LGBT DALAM TERANG HAK ASASI MANUSIA, KONSEP TENTANG “YANG LAIN” DAN CARA BERPIKIR FENOMENOLOGIS

 LGBT DALAM TERANG HAK ASASI MANUSIA, KONSEP TENTANG “YANG LAIN” DAN CARA BERPIKIR FENOMENOLOGIS

Penulis: Miki Moruk

Ilustrasi BBC.com


Abstrak

Berbicara mengenai kaum LGBT sangat sensitif di kalangan masyarakat secara umum. Mereka (kaum LGBT) selalu mendapat kesan buruk karena dipandang rendah atau dipandang sebagai “penyakit sosial” atau sampah masyarakat. Stigma-stigma negatif ini terjadi karena kaum LGBT di mata masyarakat secara umum, kesannya tidak menerima diri, melanggar kodrati, melakukan tindakan tidak sehat, atau anggapan tidak ada jenis kelamin ketiga. Mereka selalu mendapat celaan tidak baik atau negatif. Melalui artikel ini penulis ingin memberikan pencerahan kesadaran moral dan perspektif etis terhadap stigma negatif masyarakat terhadap eksistensial kaum LGBT. Penulis membangun tiga konsep sebagai “jembatan pencerahan” bagi masyarakat umum. Konsep pertama adalah konsep yang dilihat dari perspektif hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang hakiki, hak yang asali dari diri seseorang tanpa diganggu gugat. Dengan perspektif HAM ini setiap orang diharapkan untuk memandang sesama sehakikat. Kedua, konsep tentang yang lain. “Yang lain” disini menerangkan bahwa ketika saya memandang sesama, saya harus keluar dari “persepsi ke-aku-an” diriku. Artinya saya harus keluar dari kenyaman diriku dan mengakui yang lain. Ketiga adalah cara berpikir fenomenologis. Dengan cara berpikir fenomenologis kita dapat memahami peristiwa itu terjadi karena memang peristiwa itu terjadi. Artinya membiarkan kaum LGBT menampakan diri apa adanya mereka. Karena mereka mempunyai hak asasi untuk bebas berekspresi sejauh tidak melanggar aturan, melanggar norma, adat, agama dan budaya. Inilah ketiga konsep yang dibangun penulis pada dalam artikel ini.

 

Kata Kunci: LGBT, Konsep HAM, Yang Lain, Berpikir Fenomenologis

 

 I.                   PENDAHULUAN

Problematika tentang kaum LGBT sangat kontroversial di dalam kehidupan masyarakat. Pandangan negatif terhadap kaum LGBT oleh masyarakat banyak dibincangkan di media sosial. Dalam sebuah berita yang dirilis oleh mediaindonesia.com dengan judul “Warga Tanah Abang Serukan Penolakan LGBT di CFW Saat Pawai Obor”. Dalam laporan tersebut salah seorang tokoh warga di Kecamatan Tanah Abang, bernama Heru Nuryaman saat dikonfirmasikan menyatakan beberapa alasan terkait ketidaksukaan mereka terhadap kaum LBGT dalam acara Citayam Fashion Week. Pertama, penolakan itu serukan karena dalam rangka menyambut tahun baru Islam 1444 hijrah di kawasan Statiun MRT dukuh atas, Jakarta pusat. Kedua, mereka tidak setuju kalau acara fashion itu sebagai momen para LGBT berkumpul dan bergabung atau momen untuk mereka berekspresi secara bebas di ruang publik. Ketiga, kecemasan pada warga setempat karena takutnya melanggar Norma agama, budaya, adat dan tradisi. Keempat, momen tersebut dapat merusak pesan moral yang sudah disampaikan kepada remaja. Inilah beberapa alasan yang dapat disimpulkan dari penolakan warga terhadap kegiatan itu. Ada pun mereka dalam proses penolakan membawa spanduk bertulis “Kreativitas Yes, LGBT No” “selamat tahun Islam 1444 h, bubarkan LGBT”.[1]

