1.
Biografi
Singkat
Arthur
C. Danto adalah seorang filsuf Amerika yang dikenal karena kontribusinya dalam
estetika, filsafat seni, dan filsafat sejarah. Ia lahir pada tanggal 1 Januari
1924 di Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat. Danto tumbuh dalam keluarga
Yahudi dan memiliki minat yang mendalam dalam seni sejak usia muda.
Pada
tahun 1948, Danto meraih gelar sarjana di bidang seni dari Wayne State
University. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di bidang filsafat dan meraih
gelar M.A. pada tahun 1949 dari Universitas Columbia dan gelar Ph.D. pada tahun
1952 dari Universitas Columbia juga. Danto menjadi profesor filsafat di
Universitas Columbia dan mengajar di sana selama beberapa dekade.
Dalam
karya-karyanya, Danto menggabungkan pemikiran filsafat dengan pemahaman
mendalam tentang seni. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam
estetika dan filsafat seni kontemporer. Salah satu karya pentingnya adalah buku
berjudul “The Transfiguration of the Commonplace” yang diterbitkan pada
tahun 1981. Buku ini membahas tentang hubungan antara objek seni dan objek
sehari-hari, serta perubahan paradigma dalam pemahaman tentang seni.
Danto
juga terkenal karena kontribusinya dalam filsafat sejarah. Ia mengembangkan
konsep “teori sejarah” yang mengajukan bahwa pengertian tentang seni dan
perkembangannya terkait erat dengan konteks sejarah dan perkembangan budaya.
Danto berargumen bahwa tidak ada definisi tunggal tentang seni yang dapat
mencakup semua bentuk seni sepanjang sejarah.
Selama
kariernya, Danto menerbitkan banyak artikel dan buku tentang seni dan filsafat.
Ia juga menjadi kontributor tetap untuk jurnal filosofi terkemuka, seperti The
Journal of Philosophy. Danto dianugerahi berbagai penghargaan, termasuk
penghargaan “Distinguished Lifetime Achievement” dari American Society
for Aesthetics pada tahun 2005.
Arthur
C. Danto meninggal dunia pada tanggal 25 Oktober 2013 di Kota New York, Amerika
Serikat. Warisannya sebagai filsuf dan kritikus seni terus dihormati dan
dipelajari oleh para akademisi dan penggemar seni di seluruh dunia.
Karya-karyanya terus mempengaruhi perkembangan estetika dan filsafat seni
kontemporer[1].
2.
Pandangan-pandangan
Arthur Danto
Arthur
Danto memulai kritik dan filsafat seni kontemporer dengan mengambil peran
sebagai seorang kritikus seni. Pada awal karirnya, ia menulis kritik seni untuk
berbagai publikasi, termasuk majalah seperti The Nation dan Artforum.
Danto sangat tertarik pada seni kontemporer dan pergeseran paradigma yang
terjadi dalam dunia seni pada saat itu.
Puncak
perubahan paradigma tersebut terjadi ketika Danto mengunjungi pameran seni yang
diadakan di Galeri Stable pada tahun 1964. Dalam pameran tersebut, ia melihat
karya seni yang tampak sangat sederhana, seperti sebuah rak kayu dan sebuah cat
semprot. Karya-karya tersebut tidak memiliki keindahan formal yang jelas, dan
Danto menyadari bahwa penilaian seni tidak lagi dapat bergantung pada kualitas
estetis intrinsik objek tersebut.[2]
Pengalaman
ini mendorong Danto untuk mengembangkan teori institusional dalam pemikirannya
tentang seni kontemporer. Ia menyadari bahwa seni tidak lagi terikat pada
aturan formal atau keindahan tradisional, melainkan lebih terkait dengan
konteks institusional, pemahaman konseptual, dan kontribusi terhadap diskursus
artistik.
Dalam
bukunya yang berjudul “The Transfiguration of the Commonplace” (1981),
Danto mengembangkan gagasan-gagasannya lebih lanjut tentang teori institusional
dan peran konteks dalam menentukan apa yang dapat dianggap sebagai karya seni.
Karya ini menjadi landasan penting dalam pemikiran dan kontribusinya dalam
filsafat seni kontemporer.
Danto
terus mengembangkan ide-idenya melalui tulisannya yang luas tentang seni dan
estetika. Ia mengeksplorasi konsep seperti “akhir sejarah seni” dalam bukunya
yang berjudul “After the End of Art” (1997), serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang identitas, representasi, dan
interpretasi dalam seni kontemporer.
