SIDIK JARI ALLAH DALAM BUDAYA: UPAYA
MENJAJAKI MAKNA ALLAH DALAM PERANGKAT BUDAYA SUKU-SUKU DI NUSA TENGGARA TIMUR
Penulis : Dr. Eben Nuban Timo
Penerbit : Penerbit Ledalero
Tahun Terbit : 2009
Tebal : (xix + 224 hlm:
12x19cm)
ISBN : 979-9447-86-0
PENDAHULUAN
Buku
Sidik Jari Allah ditulis oleh Dr. Eben Nuban Timo, seorang dosen di Universitas
Artha Wacana Kupang (UKAW). Beliau pernah menjalani Studi Magister dan Doktoral
di Universitas Teologi di Kampen-Negeri Belanda. Beberapa karya tulisnya yang sudah
dipublikasikan antara lain disertasi doktoralnya, The Eschatological Dimension in
Karl Barth’s Thinking and Speaking about the Future (Kempen: 2001), Pesta Kawin
di Kana (Nusa Indah, 2002), Pemberita Firman Pencinta Budaya (BPK Gunung Mulia Jakarta,
2004), Anak Matahari (Ledalero, 2004.). Dalam Buku Sidik Allah ini, memberikan pemahaman
menarik bagi para pembaca untuk menelusuri lebih dalam terkait Makna Allah dalam
budaya. Ketika membaca buku ini, saya menanggapi bahwa penulis dengan kaca mata
Teologis-Biblis berusaha membantu kesadaran pembaca bahwa dalam budaya-budaya kita
Allah Hadir.
“Kita
tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil
sesuai dengan rencana Allah (Roma; 28). Allah sudah lebih dahulu hadir dan
bekerja dalam budaya, sejarah dan agama suatu masyarakat untuk kebaikan
masyarakat itu. Keyakinan saya ini diperkuat oleh kesaksian Yohanes tentang Firman
seperti yang ia tegaskan dalam Kitab Yohanes 1: 10 ‘Ia telah ada di dalam dunia
dan dunia dijadikan oleh-nya, tetapi dunia tidak mengenal-nya’” [1]
Melalui
konsep di atas dapat dipahami bahwa penulis dengan kajian Teologis-Biblis membantu
masyarakat NTT khususnya, untuk mennyadari bahwa setiap budaya-budaya yang kita
hayati dan ikuti dalam tradisi-tradisi suku kita ini, mempunyai makna teologis.
Allah secara tak tampak hadir dalam setiap budaya-budaya itu karena dalam budaya-budaya
itu mempunyai nilai-nilai moral bagi hidup. Artinya bahwa penulis dalam buku
ini membantu umat untuk menemukan dan mengalami “Makna Allah” dalam setiap
unsur-unsur budaya yang dihidupi. Karena terkadang orang salah memahami konsep
bahwa setiap budaya yang dihayati tidak mempunyai nilai-nilai hidup, hanya
sekedar sebuah ritual belaka.
Dengan
tinjauan teologis-biblis dan kajian sosio antropologis penulis berusaha
menjajaki dan menemukan Makna Allah dalam setiap budaya-budaya di NTT yang
sudah di dihidupi oleh umat setempat. Agar umat yang menghayati dan menjalankan
tradisi tersebut mempunyai pemahaman terhadap budaya tersebut secara teologis.
RANGKUMAN GAGASAN UTAMA DAN
ANALISIS STRUKTUR BUKU
Penulis
dalam buku ini membaginya ke dalam tujuh bagian besar. Dalam satu bagian terdapat satu tema besar
yang didalamnya masih terdapat bagian-bagian pembahasan lainnya.
Bagian I.
Makna Allah dalam Ike-Suti
dan Suni-Auni.
Pada
bagian pertama ini penulis mengulas mengenai Makna Allah yang ditemukan dalam Ike-Suti dan Suni-Auni. Tesis dasar dalam refleksi awal penulis adalah
perjuangan kaum perempuan untuk kesetaraan gender. Makna Allah yang terkandang
dalam Ike-Suti dan Suni-Auni adalah makna perempuan dan
laki-laki yang mempunyai peran masing-masing dalam menjalankan tugas sebagai
perempuan dan laki-laki.