Toba Sastrawan Manik dkk, dalam artikel Eksistensi LGBT di Indonesia dalam Kajian Perspektif HAM, Agama, dan Pancasila, menulis demikian:

Pro-Kontra terhadap kalangan ini tidak bisa dihindarkan. Kalangan Pro mengatakan LGBT merupakan ekspresi yang harus dihargai dan dilindungi oleh negara. LGBT dianggap merupakan bagian dari HAM. Kalangan Kontra mengatakan bahwa LGBT merupakan seks yang menyimpang dan bisa merusak tatanan sosial. Pendapat ini biasanya disuarakan oleh kalangan agama maupun budaya di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Santoso yang menyatakan masalah LGBT yang ada di Indonesia sudah menimbukan pro dan kontra. Mereka yang pro dengan LGBT menyatakan negara harus harus dapat mengkampanyekan sikap non diskriminatif antara lelaki, perempuan, trangender, heteroseksual, maupun homoseksual. Dilihat dari perspektif HAM, Pendukung dari LGBT menyatakan orientasi seksual merupakan manifestasi HAM. Bagi yang kontra terhadap LGBT menyatakan LGBT sebagai bentuk penyimpangan dari seksual yang tidak termasuk ke dalam kosep dasar HAM.[2]

 

Melalui beberapa alasan yang dilontarkan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat masih mempunyai sikap menolak eksistensi kaum LGBT untuk berekspresi secara bebas di ruang publik. Hal ini dikarena masih terbenturnya pro kontra dari berbagai sudut pandang. Anggapan masyarakat masih sempit terkait kaum LGBT bahwa kaum LGBT hanya membawa penyakit bagi masyarakat. Hal ini juga disampaikan oleh Febby Shafira Dhamayati bahwa fenomena mengenai komunitas masih menjadi perdebatan baik di kalangan masyarakat internasional maupun masyarakat nasional.[3]   

Atas dasar beberapa poin di atas melalui artikel ini penulis berusaha mengkaji beberapa poin penting untuk dipahami bagi semua orang agar stigma negatif yang masih ada dalam pikiran kita dapat dinetralkan. Artinya melalui kaca mata hak asasi manusia, konsep tentang “yang lain” menurut Levinas, dan cara berpikir fenomelogis, kita mempunyai kesadaran baru dalam memandang mereka. Melalui ketiga konsep ini setidaknya membuka pikiran dan hati kita untuk melihat kaum LGBT sebagai bagian dari sesama kita. Atau bagian dari diri kita yang lain. Artinya penulis tidak membenarkan masalah yang dilakukan apa bila mereka melanggar norma. Penulis hanya ingin memberi kesadaran moral bagi kita untuk menerima mereka, berpikir positif terhadap mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk turut berekspresi di tengah masyarakat.

 II.                 POLEMIK LGBT DAN KONSEPNYA

Secara sederhana dalam kamus besar bahasa Indonesia LGBT adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual dan trangender. Istilah LGBT sebagai yang dijelaskan oleh peter tan bahwa digunakan sejak tahun 1990-an untuk mengantikan term “komunitas gay”. Alasannya adalah istilah LGBT dinggap mewakili semua kelompok tersebut. Febby Shafira, melihat secara garis besar pengertian dari LGBT adalah bentuk orientasi seksual dimana mereka menyukai pasangan sesama jenis. Namun, Febby secara rinci menjelaskan pengertian dari masing-masing term. Lesbian adalah istilah bagi perempusn yang mengarahkan orientasi seksual kepada sesama perempuan. Selain itu juga, lesbian diartikan wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya, wanita homoseks. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Gay merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang pria yang secara seksual tertarik kepada sesama pria dan menunjukkan pada komunitas yang berkembang diantara orang-orang yang mempunyai orientasi seksual yang sama. Biseksual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik kepada dua jenis kelamin sekaligus. Jadi, tipe ini tertarik pada laki-laki juga tertarik pada perempuan. Transgender merupakan istilah untuk orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya cowok tetapi tingkahlaku dan sikapnya seperti cewek, bahkan berpakaiannya pun seperti cewek atau sebaliknya. Sedangkan transeksual berbeda dan transgender, transeksual adalah orang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan orientasi seksualnya, orang ini merasa bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah.[4]

