MEMBACA PUISI “PERTEMUAN” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DALAM TERANG PSIKOLOGI SASTRA


www.idntimes.com. puisi-sapardi-djoko-damono.

Membaca Puisi “Pertemuan” Karya Sapardi Djoko Damono dalam Terang Psikologi Sastra
(Sebuah tanggapan atas ulasan Fr. Ando Sola, SVD dalam puisi “Pertemuan” karya Sapardi Djoko Damono)

Oleh: Fr. Epi Muda, SVD 

1. Pendahuluan

  Manusia sebagai makhluk berrasional selalu menampilkan diri layaknya pribadi yang berkreatif. Kreativitas manusia sebagai pribadi yang terus mencari makna dalam kehidupannya. Pemaknaan yang diambilnya tentunya mengarahkan dirinya untuk bertumbuh menjadi pribadi yang ideal dalam setiap perjalanan hidupnya. Tidak dipungkiri lagi bahwa kemauan dari dalam diri manusia juga turut membentuk dirinya.

  Dengan demikian realitas mengatakan bahwa setiap pribadi manusia menghadirkan situasi sebagai bentuk pengenalan akan dirinya. Setiap situasi yang ada selalu keterkaitan satu sama lain. Misalnya memanfaatkan situasi untuk mengembangkan potensi diri yang ada dalam dirinya, seperti membaca atau menulis. Kiblat ke-kita-an dalam diri setiap individu secara langsung mempertegas eksistensi diri sebagai makhluk rasional.[1]  Pekerjaan membaca dan menulis merupakan suatu pekerjaan yang cukup berat. Tetapi karena kecintaan akan pengetahuan yang tinggi, pada akhirnya membawa dirinya terjun dalam berbagai ilmu pengetahuan, salah satunya dunia kesusastraan.

  Dalam dunia kesusastraan, membaca dan menulis sangat diperlukan. Budi Darma dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, mengatakan bahwa menyelami dunia sastra tidak serumit yang dibayangkan. Berkecimpung dalam dunia sastra sama dengan mengembangkan kreativitas penciptaan seseorang, entah menulis puisi, drama, novel, atau cerpen[2]. Maka, ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan.

   Dalam dunia kesusastraan, baik filsafat maupun sastra berhubungan dengan hal yang sama yaitu pencarian makna. Namun, sastra kiranya lebih dekat dengan keindahan sementara filsafat lebih condong pada kebenaran. Dalam sastra, makna ingin diekspresikan secara indah, sementara dalam filsafat, orang berusaha mencari makna yang benar. Lebih lanjut psikologi sastra juga merupakan kajian sastra yang pusat perhatiannya pada aktivitas kejiwaan baik dari tokoh yang ada dalam suatu karya sastra, pengarang yang menciptakan karya sastra, bahkan pembaca sebagai penikmat karya sastra[3]. Psikologi sastra sangat menekankan peranan kejiwaan seseorang entah itu penulis atau pembaca. Pemaknaannya pun berdasarkan gejolak jiwa yang terdalam. Maka, sangatlah urgen menghadirkan perasaan atau kejiwaan saat menyelami atau menulis suatu karya sastra.  Oleh karena itu, judul yang diberikan dalam tulisan ini, “Membaca Puisi “Pertemuan” Karya Sapardi Djoko Damono dalam Terang Psikologi Sastra”

2. Membaca Puisi “Pertemuan” Karya Sapardi Djoko Damono dalam Terang Psikologi Sastra

2.1. Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono

   Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, tepatnya Ngadijayan, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940. Sapardi merupakan putra sulung. Ayahnya bernama Sadyoko, dan ibunya bernama Saparian. Sapardi menikah dengan seorang wanita yang dikenal sebagai Wardiningsih. Ia dan istrinya dikaruniai dua orang anak, yaitu Rasti Sunyandani (perempuan) dan Rizki Henriko laki-laki)[4].

   Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus dari SMP Negri 2 Surakarta pada tahun 1955 dan SMA Negri 2 Surakarta pada tahun 1958 ). Selama hidupnya, ia telah menulis sejumlah karya yang telah dikirimkan ke majalah. Ketertarikannya dalam menulis berkembang ketika ia belajar bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 menjabat di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Selama waktu itu ia juga editor majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam". Sapardi Djoko Damono menerima banyak penghargaan. Pada tahun 1986 SDD menerima SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah satu pendiri Yayasan Lontar. Sapardi meninggal dunia pada Minggu, 19 Juli 2020[5].