Ike-Suti
dan Suni-Auni adalah perkakas kerja
dari Suku Meto. Perkakas kerjadi dari
laki-laki bernama Ike-Suti dan
perkakas dari perempuan adalah Suni-Auni.
Melalui kedua perkakas ini perempuan dan laki-laki meto berusaha memberi makna bagi hidup mereka. Perkakas kerja ike-Suti dan Suni-Auni ini banyak bercerita tentang gagasan, pandangan dan
keyakinan iman suku meto, mengenai
relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Penulis menyimpulkan bahwa Ike-Suti dan Suni-Auni dapat kita simpulkan sebagai “Pena” di tangan perempuan
dan laki-laki Meto dalam melukiskan “Makna
Allah” sebagai sejarah, budaya dan tata sosial masyarakat suku yang mendiami Pah Meto (tanah kering).
Dalam penjelasan, penulis, menyampaikan beberapa makna yang dapat ditemukan, (1). Mitra jejajar, penulis menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar. Saling melengkapi satu dan yang lain. Sebagai cohtoh, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan” (Kej. 2:18). (2). Homo laborens. Penulis menjelaskan bahwa melalui Ike-Suti dan Suni-Auni dapat menemukan makna hidup. Masyarakat Meto adalah pandangan mengenai arti hidup. Hidup untuk bekerja dan membaktikan diri kepada sesama dan Tuhan. (3). Homo ludens. Penulis menjelaskan suka cita yang mereka peroleh adalah suka cita ketika mereka menggunakan Ike-Suti dan Suni-Auni. Karena melalui kedua alat ini mereka dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan mendapat hasil yang melimpah. Hal ini bisa terlihat pada musim panen. (4). Homo religiosus. Refleksi penulis memaknai konsep ini adalah bertitik tolak pada kepercayaan dari masyarakat Meto yakni memaknai kerja sebagai sebuah panggilan teologis, kerja adalah sebuah ibadah. Wujud nyata mencintai Allah dalam karya hidup kita. (5). Penyinta lingkungan. Penulis menjelaskan bahwa melalui usaha kerja dan menenun dari masyarakat Meto dapat membangun kelestestarian ekologis (Ul. 22:67-7). (6). Percaya kehidupan sesudah kematian. Masyarakat menyakini bahwa melalui tenun kain adat dari hasil Ike-Suti, dapat memberikan makna kebangkitan bagi yang meninggal.
Bagian II
Makna Allah Dalam Karya Tenun Ikat
Pada
bagian ini penulis ingin menjelaskan mengenai Makna Allah dalam karya tenun
ikat. Pada bagian ini pula penulis secara garis besar menjelaskan artikelnya
dalam dua bagian pula. A. Tenun ikat karya multi fungsi. Pada
bagian ini penulis menjelaskan bahwa karya tenun ikat adalah sebuah karya
keterampilan menenun. Melalui corak gambar yang memukau itu perempuan-perempuan
di daerah itu mengikat kumparan benang lungsin untuk dicelupkan dalam zat
warna. Mengutip dari Jes A. Therik penulis mencatat fungsi kain tenun (1). Alat
pelindung badan dari panas dan dingin serta pengaruh cuaca. (2). Estetika,
keindahan. (3). Etika, melindungi bagian badan tertentu agar tidak merasa malu.