Makna LGBT menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, didefinisikan sebagai berikut: 1. Lesbian merupakan wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. 2. Gay merupakan kata yang diadopsi dari bahasa inggris yang artinya homoseks, sedangkan makna homoseks diartikan sebagai hubungan seks dengan pasangan sejenis (pria dengan pria). 3. Biseksual diartikan mempunyai sifat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) atau tertarik kepada kedua jenis kelamin (baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan). 4. Transgender pengertiannya tidak ditemukan dalam KBBI namun makna gender mengacu pada makna seksual yang diartikan sebagai jenis kelamin[5]

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang itu cenderung untuk menjadi bagian dari LGBT antaranya adalah:[6]

 1. Keluarga: Pengalaman atau trauma di masa anak-anak misalnya, dikasari oleh ibu/ayah hingga si anak beranggapan semua pria/perempuan bersikap kasar, bengis dan panas bara yang memungkinkan si anak merasa benci pada orang itu. Predominan dalam pemilihan identitas yaitu melalui hubungan kekeluargaan yang renggang. Bagi seorang lesbian misalnya, pengalaman atau trauma yang dirasakan oleh para wanita dari saat anakanak akibat kekerasan yang dilakukan oleh para pria yaitu bapa, kakaknya maupun saudara laki-lakinya. Kekerasan yang dialami dari segi fisik, mental dan seksual itu membuat seorang wanita itu bersikap benci terhadap semua pria. Selain itu, bagi golongan transgender faktor lain yang menyebabkan seseorang itu berlaku kecelaruan gender adalah sikap orang tua yang idamkan anak laki-laki atau perempuan juga akan mengakibatkan seorang anak itu cenderung kepada apa yang diidamkan.

 2. Pergaulan dan lingkungan Kebiasaan: pergaulan dan lingkungan menjadi faktor terbesar menyumbang kepada kekacauan seksual ini yang mana salah seorang anggota keluarga tidak menunjukkan kasih sayang dan sikap orang tua yang merasakan penjelasan tentang seks adalah suatu yang tabu. Keluarga yang terlalu mengekang anaknya. Bapak yang kurang menunjukkan kasih sayang kepada anaknya. Selain itu, pergaulan dan lingkungan anak ketika berada di sekolah berasrama yang berpisah antara laki-laki dan perempuan turut mengundang terjadinya hubungan gay dan lesbian.

 3. Biologis Penelitian telah pun dibuat apakah itu terkait dengan genetika, ras, ataupun hormon. Penyimpangan faktor genetika dapat diterapi secara moral dan secara religius. Bagi golongan transgender misalnya, karakter laki-laki dari segi suara, fisik, gerak gerik dan kecenderungan terhadap wanita banyak dipengaruhi oleh hormon testeron. Jika hormon testeron seseorang itu rendah, ia bias mempengaruhi perilaku laki-laki tersebut mirip kepada perempuan.

4. Moral dan Akhlak: Golongan homoseksual ini terjadi karena adanya pergeseran norma-norma susila yang dianut oleh masyarakat, serta semakin menipisnya kontrol sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal ini disebabkan karena lemahnya iman dan pengendalian hawa nafsu serta karena banyaknya ransangan seksual. Kerapuhan iman seseorang juga dapat menyebabkan segala kejahatan terjadi karena iman sajalah yang mampu menjadi benteng paling efektif dalam mengekang penyimpangan seksual. 5. Pengetahuan Agama yang Lemah: Selain itu, di negara yang mayoritas memeluk agama ini, kurang pengetahuan dan pemahaman agama juga merupakan factor internal yang mempengaruhi terjadinya homoseksual. Pengetahuan agama memainkan peran yang penting sebagai benteng pertahanan yang paling ideal dalam mendidik diri sendiri untuk membedakan yang mana baik dan yang mana yang sebaliknya, haram dan halal dan lain-lain.