Dengan
kritik dan filsafat seni kontemporer yang inovatif, Danto memberikan sumbangan
penting dalam memahami pergeseran paradigma seni dan membuka jalan bagi
eksplorasi lebih lanjut dalam bidang seni kontemporer.
3.
Seni
Kontemporer menurut Danto
Dalam
bukunya yang berjudul “After the End of Art” (1997), Arthur Danto
mengajukan konsep “akhir sejarah seni” (the end of art). Namun, perlu
dicatat bahwa judul buku tersebut sering kali membingungkan karena istilah
“akhir sejarah seni” tidak mengindikasikan bahwa seni tidak lagi ada atau
berhenti berkembang. Sebaliknya, Danto menggunakan istilah tersebut untuk
menyiratkan perubahan paradigma dalam perkembangan seni.[3]
Dalam
bukunya, Danto berpendapat bahwa perubahan penting terjadi dalam seni pada
tahun 1960-an, ketika seni konsep muncul sebagai aliran utama. Menurut Danto,
seni konsep menghasilkan karya-karya yang tidak lagi terikat pada atribut fisik
atau estetis tradisional. Sebagai contoh, ia menyebut karya-karya seni seperti
kotak kosong atau benda-benda sehari-hari yang dianggap sebagai karya seni
karena ide atau konsep yang mereka wakili.
Danto
berpendapat bahwa dengan munculnya seni konsep, seni mencapai suatu titik di
mana itu tidak lagi berkembang melalui perubahan formal atau teknis. Ia
menyatakan bahwa seni telah mencapai tingkat reflektivitas yang tidak dapat
ditembus oleh aliran seni masa lalu. Dalam pandangan Danto, hal ini menandakan
“akhir” sejarah seni, bukan dalam arti bahwa seni berakhir secara fisik, tetapi
dalam arti bahwa seni mencapai puncak evolusinya dan berada pada tingkat
refleksi konseptual yang lebih tinggi.
Danto
juga mengklaim bahwa setelah “akhir sejarah seni”, seni tidak lagi memiliki
arah atau tujuan yang jelas. Sebagai gantinya, seni menjadi lebih pluralistik
dengan banyak arah dan pendekatan yang berbeda. Karya seni kontemporer dapat
mencakup berbagai medium, ide, konsep, dan pendekatan artistik yang tidak
terbatas oleh aturan formal atau konvensi tradisional.
4.
Teori Institusional dalam Seni
Arthur
Danto memulai pandangannya tentang teori institusional dalam karya seni setelah
mengunjungi sebuah pameran seni di Galeri Stable pada tahun 1964. Pameran
tersebut menampilkan karya-karya seni yang tampak sangat sederhana, seperti rak
kayu dan cat semprot. Dalam pengamatannya, Danto menyadari bahwa penilaian seni
tidak lagi tergantung pada kualitas estetis intrinsik objek tersebut.
Pengalaman
itu menjadi titik awal bagi Danto untuk mempertanyakan konsep seni dan
mengeksplorasi peran konteks institusional dalam menentukan status seni. Ia
menyadari bahwa penentuan apakah sebuah objek dapat dianggap sebagai karya seni
tidak hanya bergantung pada kualitas fisik atau estetisnya, tetapi juga pada
pengakuan dan penempatannya dalam konteks institusional seni.
Danto
kemudian mengembangkan konsep teori institusional seni dalam tulisannya yang
terkenal, “The Artworld” (1964). Dalam artikel ini, ia menjelaskan bahwa seni
kontemporer lebih terkait dengan institusi seni, seperti galeri, museum,
kritikus, dan komunitas seni, yang memberikan legitimasi dan konteks bagi
sebuah objek untuk dianggap sebagai karya seni.
Danto
berpendapat bahwa objek seni dan objek yang bukan seni secara fisik bisa
serupa, namun perbedaan terletak pada bagaimana objek tersebut diakui oleh
institusi seni. Ia mengemukakan bahwa konteks institusional membentuk penilaian
tentang apa yang dianggap sebagai seni, dan penentuan status seni suatu objek
melibatkan proses pengakuan oleh komunitas seni.[4]
Melalui
pemikiran teori institusional, Danto berusaha menunjukkan bahwa seni tidak lagi
terikat pada aturan formalisme atau keindahan tradisional, melainkan lebih
terkait dengan pemahaman konseptual, peran institusi seni, dan kontribusi
terhadap diskursus artistik. Pandangan ini membuka jalan bagi perluasan batasan
seni dan eksplorasi lebih lanjut dalam seni kontemporer.