(4). Segi sosial, pretise, susunan, tingkat masyarakat (raja, bangsawan, orang
biasa dan lain-lain) (5). Segi ekonomi, sebagi alat tukar. (6). Fungsi budaya,
dari aspek antropologis merupakan alat penghargaan dan pemberian perkawaninan
dan kematian. (7). Fungsi hukum adat/pidana adat, denda adat untuk
mengendalikan keseimbangan sosial terganggu. (8). Mitos, lambang suku yang
diagungkan karena menurut kepercayaan corak/desain tertentu bisa melindungi
mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan sebagainya [2] (hlm
47-48) B. Sistematika Penulisan. Pada bagian ini penulis menjelaskan beberapa
bagian penting dari Proses pengerjaan kain tenun hingga memetik makna refleksi
teologisnya. (1). Pada pagian proses
pengerjaan. Hal yang harus dilakukan
adalah membuat benang dan kapas, kedua teknik merekayasa motif, mencelup dan
menenun. Penulis menjelaskan bahwa dalam proses merekayasa motif, mencelup
sampai kegiatan menenun kita harus membutuhkan daya imajinatif, kreatif dan
kesabaran. Penulis menjelaskan pula ada beberap metode mengerjakan kain tenun
bermotif Futus (mengikat benang), Sotis (menyisip benang), Buna (mengait dan menyungkit benang). Motif
ikat diperoleh dengan metode membuat hiasan dasar pada kain tenun dengan
mengikat rencana gambar untuk beberapa warna. (2). Pesan
spiritual. Pada bagian ini ada tiga pesan yang dapat disampaikan oleh
penulis pertama, motif-motif kain tenun ikat adalah inspirasi yang diperoleh
dari roh-roh pelindung komunitas atau sebuah permenungan yang sungguh-sungguh kenyataan
hidup. Kedua, pesan dalam kain tenun bersifat multidimensional. Ada suka cita,
rasa hormat, persaudaraan dll. Ketiga, keseimbangan, keharmonisan dan
paralelisme antara kenyataan-kenyataan dalam alam. (3). Eklesiologi: komunikatif dan bermakna. Pada bagian ini penulis
membaginya dalam beberapa bagian makna Pertama:
Mengereja Pekerjaan Menenun Persekutuan. Pada bagian ini penulis
menjelaskan bawah seperti halnya dengan kesatuan dari benang-benang dan
kombinasi warna dalam satu lembar kain tenun memberikan arti bahwa kegiatan
menggereja adalah kegiatan menenun persekutuan. Kedua: Allah Sang Penenun. Pada bagian ini penulis menjelaskan
bawah Allah adalah sang penenun dimana telah tertuang dalam Mzr. 139:23 “Sebab,
Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.” Ketiga: Allah dengan kain tenun milik-Nya.
Pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa ungkapan dalam kitab suci “garam dan
terang dunia” merupakan Tuhan selalu menghimpun umatnya untuk bersatu. Penulis
juga menjelaskan mengenai Kejadian 6:6 dalam ayat ini dijelaskan mengenai
Maksud Allah menghimpun dan menetapkan Israel sebagai bangsa milik-Nya. Dan
dalam perjannjan baru, terdapat Makna Allah membentuk persekutuan Gereja dengan
mata dan hati tertuju pada dunia. Keempat:
Tiga karakter sebuah motif. (1).Penulis menjelaskan bahwa motif dalam kain
adat memiliki keterkaitan erat dengan mitos asal-usul satu marga, pandangan
hidup dan nilai-nilai lestari hidup. (2).Penulis menjelaskan bahwa motif pada
selembar kain tenun perempuan NTT memiliki karakter sakramental. (3). Motif kain
tenun ada karakter eskatologi.
Kelima: Kristologi: motif kain tenun milik Allah. Yang dimaksdukan penulis pada bagian ini adalah mengenai kristus sebagai pemnuhan janji Allah. “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam dia.” Keenam: tiga korespendensi kristologi. Penulis menerangkan bahwa tiga korespondensi itu adalah mengenai tiga karya Allah dalam sejarah, penciptaan, pendamaian dan penebusan. (4). Metafora Gereja Bagi Masyarakat di NTT. Pada bagian ini penulis menampilkan beberapa manfaat yang dapat menjadi makna bagi refleksi Gereja NTT. (1). Manfaat ekologis. Penulis menjelaskan bahwa menenun punya keterkaitan dengan memelihara alam. (2). Manfaat eklesiologis. Melalui manfaat eklesiologis penulis menerangkan bahwa melalui menenun Gereja terbuka untuk mengakui keberadaan seorang perempuan atau Wajah Gereja Feminism dan gereja sebagai persekutuan Ex-Centric. Gereja ada untuk Allah dan untuk dunia bukan dirinya sendiri.
Bagian III
Makna Allah dalam Perangkat Musik Gong
Refleksi awal. Pada
bagian ini penulis secara sederhana merefleksikan makna bunyi lonceng gereja
adalah sebuah tanda untuk memanggil orang Kristen masuk gereja dan beribadah
dan merayakan ekaristi. Dan penulis juga mengalami hal itu sejak kecil.