Sesuai data yang dirilis kebanyakan homoseksual (Lesbian, Gay dan transgender) mulai menyadari dirinya mempunyai kecenderungan berbeda ketika dalam usia muda. Studi menunjukan perilaku homosexual dan ketertarikan sesama jenis banyak dijumpai sejak usia 15, prevalensinya pada pria, di Amerika 20.8%, UK 16.3%, dan Amerika 18.5%. Sedangkan pada kelompok wanita masing-masing 17.8%, 18.6%, and 18.5%. Keadaan ini memperlihatkan kelompok usia sekolah adalah usia yang rentan untuk mulai terlibat dalam hubungan sesama jenis. Sedangkan keputusan untuk menjadi homoseksual kebanyakan terjadi pada usia dewasa muda atau pada usia ketika mereka kebanyakan menjadi mahasiswa.[7]

Menurut survey CIA pada tahun 2015 yang dilansir di topikmalaysia.com jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah ke-5 terbesar di dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika. Selain itu, beberapa lembaga survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 3% penduduk LGBT, ini berarti dari 250 juta penduduk 7,5 jutanya adalah LBGT, atau lebih sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat 3 diantaranya adalah LGBT. Permasalahan LGBT di Indonesia banyak menimbulkan pertentangan pendapat, antara pihak pro dan kontra. Mereka yang pro terhadap LGBT menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, trangender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual). Pendukung LGBT menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan mereka dengan menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi manusia bagi mereka.[8]

Dengan melihat pada konsep dan presentasi di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena LGBT baik dalam ranah nasional dan internasional sudah marak di mana-mana. Namun pro-kontra dalam perspektif masyarakat masih saja terjadi. Pada bagian pertama penulis berusaha untuk mengkajinya dari perspektif hak asasi manusia.

 

III.              KONSEP HAK ASASI MANUSIA

Hak Asasi Manusia (HAM) secara harafiah berarti hak-hak yang dimiliki seseoarang semata-mata karena ia adalah seorang manusia[9]. Melalui konsep sederhana ini dipahami bahwa hak asasi adalah hak yang dasar, hak yang dipahami bahwa sebagai hak kodrati. Hak yang tidak bisa diganggu gugat. Ada pun ciri-ciri khusus dari hak asasi manusia. Pertama hak asasi adalah hak-hak yang setara (egual)[10]. Artinya bahwa setiap orang mempunyai kesetaraan dalam hak untuk dibenarkan ataupun dilindungi. Kedua, hak-hak asasi manusia adalah hak yang tidak dapat dicabut. Arti dari tidak dapat dicabut adalah hak ini sudah melekat dalam dirinya sebagai seorang manusia. Tidak ada gugatan yang menyatakan ia pantas ataupun tidak pantas. Sejak lahir sudah ada dalam dirinya sebagai manusia. Dan inilah yang dimaksud dengan hak kodrati. Ketiga, hak asasi manusia adalah hak-hak universal. Maksud dari ciri khusus yang ketiga ini adalah hak ini berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali. Hal ini berlandaskan pada konsep bahwa dewasa ini semua anggota spesies homo sapiens sebagai makhluk-makhluk insani dan dengan demikian adalah pemegang hak-hak asasi manusia.[11] Artinya bahwa semua kita yang lahir sebagai makhluk yang berakal budi mempunyai hak yang mendasar yakni hak asasi manusia.

Dari beberapa poin penting di atas dapat simpulkan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang sudah ada sejak manusia lahir karena hak ini ada dalam dirinya sebagai makhluk yang berakal budi, mempunyai hati nurani dan kehendak bebas. Atau boleh dikatakan bahwa hak asasi manusia itu sendiri menyatakan diri kita sebagai manusia, dalam artian hak kodrati dalam diri manusia, yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun, atau diganggu gugat. Dikatakan bahwa sumber dari hak asasi manusia itu sendiri adalah kondrat manusia. “Kodrat manusia” yang melandasi hak-hak asasi manusia merupakan sebuah nilai moral preskriptif mengenai potensi diri manusia kodrat.[12] Artinya bahwa hak asasi manusia hadir sebagai sebuah kesadaran moral bagi kita sekalian selalu menyadari hakikat diri kita sebagai manusia untuk saling menghormati dan menghargai atau menjaga satu sama yang lain. Tidak ada kebenaran jika melenyapkan jiwa manusia atas dasar kepentingan sepihak. Atas dasar inilah terjadinya deklarasi universal hak-hak asasi manusia.

