkan hai Simeon? Mungkin kau salah orang Simeon. Bukan aku yang harus memilikinya. Sempat aku protes. Serasa waktu tak adil memberiku hanya sedikit dari hangatnya. Untuk apa kau sajikan harapan yang terlalu dalam untuk kurasa. Kau berbohong. Pintaku. Tidak, aku  tidak berdusta. Sanggah sang waktu. Akupun sedang berjuang. Tambahnya. Ahhhhh…. biarlah. Mungkin benar aku terlalu lama memilikinya.

***

Setiap deru langkah terlalu kabur untuk kulalui. Bahkan ketika anjing menggonggong semua bernazar tentang saat kepergianku. Dia sudah berlalu. Ya..Demikianlah bunyi nazar itu. Ahhhhh berapa pedang yang telah kau tancapkan pada jiwa rapuhku. Terlalu dalam kau tusuk dan kau biarkan untuk kutanggung sendiri  tanpa harus kuberhenti sejenak untuk kumiliki sebutir embun ‘tuk segarkan jiwa laraku.

Akupun mulai mempersalahkan diriku yang sempat ragu pada “ragu” ku yang pernah berkata tentang piluh, dan juga kepada Simeon yang terlau lancang berkata tentang pedang dan jiwa. Bagaimanakah harus kuungkapkan sedang kata tak kau ijinkan untukku punya. Bagaimana harus kuutarakan sedang yang kumiliki hanyalah selembar kulit yang masih setia membalut tulang yang sudah sempat rapuh oleh kejamnya pedang yang katamu adalah punyaku. Dan akupun tersadar bahwa aku tak layak memiliki semuanya. Ahhhhh “ragu” aku bersalah padamu. Aku berdiam pada diam yang sedari tadi menemaniku dalam kehampaan. Sang minor bersorak, merayakan kemenangannya.

***

Samar si mayor bangkit. Dari sebutir nasi dia berkata aku tak akan menyerah. Lingkaran yang  kami duduki itu, dalam diam yang teramat mencekam, sunyi mulai bergemuruh, terbersit secercah harapan akan kembalinya jiwa padaku yang sempat hilang dalam rangkulan sang minor. Dalam gerak kaku kuraih sebutir nasi pada tempurung tua yang sedari tadi sempat tersaji. Dari pangkuan hangat kupandang cahaya pada mata jiwa orang sekitar. Semua meneteskan air mata.

Mengapa kalian menangis? Mengapa kalian bersedih? Apakah aku tak boleh mengemis pada sebutir nasi ini? Tidak!. Mayor berbisik lembut. Mereka bahagia. Kau layak memilikinya. Kini aku yang terdiam dalam kebingunganku. Apa maksudmu? Tanyaku pada dia tanpa kata. Dia menjawab dalam seuntaian kata sarat makna. Kau telah memilikinya. Aku masih terdiam. Apakah yang layak kumiliki? Apakah goresan pedang yang masih membekas pada jiwa atau ragu yang masih bertaut dalam waktu?

Aku tersadar dari pra-sadarku. Aku tersenyum, hendak menertawakan diriku sendiri. Ahhhh betapa rumitya nada itu. Sulit dimengerti  jiwa yang hanya bertaut dalam pedang dan ragu. Aku kembali melantunkan nada mayor itu. Namun aku tak mau egois. Kusisipkan juga minornya. Karena aku pernah ada dalam genggamannya. Dan aku sadar bahwa hitam putih pada tuts hidupku jika kurangkai dalam nada akan menjadi harmoni yang indah. Rahim ibu dan jeri ayah telan menuntunku pada tapak yang sedang kujejaki.



Fand Wasa, Mahasiswa STFK Ledalero. Penulis buku Antologi Puisi dan Cerpen bersama Ama Colle “Langit Rindu.”Saat ini berdomisili di Unit St. Agustinus.

Post a Comment

0 Comments