Pengalaman kecil yang membuatnya merefleksikan bunyi lonceng gereja adalah
pertanyaan dari seorang anak kecil terkait mengapa orang Kristen selalu
membunyikan lonceng setiap pagi dan sore? Jawaban
yang diimpor. Pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa lonceng itu adalah
panggilan. Bunyi lonceng gereka bukan sekedar sebuah lantunan biasanya
melainkan ada makna undangan kepada jemaat untuk datang ke dalam gereja.
Pengalaman di Negeri Seberang. Pada
bagian ini penulis sedikit mengisahkan pengalamannya di Belanda. Penulis mengisahkan
bahwa pada hari minggu bunyi lonceng jarang dibunyikan karena fungsi lonceng
gereja telah diganti oleh newsletter
atau kerkkode. Pengalaman inilah yang
membuatnya rindu pada bunyi lonceng gereja di kampung. Melalui pengalaman ini,
penulis merefleksikan pesan kepada pada generasi muda untuk selalu menanam rasa
cinta yang mendalam pada budaya lokal dan mencintai nilai-nilai tradisi dalam
hidup berbudaya.
Mencari analogi lokal. Bertolak
dari pengalaman di atas penulis berusaha membangkitkan kesadaran umat secara
khusus umat NTT untuk memaknai sinbol-siombol lokal. Salah satu simbol dalam
masyarakat NTT yang dapat kita pakai untuk menjelaskan makna tradisi membunyikan
lonceng adalah gong (Leku Sene).
Gong
pemberi makna kehidupan. Pada bagian penulis menjelaskan
bahwa masyarakat NTT memaknai musik gong sebagai musik sosial yakni mempunyai
nilai estetis dan religius. Penulis menjelaskan bahwa alat musik gong terdiri
dari beberapa (1). Liu laban dan kiko (Meto), ngasa daik dan ngasa lai
(Rote), (2). Ote (Meto) dan inak, inak talada dan inak (Rote), (3). Kbolo (Meto) dan lok, paseli dan anak (Rote) (4). Enaf (Meto)
5. Ke’et atau tufu (Meto) labu. Penulis
menjelaskan bahwa mereka memaknai hidup dengan merenung makna-makna dari pesan-pesan
sosial, estetis dan religius yang dikumandangkan dalam syair-syair pantun
sebagai bahasa gambaran bersifat puitis. (Hlm. 118-120).
Makna Allah dalam Musik Gong. Pada
bagian ini penulis menjelaskan mengenai Makna Allah dalam musik gong. Ada dua
makna yang disampaikan oleh penulis (1).
Makna saling memiliki dan berbagi.
Penulis menegaskan bahwa dalam irama musik gong terkandung pesan bahwa hidup
artinya memiliki dan saling berbagi. Hal ini direfleksikan melihat kesatuan
dalam Allah Tritunggal. Bunyi musik gong sebagai penyatu persekutuan umat
seperti kesatuan yang ada dalam Allah Tritunggal. (2). Pemberi warna ritme kehidupan. Penulis menjelaskan bahwa dengan adanya
musik gong, ada nyanyian dan tarian mencerminkan kehadiran Allah dalam kesatuan
harmonis antara perempuan dan laki-laki NTT. Penulis memaknainya bertolak dari Mazmur.133
“Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apa bila saudara-saudara diam bersama
dengan rukun sebab disanalah Tuhan memerintahkan berkat, kehidupan untuk
selama-lamnaya”
Perempuan: Penabuh ritme kehidupan.
Pada
bagian ini penulis merefleksikan bahwa ada poin memberikan arti bagi seorang
perempuan bahwa mereka mempunyai “sikap penabuh kehidupan” seperti hidup mereka
sendiri yang selalu menyediakan yang terbaik. Dalam musik gong sendiri yang
menjadi penabuh adalah kebanyakan perempuan. Penulis menjelaskan ada dua kitab
suci yang menjelaskan tentang ini Amsal 31:10-31. Perempuan sebagai penabuh
atau penentu irama kehidupan. Kedua, Kej. 2:2b-26. Perempuan sebagai pemberi sukacita.