Deklarasi universal hak-hak asasi. Ada beberapa alasan penting mengapa dilakukanya deklarasi hak asasi manusia secara internasional.[13]

Pertama, pengakuan terhadap martabat yang melekat pada serta ha-hak yang sama bagi dan tidak dapat dicabut dari semupera anggota keluarga umat manusia merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Kedua, respon moral yang bijak sana terkait terhdap sikap tidak peduli dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Ketiga, soal martabat sebagai yang luhur dan hakiki dalam hidup dan diri manusia. Adanya deklarasi adanya kaidah hukum yang mengatur tatanan kehidupan manusia. Tidak ada penindasan semenanng-menang terhadap kemasuiaan.

Keempat, dengan adanya deklarasi internasional ini, PBB dapat mengatur kehidupan bernegara dalam khazanah global dengan baik agar tidak ada negara yang bertindak semenang-menang. Negara-negara berkerja sama baik yang ada dalam PBB atau diluar untuk selalu menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Kelima, kebebasan. Kebebasan adalah yang mendasar dalam diri manusia. Dengan kebebasan hati, setiap orang bisa mewujudkan kedamian pasti negara aman, tentram dan terbuka.

Dari kelima pertimbangan di atas dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang kodrati, hak yang melekat dalam diri manusia. Hak yang luhur. Oleh karena itu, atas dasar perlindugan, penghargaan terhadap martabat manusia dilakukannya Deklarasi Hak Asasi Manusia Secara Internasional (DUHAM) pada 10 desember 1948. Dekklarasi ini juga merupakan simpul utama revolusi HAM.[14]

HAM berasal dari sejumlah besar refleksi global dan domestik tentang pandangan agama, dinamika politik, dan tantangan kemanusiaan yang muncul di masa lalu.[15] Dengan demikian, HAM dalam kaca mata keagmaan, dinamika politik dan kemanusiaan sendiri selalu beriringan atau dalam pengertian integritas makna untuk kepentingan semua orang. Dan disinilah posisi keterarahan nilai normatif, hukum dan etis dalam mengakkan keadilan moral dan memberikan ruang peran bagi kaum LGBT di tengah publik. Negara, agama dengan segala sistemnya melindungi semua masyarakat. Dalam hal ini kaum LGBT.

Dalam seminar nasional Teori Diskursus Pendasaran Hak-hak Asasi dan Agama, Otto Gusti dalam artikelnya ini menulis:  

Peran agama dalam mempromosikan dan menegakkan hak-hak asasi manusia sangat signifikan karena agama dapat menjadi sumber motivasi bagi warga negara untuk taat pada konstitusi dan hak-hak asasi manusia serta menunjukkan solidaritas bagi warga negara yang lain. Perspektif hak asasi manusia dapat mempertajam dan mendorong moralitas agama untuk melampaui solidaritas komuniter agama itu sendiri serta mempertajam komitmen agama untuk berpihak pada korban. Salah satu kritik mendasar terhadap agama-agama di Indonesia adalah reduksi agama kepada ritualisme dan kesalehan privat minus pertanggungjawaban publik. Dialog dengan faham hak asasi manusia dapat mendorong dan memperkuat keterlibatan agama-agama di ruang publik yang plural guna memperjuangkan keadilan sosial, kesejahteraan bersama, kesetaraan, kebebasan dan demokrasi.[16]

 

