TINJAUAN KRITIS TERHADAP FILSAFAT EKSISTENSI KARL THEODOR JASPERS || VICTOR ANGGUR


Sumber gambar: cafentar.wordpress.com

Pendahuluan

Filsafat eksistensialisme telah menjadi salah satu aliran pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia. Salah satu tokoh utama yang berkontribusi dalam pengembangan eksistensialisme adalah Karl Theodor Jaspers. Filsafat eksistensi Jaspers telah mempengaruhi pemikiran dan pembahasan berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari eksistensi individu hingga masyarakat dan kemanusiaan secara lebih luas.

Dalam kajian ini, kita akan menjelajahi pandangan dan konsep penting dalam filsafat eksistensi yang dikemukakan oleh Karl Theodor Jaspers. Kita akan membahas perjalanan hidup dan latar belakang filosofis Jaspers yang membentuk pemikirannya. Selanjutnya, kita akan menjelajahi konsep eksistensi, kebebasan, dan pilihan menurut Jaspers, serta bagaimana pemikiran ini berdampak pada pemahaman manusia tentang diri mereka sendiri dan hubungan dengan dunia di sekitar mereka.

Tinjauan terhadap filsafat eksistensi Karl Theodor Jaspers akan membantu memahami bagaimana pemikiran ini dapat diterapkan dalam konteks kontemporer dan menginspirasi pemikiran filosofis serta penerapan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggali konsep-konsep dan pemikiran yang ditemukan dalam filsafat Jaspers, tentu akan dapat lebih memahami kompleksitas eksistensi manusia dan pencarian makna dalam dunia yang terus berubah. Berikut adalah beberapa hal pengantar yang dapat membantu kita sebelum memahami lebih jauh tentang konsep eksistensi. Pertama, eksistensialisme dan pemahaman eksistensi, pemikiran Jaspers menyoroti pentingnya eksistensi manusia dalam konteks dunia yang kompleks dan berubah. Dalam dunianya, eksistensi individu memiliki nilai yang besar, dan manusia dihadapkan pada tugas untuk menjalani hidup mereka dengan kebebasan dan tanggung jawab penuh. Ini relevan dalam konteks kontemporer di mana individu sering dihadapkan pada banyak pilihan dan tantangan dalam mencari makna hidup. Kedua, transendensi dan batasan, Jaspers menekankan gagasan transendensi, yaitu kemampuan manusia untuk melampaui batasan fisik dan psikologis mereka. Dalam dunia yang terus berubah, pemikiran ini dapat memberikan inspirasi bagi individu untuk merenungkan keterbatasan manusia dan mencari jalan untuk berkembang dan tumbuh melalui pengalaman. Ketiga, kebebasan dan tanggung jawab, eksistensialisme Jaspers menyoroti kebebasan individu dan tanggung jawab dalam membuat pilihan hidup. Ini memiliki implikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengingatkan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk membentuk nasibnya sendiri melalui keputusan-keputusan yang dibuat buat. Keempat, pencarian makna, konsep pencarian makna adalah tema sentral dalam eksistensialisme. Jaspers memandangnya sebagai pencarian individu untuk makna dalam kehidupan individu itu sendiri. Dalam dunia yang terus berubah, pencarian makna tetap menjadi pertanyaan filosofis yang relevan, dan pemikiran Jaspers dapat memberikan panduan tentang bagaimana manusia dapat menjalani hidup dengan makna. Kelima, kehidupan spiritual, Jaspers juga menggambarkan pentingnya kehidupan spiritual dan pengalaman yang melampaui aspek fisik dan materi. Ini relevan dalam dunia kontemporer di mana banyak individu mencari makna dalam kerangka keagamaan atau spiritualitas mereka. Keenam, hubungan antarmanusia, eksistensialisme juga mempertimbangkan hubungan antarmanusia. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, pemikiran ini memicu pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat hidup bersama dalam masyarakat dengan nilai-nilai eksistensialis yang dianut Jaspers.