Refleksi akhir. Pada bagian ini penulis hanya menegaskan bahwa gereja pada hakekatnya adalah mempunyai makna persatuan yang dalam. Gereja yang sejati, harus memberikan menjadi penabuh ritme kehidupan yang memberi sukacita dan keceriaan bagi masyarakat. Gereja juga perlua ada dalam dunia sebagai seniwati-seniwati yang membuat hidup masnyarakat indah dan berseri.
Bagian IV
Makna Allah Dalam Simbol Buaya
Penyembahan budaya buaya di Timor. Pada
bagian ini penulis menjelaskan masyarakat Timor (suku meto) mempunyai pemahaman yang berbeda terkait konsep mitos
buaya. Penulis menjelaskan bahwa suku
meto menyembah buaya karena menganggap binatang ini sebagai penguasa
lautan, sungai, pemberi hujan kesejukan, kesuburan dan kesejahteraan,
Yesus Anak Domba Allah. Pada
bagian ini dalam tinjauan teologis, penulis menegaskan dan merefleksikan
terkait makna Anak Domba Allah. Seruan Yohanes Pembaptis ini merupakan sebuah
bahasa gambaran yang hanya bisa dipahami dari latar belakang ibadah kehidupan
religius orang Israel. Dalam kehidupan orang Israel setiap pagi dan petang ada
seekor anak domba yang dikorbankan di Bait Allah untuk dosa-dosa umat manusia. (Hlm
343). Penulis mengaskan bahwa ada dua makna gambaran tentang Anak Domba Allah ini.
Pertama, gambaran Anak Domba Allah dimaknai untuk menghidupkan kembali Nubuat nabi-nabi.
(Bdk.Yer. 11:19). Kedua, seruan “Lihatlah Anak Domba Allah”, mengungkapkan cerita
lama dalam paskah orang Israel. (Kel. 12:12-15).
Timor: “Yesus dan Buaya”. Melalui refleksi iman terkait pengalaman anak sulung dalam kehidupan umat Israel, penulis melihat bahwa ada keterkaitan antara mitos buaya dan peristiwa pengorbanan anak sulung. Hal ini didasarkan pada pandang orang Timor terkait makna mitos buaya. Mereka mengenal buaya, seperti yang dikisahkan oleh cerita tua, pemberi kesejukan, kesuburan, serta hidup. Pengorbanan dari buaya merelakan masyarakat Timor hidup. Penulis, melihat bahwa hal ini ada keterkaitan makna dengan cerita tua orang Israel yang terkait darah Anak Domba Allah, yang melepaskan bangsa Israel dari kebinasaan.
Bagian V
Makna Allah dalam Balatete
Pada
bagian ini penulis merefleksikan Makna Allah dalam Balatete. Pada bagian pertama penulis menjelaskan Makna Religius Tato. Penulis
menjelaskan makna tato dalam suku meto
diyakini sebagai jaminan untuk memperoleh cahaya yang sangat diperlukan bagi
orang yang meninggal dunia untuk melakukan perjalanan ke dunia para leluhur. (Hlm.152).
Bagi, masyarakat suku meto, dengan
adanya tato orang yang meninggal mendapat memperoleh cahaya untuk bisa menerangi
jalan ke gelap menunju para leluhur. Dalam
Suku Rote tato artinya Balatete. Motif-motif tato disebut Balatetes. Penulis menjelaskan bahwa orang
Rote tradisional percaya bahwa orang yang maninggal bisa menggunakan
motif-motif dari tato dibadannya untuk membeli makanan selama perjalanan menuju
negeri leluhur. (Hlm.153). Batatetes biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan
Balatetes Trinitas. Pada
bagian ini penulis berusaha merefleksikan makna secara biblis dengan bertitik
tolak pada Sabda Yesus berikut “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepadaku,
dia tidak lapar lagi” (Yoh. 6.35). Penulis menjelaskan bahwa Sabda Yesus ini
diungkapkan oleh sebagai sebagai jaminan keselataman manusia di dunia akhirat
nanti. Penulis menjelaskan keyakinan masyarakat Rote terhadap Balatetes mempunyai makna yang
berhubungan dengan dasar biblis di atas. Pesan teologis yang mau dibangun oleh
penulis adalah tanda jaminan kekal yang mau dihayati adalah kehidupan yang
selalu mengarah pada makna roti kehidupan, dari Kristus. Bahwasannya, Kristus adalah
jaminan keselamatan manusia. Makna Balatetes
direfleksikan lebih dalam melalui roti hidup. Di sini tidak mengabaikan Balatetes, melainkan melalui Balatetes masyarakat Rote mempunyai
konsep teologis dari motif-motif Balatetes
itu.