Dengan bertolak dari konsep yang dibangun di atas, kita dapat memahami bahwa kehadiran agama adalah untuk memberikan pencerahan lebih lanjut terkait moralitas kemanusiaan. Agama hadir untuk memberikan pencerahan yang lebih baik dan lebih tajam dalam menegakkan hak asasi manusia. Hal inilah yang dikatakan oleh Otto Gusti dalam konsep dialog antara paham hak asasi manusia dan peran agama[17]. Problematika di Indonesia adalah tidak semua masyarakat mengakui kehadiran kaum LGBT masih meresahkan masyarakat. Dalam artian bahwa masyarakat berpandangan kaum LGBT melanggar Norma, adat dan budaya dengan sikap dan kepriandian mereka. Hal inilah yang menjadi titik refleksi bagi masyarakat. Terutama mereka yang masih mempunyai konsep demikian.

HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum[18]. Dengan konsep inilah perlindungan terhadap martabat kemusiaan menjadi jelas. Bahwa semua kita adalah sama. Hakikat kita satu. Agama dan hukum pun menjadi instrument yang kuat untuk mengaskan dan mengakkan kemanusiaan dan martabat manusia. Kaum lbgt pun mendapat perlindungan yang sama. Karena mereka sehakekat dengan kita. Namun, apa bila terjadi penyimpangan agama atau hukum pun turut secara tegas mengaturnya seperti orang yang normal seksual ketika melakukan tindakan penyimpangan.

 

IV.             KONSEP TENTANG “YANG LAIN”

Konsep tentang yang lain secara intensif dinarasikan oleh seorang filsuf komtemporer Emanuel levinas. Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf Prancis kontemporer. Filsafat Levinas merupakan perpaduan unik antara tradisi agama Yahudi, tradisi Filsafat Barat, dan pendekatan fenomenologis. Dia terkenal sebagai filsuf etika dengan sebutan Etika Tanggung jawab, bahkan disebut juga satu-satunya moralis dalam pemikiran pada tahun 1981. Dua karya besarnya berjudul Totalitas dan Tak Berhingga dan Lain daripada Ada atau di seberang Esensi.[19]

 

Felix Bhagi dalam bukunya ALTERITAS: Pengakuan, Hospitalis dan persahabatan, Etika Politik dan Postmodernisme menjelaskan secara mendetail konsep yang lain. Felix Bhagi, menulis demikian:

Gerak melampuai dari “aku kepada yang lain” adalah suatu bentuk obsesi. Di dalam tangung jawab, aku terobsesi untuk yang lain. Setiap tanggung jawab mengandung di dalam dirinya obsesi menuju kepada yang lain. Apakah arti hidup kalau hidup itu dijalankan hanya untuk diri sendiri. Hidup harus dijalankan dalam suatu keterbukaan terhadap yang lain. Di depan yang lain, aku tak bisa memperlihatkan sikapku yang mati-matian mempertahankan jati diriku. Aku tidak dapat kembali diriku sendiri. Di depan yang lain, aku diminta untuk keluar dari diriku, keluar dari kecenderungan sikap yang selalu mementingkan diri.”[20]

 

Berangkat dari konsep di atas dapat dipahami bahwa tentang yang lain, kita perlu menanggalkan "ke-aku-an" dalam diriku dan bisa memahami mereka dari apa yang mereka alami atau apa yang terjadi pada mereka.

Filsafat Tentang “Yang Lain”

Orang Yunani membedakan yang lain dalam pengertian heteros, dan yang lain dalam pengertian allos. Heteros berarti “yang lain dari antara dua” (altri di due), sedangkan alos berarti yang lain sebagai “yang satu diantara banyak yang lain” (un altro tra molti altri). Dari Heteros kita mengenal heterogen dan heteronom. Orang perancis secara khusus membedakan yang lain dalam dua pengenrtian, yakni yang lain sebagai persona, dia yang lain dan yang lain sebagai entitas secara umum. Yang lain sebagai persona, di sebut I’Autrui, sedangkan yang lain sebagai entitas secara umum dinamakan I’ autre. Makna tentang yang lain dibedah lewat jalan, yang dinamakan via negativa. Jalan ini ditempuh dengan cara menegasi. Yang lain adalah yang bukan aku. Bukan yang ini atau yang itu. Untuk memahami yang lain menurut cara dia berada, orang harus pertama-tama menanggalkan seluruh pemahaman yang dimulai dari dirinya, dunianya, dari rasionalitasnya dari kesadaran dirinya dari kebenarannya, dari persepsinya dari kehendaknya dan dari keinginannya. Singkatnya, pemahaman tentang yang lain tidak boleh mulai dari diri atau dari aku.[21]