Dengan merenungkan pemikiran Jaspers, di sini dapat mendapatkan perspektif yang dalam tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan dunia yang terus berubah dan kompleks. Ini dapat menginspirasi pemikiran filosofis dan membantu individu merenungkan peran kita dalam mencari makna dalam kehidupan dan menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab dan kebebasan.

Mengenal Theodor Jaspers dan Latar Belakang PemikirannyaTop of FormTop of Form

Karl Theodor Jaspers dilahirkan di Oldenburg, Jerman Utara, tanggal 23 Februari 1883 dan wafat tanggal 26 Februari 1969 di usianya yang ke 86 tahun. Ia merupakan anak sulung Carl Wilhelm Jaspers dan Henriette Tantzen.[1] Ibu Jaspers yakni Henriette Tantzen, berasal dari keluarga petani. Ayah Jaspers adalah ahli hukum yang memegang jabatan sebagai Direktur Bank serta Pimpinan Dewan Kota. Tahun 1892-1902, Jaspers menempuh pendidikan di Gymnasium, Oldenburg. Semasa sekolah, semua siswa dipaksa masuk ke dalam organisasi-organisasi siswa. Akan tetapi, Jaspers sendiri tidak masuk ke dalam organisasi tersebut dengan alasan kesehatan. Seumur hidupnya ia menderita penyakit paru-paru dan lemah jantung. Kurangnya kontak sosial diimbanginya dengan ketertarikannya pada ilmu pengetahuan, sastra, dan seni serta kecintaannya terhadap alam.[2] Di umur 38 tahun, sebelum Jaspers menjadi seorang filsuf, ia adalah seorang ilmuwan. Sebagai seorang ilmuwan, Jaspers selalu haus dengan pengetahuan yang bersifat menyeluruh. Hal ini kemudian, mungkin, menyebabkan ia berpindah-pindah fokus keilmuannya, mulai dari bidang hukum ke bidang kedokteran, lalu ke bidang psikiatri, bidang psikologi, dan berakhir di bidang filsafat. Menurut Jaspers, ia menjadi seorang filsuf karena keinginannya untuk berkomunikasi dengan pendapat-pendapat lain. Sebagai seorang filsuf, Jaspers telah mempublikasikan karyanya tentang filsafat pada tahun 1932, meliputi seperti tentang Philosophical World Orientation, The Illumination of Existence, dan Metaphysics. Karya tersebut ditulis Jaspers sesudah mendapatkan gelar guru besar penuh di Universitas Heidelberg, Jerman. Tiap jilid karya tersebut menggambarkan metode keberadaan suatu yang ada atau “being”: orientasi, eksistensi, serta transendensi metafisik sebagai modalitas eksistensial dalam kehidupan manusia. Setiap karya menguraikan metode dalam mengenali suatu yang “ada” dan berkaitan dengan “being”. Orientasi ditetapkan oleh pengetahuan secara kognitif yang bisa diverifikasi secara objektif. Ke-adaannya ditetapkan oleh subjektif atau eksistensi diri. Refleksi serta transendensi ditetapkan oleh interpretasi simbolik dari isi metafisik.[3] Ketiga karya filsafat tersebut ditulis guna menunjukkan eksistensi manusia dan pengetahuannya yang meningkat eksistensinya ke tingkat lainnya, dan untuk menampilkan kesadaran yang berkembang secara bertahap yang berkonfrontasi dengan antinomi nya.