Balatetes dan Baptisan. Penulis pada bagian ini hanya mau menerangkan bahwa Balatetes yang Tuhan berikan kepada kita terdiri atas tiga nama. Kita bisa mengatakan bahwa motif Balatetes dari Allah adalah Tritunggal. Dalam baptisan itu yang menjadi Mana Balatetes (ahli tato) adalah Roh Kudus. Kadek (zat warna adalah Darah Kristus). Yang mau diterangkan oleh penulis adalah mengenai kuasa Allah Tritunggal Maha Kudus dalam setiap pengalaman hidup kita sebagai anak Allah. Ketika kita dibaptis kita disebut Anak Allah. (Mat.29:19).
Bagian VI
Makna Allah dalam Ammu Hawu
Pada
bagian ini penulis mencoba merefleksikan Makna Allah yang ditemukan dalam Ammu Hawu.
Rumah: Simbol Tata Dunia. Pada bagian ini penulis menjelaskan
secara umum bahwa kebanyakan suku di NTT melihat rumah bukan hanya tempat
tinggal melainkan simbol tata dunia dan tata sosial. Ammu hawu adalah rumah adat suku
sabu. Penulis menjelaskan dalam Amnu hawu
ada dua hal yang menonjol untuk direfleksikan. Pertama, rumah adat orang sabu
dibangun diatas tiang (rumah) panggung. Penulis menejelaskan alasan mendasar
dibagun seperti ini adalah makanan persembahan tidak boleh di simpan di tanah,
tetapi harus ditiang. Persembahan tersebut bentuk penghormatan kepada yang
ilahi. Kedua, dalam Ammu hawu
terdapat banyak tiang dan balok pembentuk. Semua itu memiliki fungsi
masing-masing. Penulis menjelaskan bahwa ada dunia tiang utama yakni Tarru Duru yang terdapat pada bilik
laki-laki dan Tarru Dui di bilik
perempuan. Tarru taru juga mempunyai
fungsi utuma sebagai simbol kehadiran leluhur. Biasanya dilakukan upacara
permohonan di Tarru Duru.
Ammu
Hawu
dan Ammu Deo. Pada bagian ini penulis merefleksikan
keterkaitan antara rumah adat Ammu hawu
dan rumah tuhan atau Ammu Deo. Penulis
menjelaskan bahwa untuk merasakan kehidupan baik orang harus datang pada Rumah
Bapa. Dan untuk sampai pada Rumah Bapa orang harus menjalani hidup sesuai apa
yang Yesus perintahkan “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:4-8). Penulis
merefleksikan bahwa Yesus Kristus sebagai Tarru
satu-satunya keselamatan. Yesus dapat dimetaforakan sebagai Tarru yang memberikan keselamatan Allah bagi
manusia.
Bagian VII
Makna Allah dalam Logo Gereja
Kristen Sumba.
Pada
bagian ini penulis merefleksikan Makna Allah yang terdapat pada logo Gereja Kristen
Sumba. Penulis pada bagian Refleksi awal
menerangkan Logo Gereja Kristen Sumba berupa gambar seorang penununggang kudah
putih yang bermahkota sambil membidikkan panah. Konteks Kitab Wahyu. Penulis pada bagian ini menerangkan
konteks-konteks yang terdapat pada Kitab Wahyu dengan mengajak pembaca untuk
memahami pesan Wahyu, harus ingat fakta-fakta berikut ini. Pertama, jemaat-jemaat Kristen di Asia kecil waktu sedang menderita
penganiayaan oleh negara (1:9; 6.8-11; 11:11; 13:1,). Kedua, ada keyakinan kuat dalam jemaat bahwa akhir dunia bisa segera
terjadi. (1:1, 3; 22:6, 10). Jadi, menurut penulis wahyu ditulis “dengan mata
terbuka” untuk mengamati gejolak sosial politik yang terjadi saat itu. Penulis
Kitab Wahyu meyampaikan maksud tujuan dalam Kitab Wahyu dengan bahasa-bahasa
simbolik. Misalnya simbol malaikat, seorang penunggankusa, anak domba, dll.