2.2.  Puisi “Pertemuan”

Perempuan mengirim air matanya

Ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan

ke landasan cakrawal; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala

 

lelaki tak pernah menoleh

dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan,

hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana.

 

dan serbuk-serbuk hujan

tiba dari arah mana saja (cadar bagai Rahim yang terbuka, udara yang jenuh)

ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini.

 

-1968-

2.2.1.  Pemaknaan puisi “Pertemuan” karya Sapardi Djoko Damono dalam terang  psikologi sastra

         Ketika para pembaca atau pengulas sebuah karya sastra, pada hakikatnya mereka bertujuan menikmati, mengapresiasi atau bahkan mengevaluasi karya sastra tersebut. Hal ini berarti mereka bergumul dengan para tokoh atau penokohan, setiap kata dan makna yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Dengan demikian ditampilkan watak, perilaku dan kejiwaan serta pengalaman psikologi atau konflik-konflik yang sebagaimana dialami oleh manusia di dalam kehidupan nyata.

         Oleh karena itu, penting kiranya bagi setiap orang yang bergumul dengan bidang sastra untuk memahami lebih jauh latar belakang kejiwaan serta akibat yang menimpa para tokoh tersebut. Sapardi dalam puisinya berjudul “Pertemuan”, dengan gamblang mengisahkan tentang kedua pribadi yang saling rindu dan mengobati rindu. Di sini terlihat jelas psikologi sastra mengambil peran penting karena setiap bait puisi menggambarkan kejiwaan seseorang entah dia sebagai penulis maupun orang yang membaca karyanya atau orang yang menggali makna dalam karyanya. Endraswara menjelaskan bahwa psikologi sastra dianggap sangat penting karena

               Pertama, karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar dalam penciptaan karya sastra.Kedua, mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama, yang berada dalam keadaan sadar. Bisa terjadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat baik, namun setelah berada dalam situasi kedua menjadi kacau, sehingga mutu karya tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan penulis menata dan mencerna perwatakan dan menyajikannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Ketiga, perlu mendapat perhatian dan penelitian yakni makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra[6]

          Sebelumnya, penulis ingin menyampaikan bahwa penulis tidak mengulas puisi dengan melihat berbagai unsur di dalamnya secara teori yang ketat tetapi sekedar memaknai setiap tulisan dalam puisi terebut. Dalam puisi “Pertemuan” karya Sapardi Djoko Damono, penulis hanya memaknai setiap alur perstiwa dan makna setiap kata serta kalimat. Penulis mencoba memaknainya sejauh yang penulis memahaminya dan mengerti akan isi serta alur cerita dalam puisi terebut. Untuk itu, penulis menampilkan pergolakan kejiwaan dari setiap tokoh yang ada dalam bait-bait puisi tersebut.



2.2.2.      Kerinduan Seorang Perempuan

Perempuan mengirim air matanya

Ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan

ke landasan cakrawal; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala

Dalam bait puisi di atas, Sapardi menunjukkan sikap perempuan yang selalu rindu akan kehadiran sang kekasih yang dicintainya. Seperti halnya rindu itu berat kata Dilan. Setiap manusia pasti memiliki kerinduan, entah rindu dengan pribadi seseorang yang dicintainya atau bentuk kerinduan yang lainnya. Tentunya dalam situasi kerinduan tersebut selalu dibarengi dengan penantian, dalam hal ini ingin bertemu.

Sapardi menggambarkan bahwa sikap kerinduan dari seorang perempuan selalu ditunjukkan lewat air mata yang berguguran, (Perempuan mengirim air matanya). Ini merupakan sebuah cara yang ampuh untuk mengobati rasa rindunya. Perempuan menganggap bahwa air mata sebagai bentuk ungkapan isi hatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam situasi seperti itu, perempuan menganggap bahwa air matanya merupakan sebuah doa. Barangkali perempuan berdoa agar sang kekasihnya bisa mengetahui bahwa ia sedang rindu akan kehadirannya (ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan ke landasan cakrawal).