Mengenal Teori Eksistensi

Eksistensi pada dasarnya merupakan suatu usaha bagaimana menghadapkan makhluk berakal pada pernyataan-pernyataan filosofis. Pertama-tama, apa itu eksistensi? Maka kita bisa mengatakan bahwa bereksistensi adalah upaya untuk mewujudkan pribadi dalam semesta dan sekaligus untuk mengatasinya. Eksistensi sejatinya bersifat historis yang artinya bahwa setiap eksistensi ditentukan oleh situasi di mana eksistensi tersebut hidup. Situasi tersebut tidak selalu sama bagi tiap-tiap orang, tetapi tidak seorang pun merasa puas dikuasai oleh situasi tersebut. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan unik apabila manusia menyadari keberadaannya dalam salah satu boundary situation (grenssituaties), yaitu apabila ia dihadapkan pada kematian, kondisi yang membutuhkan perjuangan, nasib, dan penderitaan. Pada saat itulah ia mempertanyakan mengenai makna kehidupannya. Filsafat eksistensi merupakan cara berpikir yang tidak hanya menggunakan seluruh pengetahuan objektif tetapi juga mengatasi pengetahuan tersebut.[4] Manusia berupaya untuk menjadi dirinya sendiri. Eksistensi merupakan hal paling menarik dan unik pada diri manusia itu sendiri. Eksistensi yaitu aku yang sesungguhnya, yang unik dan tidak objektif. Eksistensi sejatinya terbuka bagi segala kemungkinan-kemungkinan baru yang ada. Eksistensi merupakan pemikiran mendalam tentang kebebasan total sebagai inti manusia. Eksistensi dapat dihayati dan diterangi melalui refleksi filsafat serta dapat disampaikan kepada orang lain.

Berkaitan dengan eksistensi, Jaspers memandang bahwa eksistensi sebagai sesuatu yang sangat berharga dan paling unik dalam diri manusia sebagai eksistensi. Eksistensi yaitu aku yang sesungguhnya, yang unik dan tidak dapat diobjektifikasi sama sekali. Eksistensi adalah refleksi mengenai total kebebasan yang merupakan hakikat manusia. Eksistensi dapat direfleksikan dan diterangi melalui refleksi filsafat serta dapat dikomunikasikan dengan orang lain. Sejalan dengan pandangan Jaspers, Bakker juga mengemukakan bahwa eksistensi setiap orang itu serba unik dan tidak dapat dikomunikasikan benar-benar kepada orang lain.[5] Manusia sebagai suatu eksistensi tentunya mengalami paradoksal antara “time” dan “immortality”. Identitas mengenai “time” dan “immortality” disebut “saat”, atau “saat keputusan”. “Saat” tersebut merupakan “immortal presence”. Namun hal yang dapat mengejutkan bahwa di “saat” yang termuat dalam “time” tersebut, sesuatu yang mendapatkan “penentuan” untuk selama-lamanya. Manusia tidak membutuhkan kebebasan seandainya ia memiliki pengetahuan paripurna tentang segalanya dan terkait dengan konsekuensi tindakan serta pilihannya. Dalam pandangan Jaspers mengenai eksistensi manusia, sekurang-kurangnya terdapat terlihat dalam pelbagai tesis. Pertama, secara fundamental, eksistensi ku sebagai manusia adalah otentik dan tidak dapat diobjektifikasi dan eksistensi itu merupakan sumber atas pandangan-pandangan dan tindakan-tindakanku. Eksistensi tidak sama dengan dasein, tetapi ia muncul di dalamnya. Eksistensi adalah pangkal tempat filsafat yang sebenarnya. Eksistensi tidak dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan. Kita hanya dapat memperjelasnya. Aktivitas memperjelas itu dibimbing oleh pikiran, tetapi bukanlah pikiran sebagaimana yang dimaksud dalam arti kata objektif-keilmuan yang membawa kepada hasil-hasil yang pasti. Sungguhpun tidak menghasilkan hal yang objektif, tetapi pemikiran itu memberikan kepastian yang eksistensial. Kedua, eksistensi ku terbuka bagi segala kemungkinan-kemungkinan sebab “aku” pada hakikatnya adalah “sebagai eksistensi yang mungkin”. Saya bertindak atau sebaliknya, saya memutuskan atau tidak; saya akan tetap sebagai “eksistensi yang mungkin”.