Allah di Atas takhta.
Penulis pada bagian ini menjelaskan mengenai Allah adalah sang penguasa. Dialah
yang memerintahkan surge dan bumi. Allah yang menduduki tahtaknya. Dan penulis
juga menjelaskan bahwa dalam tahkta, dikelilingi oleh 24 tua-tua, empat
binatang dari empat penjuru bumi. L.J. Lietaert Peerbolte sebagaiman dikutip
oleh penulis, menegaskan bahwa teologi Kitab Wahyu merupakan sebuah suara
kenabian dan teologi yang kita usahakan di masa kini memiliki titik sambung
dengan liturgi surgawi dalam kitab wahyu [3]. Kejahatan dalam Kitab Wahyu. Penulis
menjelaskan bahwa kejahatan yang terdapat pada Kitab Wahyu adalah realitas yang
terbatas dan sementara. Artinya kejahatan dan pengrusakan yang dibuatnya tidak
lagi punya masa depan. (12:7-12). Keenam
Meterai Dibuka. Pada bagian ini penulis menjelaskan mengenai suatu
peristiwa dimana ketika meterai terakhir dihancurkan, adanya akhir zaman yang
tidak tampak sebagai sebuah bunga yang siap untuk mekar tetapi pergumulan hebat
antara yang baik dan yang jahat jalan terus. Penulis melihat ini sebagai sebuah
dinamika dan kondisi hidup yang selalu ada pertentangannya. Keempat Kuda dan Maknanya. Pada bagian
ini penulis menjelaskan bahwa gambaran mengenai penundan penyelesain akhir
sudah mulai terlihat pada penekaan keempat kuda dan penunggannya yang bermakna apokaliptis.
Penulis menjelaskan penglihatan Yohanes pertama tertuju pada kuda putih.
Penungannya memegang sebuah panah dan kepadanya diberikan mahkota.
Dilukiskan dalam Kitab Zahkaria 1 dan 6, penulis menjelaskan kuda putih melambangkan kemenangan yang pasti hanya tinggal direalisasikan. Kuda kedua berwarna merah padam. Penulis menjelaskan bahwa merah padam adalah warna darah. Kudah merah dan penunggannya datang untuk membuat pertumpahan darah di atas bumi. Kuda ketiga berwarna hitam. Penulis menjelaskan warna hitam adalah warna kelaparan dan penunggannya memegang batu timbangan. Penulis merefleksikan bahwa dia datang untuk mengukur dan mendistribusi makanan dan hanya sedikit saja makanan yang ditimbang dan dibagikan. Kuda keempat berwarna hijau kuning. Dia datang untuk menyebar bencana di bumi. Penungganya adalah maut. Konfrantasi Karismayik dan Evangelikal. Pada bagian ini penulis menjelaskan bagaimana konfrantasi tanggapan dari pihak lain terkait pemilihan logo Gereja Kristen Sumba, kuda putih dan penunggannya yang sedang memegang panah dan bermahkota. Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana proses mereka merefleksikan kitab wahyu lalu memilih kudah putih dan penunggannya sang pemanah itu. Konfratasi yang diberikan kaum karismatik dan kaum evangelikal adalah gereja Kristen Sumba menyamakan Gereja Setan. Mereka tidak sepakat dengan refleksi bahwa pengendara kudah putih dengan panah dan mahkota sebagai pemberitaan injil. Mereka menganggap bahwa kuda adalah kendaraan perang. Senjata adalah perkakas iblis, kuda putih itu muncul dalam rentetan kuda-kuda lain yang mendatangkan bencana di dunia. Pertanggung jawaban Hermeneutis dan Dogmatis. Pada bagian ini penulis menjawab kofrantasi yang dilontarkan oleh kelompok karismatik dan kaum evagelikal. Penulis menegaskan bahwa penglihatan Yohanes terkait kuda putih bukan semata-mata yang dimengerti oleh kaum karismatik dan kaum evangelikal pada kuda peperangan orang-orang Persia. Dalam penglihatan Yohanes kita tidak dilibatkan dalam peperangan yang mengerikan melainkan