Levinas, mempunyai rumusan yang amat bagus dalam memberi batasan tentang yang lain. “Dia yang lain adalah yang bukan aku”. Untuk memahami yang lain aku tidak dapat mulai dari diriku, karena memulai diriku berarti memulai dari dunia pemahaman, persepsi, cara berpikir dan tindakanku. Itu berarti memulai dari totalitas kebenaran yang saya miliki. Jalan yang baik untuk memahami yang lain adalah memulai dari yang lain itu, dari dunianya, yaitu dari keberlainan itu sendiri. Dunianya adalah keberlainanya.[22]

Dengan konsep pemahaman Levinas di atas dapat kita pahami bahwa untuk memahami yang lain kita memposisikan diri mereka itu bukan aku dalam artian bahwa kita jangan memakai konsep totalitas kita sebagai ukuran untuk menilai atau menerima mereka. Contoh, sederhananya adalah ketika kita menilai atau memandang para kaum LGBT kita tidak boleh memakai persepsi pikiran kita, yang seharusnya mereka itu seperti ini, seperti itu, tidak boleh seperti itu. Dengan demikian kita tidak bisa menerima mereka. Karena mereka diluar dari persepsi kita, diluar dari harapan kita. tetapi dari konsep yang dibangun oleh levinas di atas adalah konsep bagi kita untuk merefleksikan diri kita sendiri untuk menerima yang lain dari segi hakikatnya diri mereka bukan persepsi “aku-nya” terhadap mereka. Menerima kaum LGBT karena mereka adalah manusia yang sama seperti kita. Sehakikat dengan kita.

John Mansford Prior menulis dengan indah ungkapan demikian, "kita perlu saling menghargai, saling mendengarkan, saling belajar bukan sekedar pada titik-titik kesamaan dengan yang lain, tetapi, lebih lagi pada titik-titik putus serta garis pisah..(…). Kita dipanggil, sekali dan sekali lagi untuk mengakui yang lain".[23]

Melalui ungkapan dari John Mansford Prior, di atas dapat dipahami bahwa panggilan untuk mengakui "yang lain", yakni kaum LGBT adalah terang bagi kita bahwa kita adalah sama. Sebuah kesadaran hakiki yang tidak bisa kita lupakan. Artinya, bahwa mengakui yang lain adalah sebuah panggilan bukan sebuah pilihan.

Sebagaimana Levinas, menguraikan dengan begitu mendalam tentang filsafat wajah, yakni “suatu cara di mana yang lain menampakkan dirinya, di sini kita sebut wajah”. Pada wajah, terbersit suatu kemiskinan yang amat hakiki. Kemiskinan yang diartikan di sini adalah menyatakan bahwa dia sesungguhnya tidak berdaya. Kaum LGBT dalam konsep yang lain, pada filsafat wajah adalah mereka yang menghadirkan sebagai yang lain, bukan dari segi “akunya” kita dan mereka membutuhkan pengakuan untuk bisa merasakan apa yang kita rasakan. Mereka “Miskin tak berdaya”, artinya mereka membutuhkan bagaimana tanggapan dasariah kemanusian kita.[24] Ricky Mentero pun menjelaskan demikian terkait tanggung jawab yang lain. “Dalam pandangan Levinas, tanggung jawab untuk orang lain hanya mungkinn bila ada kesadaran bahwa ‘kehadiran yang lain’ ditanggapi sebagai suatu kehadiran etis.” Artinya melalui pendasaran ini kita memahami bahwa mengakui kehadiran kaum LGBT adalah tanggung jawab moral atau tanggung jawab etis bagi sesama kita[25]. Tanggung jawab ini adalah sebuah panggilan. 