Ketiga, suatu eksistensi tidaklah ada dan ber-ada dalam dirinya sendiri (terisolasi). Dengan demikian, eksistensi sebetulnya “membuka diri” dalam berkomunikasi dan berdialog dengan eksistensi lainnya. Bahkan menurut Jaspers, berfilsafat sebenarnya hanya dapat dilakukan di dalam komunikasi, dan sebuah pikiran adalah benar secara filosofis sejauh pemikiran itu membawa kemajuan dalam komunikasi. Jaspers dalam hal ini menekankan pentingnya arti hubungan intersubjektif. Komunikasi sejatinya bermakna sebagai suatu peluang dalam mengungkapkan kesejatian diri. Dalam komunikasi yang demikian itu, pihakpihak yang bersangkutan harus melepaskan segala “kedok” yang menutupi kejahatan pribadi. Unsur-unsur yang terkait dalam komunikasi eksistensial sejatinya dapat saling menerima kenyataan bahwa mereka akan tampil dengan ke-diri-annya masing-masing. Keempat, eksistensi memiliki total kebebasan. Kebebasan berarti memilih, memutuskan, merefleksikan, dan mengidentifikasi diri dengan dirinya sendiri. Kebebasan adalah inti dari manusia. Pada orientasi dunia belum ada kebebasan, dalam metafisika tidak ada lagi kebebasan. Kebebasan hanya ada dalam ketidaktahuan di bidang penerangan eksistensi. Manusia dalam ketidaktahuan nya harus memutuskan, dan dalam keputusan-keputusan itu ia justru paling utuh, paling merupakan dirinya sendiri. Pada dasarnya, alasan utama eksistensi melakukan pencerahan eksistensi adalah untuk memahami dan belajar tentang freedom atau kebebasan. Kebebasan adalah alpha dan omega pencerahan eksistensi.[6]

Tinjauan atas Filsafat Eksistensi Karl Theodor Jaspers 

            Setelah mempelajari teori dari Karl Jasper secara umum mengandung arti tertentu dalam kaitannya dengan keberadaan sebagai subjek. Di sini dalam filsafat eksistensi Jaspers ingin menujukan bahwa sebagai manusia mesti menujukan keberadaannya sebagai manusia sesungguhnya. Dan perlu saya akui bahwa jaspers sangat menekankan nilai-nilai keberadaan dalam setiap pribadi manusia. Dalam nilai ini tentunya akan membantu ada sebagai manusia dalam setiap hal yang mesti dilalui olehnya. Terlepas dari hal ini terdapat berapa hal yang menjadi komentar untuk melihat lebih jauh terkait filsafat eksistensi Karl Jaspers. Pertama, filsafat eksistensi ini umumnya adalah sebuah petunjuk untuk sang ada tentang betapa pentingnya tanggung jawab sebagai pribadi dalam setiap keadaan atau situasi apapun. Ada “being” adalah kita sebagai pribadi ataupun sebagai manusia. Sering kali manusia terjebak dalam suatu situasi yang di mana sudah tidak mampu bertanggung jawab setiap persoalan yang ada. Dan melalui filsafat eksistensi ini sebetulnya mengingatkan kita untuk memperhatikan hal-hal seperti ini.

Kedua, filsafat eksistensi ini sebetulnya adalah sebuah tuntutan terhadap keberadaan sebagai manusia dalam kecakapan untuk melakukan ujian kritis terhadap diri sendiri. Kecakapan ini berhubungan dengan sikap autokritik. Dalam hal ini kehidupan yang teruji adalah kehidupan yang pantas dijalani karena bertumbuh di atas dasar kritik diri, refleksi dan pengolahan pribadi. Selain itu terkait dengan hal ini juga sebetulnya manusia sebagai keberadaannya membutuhkan konsistensi bernalar dalam menilai setip tingkah laku dan perkataan manusia itu sendiri. Kita juga perlu cermat melihat segala fakta dan memiliki ketepatan dalam menilai setiap kesempatan. Sikap seperti ini dapat menciptakan ruang bagi kita untuk berbicara dari kesanggupan diri, dan dengan demikian, kita juga menghormati orang-orang lain dari kesanggupannya.[7] Ketiga, teori dari Karl Jasper ini sebetulnya adalah sebuah “etika subyektivitas” Levinas yang berpusat pada tanggung jawab yang lain. Untuk menjelaskan konsep tanggung jawab untuk yang lain terlebih dahulu Levinas menjelaskan konsep tentang respons. Menurut Levinas, respons muncul karena kehadiran yang lain[8] dihadapkan subjek “aku”. Respons adalah suatu bentuk jawaban yang diberikan karena dipanggil oleh yang lain. Dalam hal ini respons bersentuhan dengan tindakan responsasilite. Sebab, wujud konkret dari respons adalah tanggung jawab. Respons dilihat sebagai sikap etis seseorang yang telah siap untuk menanggung suatu jawaban dalam bertanggung jawab.[9] Hal ini merupakan salah satu hal yang mesti diperhatikan sebagai eksistensi manusia. Keberadaan kita bukan hanya melihat diri kita sendiri tetapi lebih dari pada itu yakni melihat yang lain. Dan ini adalah eksistensi manusia yang sebenarnya.