daya terobos yang mengagumkan dari Injil ke dalam hati manusia di tengah-tengah kuasa-kuasa penghambat yang muncul dari segala penjuru dunia. Penulis, secara tegas menyampaikan ada dua data pendukung untuk menopang tafsiran ini pertama, kuda merah yang dilihat yohanes muncul “untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi” artinya kuda kedua merah ini simbol peperangan. Jadi, tidak mungkin jika kuda putih yang dilihat Yohanes sebelum kuda merah itu adalah simbol perang. Kedua, kuda putih dan penungganya menunjukkan kepada satu tugas yang lain dari kuda-kuda yang lain. Yohanes mengatakan kepada penunggang kuda putih itu “diakuruniakan sebuah mahkota lalu ia maju sebagai pemenang untuk merebut kemenangan”. Melalui pendasaran inilah penulis mau menegaskan kepada kaum karismatik dan evangelikal bahwa logo Gereja Kristen SUMBA tidak menyamakan dengan Gereja Setan. Refleksi akhir. Pada bagian refleksi terakhir ini penulis hanya ingin mengaskan bahwa keputusan Gereja Kriten Sumba dengan logo kuda putih dan penunggunga sang pemanah bermahkotah ini adalah sebuah keputusan yang kontekstual dan sarat makna. Penulis menegaskan juga bahwa logo ini menunjukkan ekspresi eksistensi dan misi gereja di pulau kuda. Sumba.
EVALUASI DAN REFLEKSI KRITIS
Buku
ini sangat bagus untuk dibaca oleh masyarakat NTT agar dapat memahami konsep-konsep teologis dalam budaya-budaya lokal. Hal menarik dari buku
ini adalah selalu menampilkan kontekstual-kontekstual kehidupan penulis,
kemudian direfleksikan dalam konsep biblis untuk memahami Makna Allah
dalam budaya-budaya lokal yang ditampilkan oleh penulis. Setelah membaca buku
ini ada pemahaman baru terkait makna-makna Allah dalam budaya-budaya lokal.
Allah hadir dalam setiap motif-motif kearifan lokal NTT. Hal menarik lagi
adalah penulis dalam membahasakan artikelnya selalu memulai dengan refleksi
kecil sebagai pengantar dengan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti dan
menarik perhatian pembaca. Pada bagian penutup juga penulis
menegaskan makna pesan tulisannya melalui refleksi terakhir. Tidak semua
pembahasan dibuat refleksi awal dan akhir, tetapi sebagian besar penulis
melakukan demikian. Dalam pembahasan penulis
menggunakan bahasa yang menarik, reflektif dan mudah dimengerti
oleh pembaca. Pada tampilan luar buku, buku ini sangat menarik dan simple. Pada
setiap pembahasan dilengkapi dengan ilustrasi gambar. Tatak letak pun menarik
pembaca. Tampilan huruf-hurufnya jelas dan bentuk bukunya simple bisa dibawa ke
mana-mana.
Meskipun ada keunggulan dalam buku ini, namun ada kekurangan atau catatan kritis pada buku ini. Catatan ini lebih mengarah pada isi buku. Catatan kritisnya adalah mengenai pembahasan dalam buku ini hanya bertitik pada budaya-budaya di Timor dan Sumba. Judul besar buku adalah NTT tetapi dalam pemabahasannya hanya terdapat pada budaya-budaya di Meto (Timor), Sabu, Sumba dan Rote. Menurut pembaca, penulis bisa memperluas lagi pada cetakan berikut terkait budaya-budaya yang ada di Flores.
[1] Dr. Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah Dalam Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur, (Maumere: Peberbit Ledalero, 2009), hlm. v.
[2] Ibid., hlm 48.
[3] Ibid., hlm.192.
Fr. Micky Moruk, SVD. Cinta menulis sastra dan artikel ilmiah. Sekarang sedang mengembara di Bukit Sandar Matahari_ Ledalero. Tinggal di Wisma St. Agustinus.
0 Comments