Pixabay.com |
MENJADI MANUSIA YANG SADAR DI ERA KETIDAKSADARAN
Beberapa waktu
setelah menyelesaikan ujian akhir semester, saya sering menghabiskan waktu di
media sosial – sekadar melihat dan memberikan komentar lepas pada postingan
orang-orang yang saya kenal di dunia riil (bukan maya). Hal ini semacam ritual
yang cukup mengasyikkan sebab dengan berbagai alasan dan tuntuntan, terkadang hal
remeh-temeh seperti menanyakan kabar adalah sesuatu yang hanya buang-buang
waktu saja. Media sosial memang tak ubahnya sebuah pasar. Beragam tawaran ada di
sana. Silahkan pilih, mau beli apa saja semua ada. Jika media sosial adalah
pasar, maka para penggunanya adalah pelanggan yang datang dengan berbagai
kebutuhan – butuh diakui, butuh diperhatikan dan masih banyak lagi.
Logika media
sosial memang mempunyai cara bermainnya tersendiri. Jika tidak kuat, kita hanya
akan seperti daun kering, mudah sekali terbawa arus. Realitas saat ini secara
masif dan terang-terangan sedang menggiring manusia pada suatu ketidaksadaran.
Itulah sebabnya, tidak terlalu berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa kita
sedang hidup di era ketidaksaran. Lihat saja, banyak sekali kasus-kasus viral
di media sosial yang motif perbuatannya terjadi begitu saja. Habis masalah,
terbitlah klarifikasi. Ini zaman edan, zaman klarifikasi setelah korban
berdarah-darah dikuliti oleh pelaku. Miris sekali. Lantas, apakah para pelaku
yang membuat klarifikasi tersebut adalah orang-orang yang sadar? Belum tentu!
Boleh jadi, ketika melakukan perbuatan tersebut, si pelaku lupa diri, pun tidak
tahu diri. Aneh.
Kita sedang berada
dalam suatu tatanan dunia yang ditandai dengan melejitnya arus teknologi,
tingginya individualitas dan minusnya rasa pengakuan akan eksistensi yang lain.
Di tengah kompleksnya kehidupan, secara perlahan kita sedang digiring pada
suatu ketidaksadaran. Penggunaan alat komunikasi yang berlebihan dapat
menjadikan seseorang sebagai pribadi yang asosial. Pernyataan ini cukup
berdasar sebab manusia dengan sendirinya akan bersikap acuh dan tidak akan
peduli dengan sesamanya. Kita harus kritis bahwa kepemilikan akal budi dalam
diri seseorang sesungguhnya bukanlah suatu jaminan bahwa ia adalah pribadi yang
sadar. Kasus korupsi misalnya, meskipun pelakunya adalah seorang yang
berpendidikan dan dikenal sangat garang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat
toh bisa saja jatuh dalam kubangan skandal tersebut. Lantas, menyadari realitas
seperti ini, apa yang harus dilakukan? Sebelum berbicara lebih jauh tentang
kedaran diri, kita perlu tahu bahwa sejatinya kesadaran diri itu korelasi
dengan roh dan pengakuan. Artinya bahwa kesadaran dalam diri seseorang
terbentuk atas dasar perintah roh, “Geist”
lalu daripadanyalah terjadi pengakuan. Singkatnya, kesadaran, roh dan pengakuan
itu paralel. Diskursus tentang pengakuan serentak mengalami kebuntuan apabila
kesadaran dan roh absen. Sekali lagi, pengakuan hanya dapat terjadi apabila
kesadaran dan roh berjalan berbarengan di dalamnya.
Pentingnya Menjadi Manusia yang Sadar
Mengapa harus
menjadi manusia yang sadar? Seberapa pentingkah kesadaran bagi manusia? Pemahaman
penulis tentang makna asali dari kesadaran itu sendiri masih berkisar pada kemasan
pun kulit luarnya saja. Kesadaran pertama-tama haruslah bertolak pada diri
sendiri. Bagaimana mungkin saya mau menyadari realitas yang berada di luar diri
saya, sedangkan saya sendiri saja belum mengenal siapa saya yang sesungguhnya.
Menjadi manusia yang sadar sesungguhnya merupakan suatu hal yang sagat penting
sebab ia semacam penentu, bagaimana kita berelasi dengan yang lain.
Ketidaksaran yang dipelihara dalam diri saban hari semakin memperkeruh tatanan
hidup bersama, pengabaian terhadap yang lain dan masih banyak lagi. Singkatnya,
kesadaran diri sangatlah penting ditumbuhkan dan dipelihara. Kesadaran diri
harus dimaknai sebagai suatu keutamaan yang harus dimiliki oleh semua orang
tanpa terkecuali. Jadilah manusia yang sadar di tengah gempuran era
ketidaksadaran.
Tentang Penulis:
Rio Ambasan, calon imam SVD asal Timor. Sekarang tinggal di Wisma St. Agustinus-Wairpelit.
0 Comments