Penutup

            Eksistensi atau keberadaan adalah wujud nyata dari seorang pribadi manusia untuk menunjukan dirinya dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam tindakannya. Manusia sebagai keberadaannya mesti mampu dalam mengupayakan setiap situasi dan keadaan demi tercapainya suatu kebaikan. Di sini tidak lain adalah keberadaan manusia itu mesti menjadi yang mampu untuk berpikir kritis baik itu setiap pertanyaan yang ada maupun menjawab setiap persoalan tertentu. Keberadaan mesti benar-benar ada dan tetap utuh dalam artiannya bahwa keberadaan itu haruslah mampu untuk menyanggupi keberadaannya itu sendiri.

            Dengan demikian bahwa, sejatinya eksistensi adalah upaya untuk menjadi diri sendiri tanpa harus mengabaikan yang lain. Menjadi diri sendiri adalah hasil dari suatu situasi dari luar. Dan eksistensi kita sebagai manusia mesti melihat kembali orientasi setiap diri masing-masing untuk bagaimana seharusnya. Melalui filsafat eksistensi ini hendaklah sebuah ruang untuk kembali melihat keberadaan kita sesungguhnya apakah betul dimaknai atau sebaliknya di mana kurang dimaknai.  

           

           Penulis

Viktorius Kristi Anggur atau yang biasa disapa Victor adalah mahasiswa semester 7 prodi Ilmu Filsafat di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. Saat ini dia tinggal di Wisma St. Agustinus Ledalero, selain menulis dia juga punya minat dalam bidang fotografi. 

 

 

           

 

 

 

                                                                                         



[1] C. F. Wallraff, Bibliography: Selected Writings of Karl Jaspers. In Karl Jaspers: An Introduction to His Philosophy. https://doi.org/10.1515/9781400868612-011

[2] Ibid.

[3] O. A. Vlasova, The biographical approach in Karl Jaspers’ work: From philosophy of life to autobiography (Continental Philoshopy review: Desember 2017),. hlm. 50

[4] Z. Wahyudin, “Eksistensi kehadiran: Sebuah Refleksi Filsafat”, Journal of Japanese Studies, 2: 2 (Mezurashi: 2020), hlm. 18.

[5] M. Marsono, Prinsip Hidup Kawruh Begja dalam Perspektif Anton Bakker. Jurnal Filsafat (Sanjiwani: 2020), hlm. 10.

[6] D. Sekulić, Eksistensialitas Kebebasan Menurut Jaspers (Filozofska Istrazivanja:2021),. hlm. 50.

[7] Feliks Baghi, Redeskripsi dan Ironi: Mengolah Cita Rasa Kemanusiaan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 143.

[8] Levinas mempunyai rumusan yang sangat bagus dalam memberi batasan tentang yang lain. “Dia yang lain adalah bukan aku.” Untuk memahami yang lain aku tidak dapat memulai dari diriku. Sebab, memulai dari diriku berarti memulai dari dunia pemahaman, persepsi, cara berpikir dan tindakanku. Itu berarti memulai dari totalitas kebenaran yang saya miliki. Jalan yang baik untuk memahami yang lain adalah memulai dari yang lain itu, dari dunianya, yaitu dari kebelainannya itu sendiri. (Bdk. Feliks Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Etika Politik dan Postmodernisme) (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 23.

[9] Ibid., hlm 37-38

Post a Comment

0 Comments