Selain itu, Sapardi juga menggambarkan tempat yang biasa digunakan perempuan untuk meluapkan rasa rindunya. Sapardi melihat bahwa tempat yang cocok untuk perempuan meluapkan rasa rindunya adalah saat berada di atas tempat tidur ketika kepalanya di atas bantal (kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala). Saat-saat seperti ini dalam alam pikirannya hanya dipenuhi dengan rasa rindu. Secara kenyataan perempuan tentunya rindu agar bisa tidur bersama dengan kekasihnya, mengalami bagaimana menjalin kemesraan dengan kekasihnya. Setidaknya perempuan rindu akan pelukan hangat sosok yang dicintainya.

2.2.3.      Kesibukan Seorang Laki - Laki

lelaki tak pernah menoleh

dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan,

hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana.

Pada bait puisi kedua di atas, Sapardi menggambarkan eksistensi seorang laki-laki sebagai pribadi yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Secara kenyataan bahwa setiap pribadi laki-laki adalah pekerja keras. Karena tanggung jawab laki-laki adalah menjaga supaya asap di dapur selalu mengepul alias mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.

Sapardi melihat bahwa laki-laki ketika melakukan suatu pekerjaan, ia selalu fokus dengan pekerjaannya sehingga ia jarang memberikan kabar kepada sang kekasihnya (lelaki tak pernah menoleh).  Hal ini bukannya laki-laki tidak merindukan kekasihnya tetapi kerinduannya ditunjukkan dengan tanggung jawab dalam setiap pekerjaannya (dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan). Ini merupakan kerinduan yang terdalam seorang laki-laki. Rindu agar keluarganya dapat bahagia dengan kehidupan mereka.

Sapardi melihat bahwa setiap jejak kaki laki-laki sebagai bentuk perjuangan seorang laki-laki dalam memenuhi kebutuhan keluarganya atau orang yang dicintainya. Pendasarannya bahwa seorang laki-laki adalah tiang pokok yang menopang kehidupan keluarga atau sang kekasihnya. Mengapa? Karena dalam diri laki-laki terdapat nilai tanggung jawab (melebat hutan-hutan).

Dalam perjalanan waktu, keputusan yang diambil seorang laki-laki adalah pulang melihat kekasihnya atau keluarganya sekaligus melepas rindu. Sapardi kembali menghadirkan tempat yang sangat ideal, tempat awal terjadi perpisahan yang menyisakan rindu dan tempat akhir melepas rindu (hibuk pelabuhan-pelabuhan). Pelabuhan adalah tempat terjadi perpisahan yang menyisakan rindu dan sekaligus tempat melepas rindu/rindu terobati.

Di sini akan terjadi tatapan mantap yang menggambarkan pemenuhan kerinduan. Laki-laki menatap mata kekasihnya adalah keteduhan yang menjanjikan rindu untuk dipeluk, dimanja, dan dibelai. Ini merupakan suatu kerinduan seorang perempuan. Sedangkan perempuan menatap mata kekasihnya sebagai pribadi yang bertanggung jawab, keras dan setia mencintainya dengan cara kesetiaannya dalam bekerja (di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana).

2.2.4.      Melepaskan Rindu Bersama 

dan serbuk-serbuk hujan

tiba dari arah mana saja (cadar bagai Rahim yang terbuka, udara yang jenuh)

ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini.

Pada bait puisi ketiga di atas merupakan sebuah kesimpulan atau penutup. Sapardi mengakhiri puisinya dengan menampilkan kedua sosok yang saling mencintai dengan penuh mesra setelah adanya perasaan saling rindu. Di sini terdapat pelampiasan akan kerinduan yang terpendam. Tentunya pelampiasan ini merupakan kepenuhan hasrat yang nantinya mengobati rasa rindu mereka.

Perempuan, selama kekasihnya berada di tempat yang jauh, rasa rindunya selalu membara. Sangat jelas perempuan dengan ketulusan hatinya tetap menunggu meskipun pekerjaan menunggu itu menyakitkan. Laki-laki, selama berada di tempat yang jauh atau tanah perantauan selalu sibuk dengan pekerjaan sehingga rasa rindunya untuk selalu berada di samping kekasihnya sedikit buram. Tetapi selebihnya dia menunjukkan kerinduannya dengan terus bekerja memenuhi kebutuhan hidup keduanya. Sedangkan perempuan menanti kedatangan kekasihnya dengan terus merindu. Dia mencintai kekasihnya dengan duduk merindu. Barangkali dia merasa puas kalau menghadirkan sosok kekasihnya dalam setiap kerinduannya.