Danto
terus mengembangkan konsep teori institusional dalam tulisannya selanjutnya,
termasuk dalam bukunya yang terkenal, “The Transfiguration of the Commonplace”
(1981), yang memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran konteks
institusional dalam seni kontemporer.
5.
Pengaruh
George Dickie
Filsuf
yang mempengaruhi Arthur Danto dalam memulai pandangannya tentang teori
institusional dalam seni adalah George Dickie. George Dickie adalah seorang
filsuf seni yang dikenal dengan kontribusinya dalam mengembangkan teori
institusional seni.
Danto
dipengaruhi oleh pandangan Dickie tentang penentuan status seni oleh institusi
seni. Dickie mengajukan gagasan bahwa status seni suatu objek tergantung pada
pengakuan dan penempatan objek tersebut dalam konteks institusi seni yang
relevan. Menurut Dickie, jika objek diakui dan dianggap sebagai karya seni oleh
komunitas seni yang berwenang, maka objek tersebut dapat dianggap sebagai karya
seni.[5]
Pemikiran
Dickie tentang teori institusional seni memberikan dasar bagi Danto dalam
memahami peran konteks institusional dalam penentuan status seni. Danto
mengadopsi dan mengembangkan konsep ini lebih lanjut dalam pandangannya tentang
seni kontemporer.
Danto
menyebut Dickie dalam tulisannya dan mengakui pengaruh penting yang Dickie
berikan terhadap pemahaman Danto tentang teori institusional. Karya-karya
Dickie, terutama artikelnya yang terkenal “Defining Art” (1969), memberikan
landasan bagi Danto untuk mengembangkan pandangannya sendiri tentang bagaimana
konteks institusional mempengaruhi penilaian dan penentuan status seni.
6.
Catatan
Kritis
Sebagai
seorang filsuf sekaligus pegiat dan kritikus seni, Arthur Danto telah
memberikan kontribusi yang hemat saya cukup besar terutama pada bidang seni dan
estetika. Arthur Danto merintis sebuah konsep yang sampai saat ini masih
berkembang dan terus dihidupi oleh seniman-seniman abad ini. Pendapatnya yang
mengatakan segala sesuatu dapat menjadi karya seni tergantung pada pengakuan
dari “artworld” atau lingkungan seni benar-benar mempengaruhi konsep sebagian
besar orang di zaman ini, termasuk para seniman itu sendiri. Seni terkadang
tidaklah melulu soal mimesis dan keindahan visual belaka, tetapi juga tentang
konsep dan pengakuan. Oleh karena itu, banyak karya seni kontemporer yang tidak
menonjolkan keindahan visual semata, tetapi lebih berkembang ke arah yang
minimalis dan konseptual.
Teori
institusional dalam seni Arthur Danto hemat saya memang sangat relevan dengan perkembangan
seni sekarang ini. Namun, ada sebuah celah yang ditinggalkan Arthur Danto dalam
teorinya tersebut. Kelemahan teori ini justru terletak pada pengakuan oleh institusi
dan artwold itu sendiri. Apakah sebuah karya seni baru benar sebagai
karya seni jika ia diakui oleh institusi dan lingkungan/komunitas seni? Apakah keindahan harus diakui dulu oleh
sejumlah otoritas, baru bisa kita katakan sebagai yang indah? Bagaimana dengan keindahan
yang menyentuh batin kita, yang tanpa perlu diketahui atau ditemukan oleh institusi,
telah mengundang kita untuk mengaguminya?
Salah satu kelemahan lain yang besar kemungkinannya akan lahir dari teori institusional Arthur Danto ini adalah munculnya peluang penyelewengan demi kepentingan beberapa otoritas. Bisa saja, ada yang sengaja mengendalikan institusi seni untuk kepentingannya sendiri. Hal yang sesungguhnya tak bisa dianggap seni, bisa saja dianggap seni dan diletakkan di museum untuk mendapatkan uang bagi kepentingan institusi.
Penulis
Ivan Mali, saat ini menjalankan pendidikan di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. selain menulis, dia juga senang melukis
[1] https://feelsafat.com/2022/03/arthur-danto.html
[2] Ibid.
[3] Arthur Danto, “The End of
Art: A Philosophical Defense”, History and Theory, Vol. 3: No. 4, (New
York City, 1998), hal.2
[4] Op.Cit,
hal.2
0 Comments