Ketika keduanya bertemu, dengan sendirinya setiap kerinduan yang didulang pada saat mereka berpisah, akhirnya bergejolak dari dalam diri mereka. Rindu yang selalu menyiksa diri akhirnya juga luluh saat mata saling menatap (dan serbuk-serbuk hujan tiba dari arah mana saja). Sapardi menggambarkan kondisi pada saat sebelum mereka bertemu, di mana dengan menghadirkan hujan sebagai disposisi batin yang selama ini selalu merindu. Hujan di sini menggambarkan pengalaman hidup kedua pribadi (perempuan dan laki-laki) yang menyakitkan, menyedihkan, dan menyiksa karena ada jarak yang memisahkan.

Untuk itu, Sapardi kemudian menghadirkan suasana baru, sebagai kelahiran baru saat keduanya bertemu. Ini menunjukkan adanya kerinduan untuk mengobati luka yang selama ini terkubur dalam diri mereka (cadar bagai Rahim yang terbuka, udara yang jenuh ketika mereka berjumpa. Pada saat rindu mereka terobati, keduanya akhirnya menghabisi waktu entah dengan saling bermesraan. Itu rahasia mereka berdua. Dengan demikian tempat yang Sapardi hadirkan lagi yakni ranjang (Di ranjang ini). Ini merupakan tempat yang paling ideal untuk saling melepas rindu selain tempat-tempat yang lain.

3. Penutup

Psikologi sastra merupakan kajian sastra yang pusat perhatiannya pada aktivitas kejiwaan baik dari tokoh yang ada dalam suatu karya sastra, pengarang yang menciptakan karya sastra, bahkan pembaca sebagai penikmat karya sastra. Terlihat jelas peranan kejiwaan mengambil posisi untuk mengenal setiap pribadi yang ada dalam setiap bait-bait puisi atau karya sastra lainnya. Psikologi sastra kembali hadir dengan menekankan disposisi jiwa dalam bingkai pengenalan pribadi lebih dalam.

Penting kiranya bagi setiap orang yang bergumul dengan bidang sastra untuk memahami lebih jauh latar belakang kejiwaan serta akibat yang menimpa para tokoh tersebut. Sapardi dalam puisinya berjudul “Pertemuan”, mengisahkan tentang kedua pribadi yang saling rindu dan mengobati rindu. Di sini terlihat jelas psikologi sastra mengambil peran penting karena setiap bait puisi menggambarkan kejiwaan seseorang entah dia perempuan atau laki-laki.

Biodata

Fr. Epi Muda, SVD adalah Mahasiswa aktif tingkat 2 di STFK Ledalero. Hobinya adalah beladari dan menekuni sastra secara mandiri di Wisma SVD St. Agustinus Wairpelit. Sehari-hari Penulis bertugas sebagai penjaga Kapela dan sesekali menekuni dunia Kontemplasi.


Daftar Pustaka

Buku

Darma, Budi, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Penerbit Kompas, 2019.

Minderop, Albertine, Psikologi Sastra, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

Majalah

Hubert Daut, “Celakalah Kita? (Meneropong Manusia di Hadapan “Perang Baru” dan “Senjata Baru”)”, VOX 65/01/2020, hlm. 5.

.

 

Sumber Internet

Deeva Collection, “Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono”, dalam deevacollection, https://www.deevacollection.com/2021/09/biografi-singkat-sapardi-djoko-damono.html, diakses pada 24 Oktober 2021.

 

https://jv.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono, diakses pada 23 Oktober 2021.



[1] Hubert Daut, “Celakalah Kita? (Meneropong Manusia di Hadapan “Perang Baru” dan “Senjata Baru”)”, VOX 65/01/2020, hlm. 5.

[2] Budi Darma, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Penerbit Kompas, 2019), hlm. 185.

[3] Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 1.

[4] Deeva Collection, “Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono”, dalam deevacollection, https://www.deevacollection.com/2021/09/biografi-singkat-sapardi-djoko-damono.html, diakses pada 24 Oktober 2021.

[6] Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 15.

Post a Comment

0 Comments