V.                CARA BERPIKIR FENOMENOLOGIS

Istilah Fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomenadan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai”yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita.[26]

Konsep fenomenologi secara sederhana yang dibangun oleh Filsuf Edmund Husser adalah suatu kajian untuk melihat segala bentuk kebenaran dengan melihat pada fenomen yang terjadi. Husser menyatakan bahwa dengan metode pendekatan fenomenologi ini setiap orang bisa mencapai kebenaran yang murni karena sesuai realitas yang terjadi tanpa ada manipulasi. Dengan metode fenomeno ini orang memahami suatu peristiwa sesuai apa yang ada dan tejadi. Hal yang dituntut oleh husser adalah kesadaran. Sejauh mana kesadaran manusia itu benar-benar sadar apa yang ia lakukan. Karena dalam kesadaran orang tahu yang harus ia lakukan. Kesadaran dan isi kesadaran itu sendiri. Satu slogan penting bagi para pemikir fenomenlogi adalah zu den sachen selbst (terarah pada benda itu sendiri).[27] Artinya bahwa dalam keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu dibiarkan sendiri untuk mengungkapkan hakekat dirinya sendiri.

Melalui terang konsep di atas penulis berusaha mengkondisikannya dengan cara berpikir fenomenologis terhadap eksistensial dari kaum LGBT. Hal ini secara sangat mendetail diulas oleh Peter Tan dalam tulisannya Polemik LGBT dan cara Berpikir Fenomenologis.[28]

Peter Tan, menjelaskan bahwa berpikir fenomenologis berarti kita membiarkan fenomena lgbt menampakkan diri apa adanya. Hal ini dinyatakan demikian karena dengan berpikir fenomenologis setiap orang dapat melihat secara netral terhadap kaum LGBT. Artinya seperti yang Tan, jelaskan bahwa dengan berpikir fenomenologis eksistensi LGBT tetap utuh, tidak reduksi kepada penafsiran agama, penilian tradisi, pransangka kultural dan opini mayoritas. Secera fenomenologi ada beberapa perspektif tentang fenomena LGBT.

Pertama, dalam paradigma fenomenologis tendensi atau orientasi seksual LGBT tidak ditentukan oleh seseorang, institusi atau doktrin tertentu, tetapi bersifat alamiah dan kodrati. Di sini menjadi jelas bahwa hal yang bersifat kodrati atau alamiah tidak bisa diubah oleh institute mana pun atau hukum apa pun. Frans Magnis Suseno, mengatakan “kita tidak boleh mengubah hal alamiah dari seseorang. Kita tidak berhak mendiskriminasi orang karena perbedaan alamiah. Pemaksaan mengubah orientasi seksual kaum LGBT adalah kejahatan terhadap kodrat dan kondisi alamiah mereka”

Kedua, orientasi LGBT pada dirinya normal dan benar. Frase pada dirinya sebagaimana dijelaskan oleh Tan, menunjukkan, penilian diskriminatif terhadap LGBT muncul dari kontaminasi religius prasangka kultural, bukan dari kenyataan LGBT secara inheren buruk dan jahat. Artinya posisi kesadaran masyarakat umum yang melihat orienstasi seksual kaum LGBT itu buruk dan jahat karena tidak semestinya benar sebagai kaum normal. Tetapi pertanyaannya apakah kaum normal tidak melanggar aturan seksualitas? Secara sederhana pandangan kultural yang masih sempit membuat masyarat tidak menarik kesimpulan positif. Tan, menyatakan bahwa orientasi seksual kaum LGBT tidaklah bersifat abnormal, deficit dan menyimpang. Hal ini dilihat sejauh mana mereka menerima diri mereka apa adanya tanpa melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Semua ini, karena kesadaran religius, pransangka budaya dan opini mayoritaslah yang mendefenisikan itu sebagai deviasi, abnormalitas.

Ketiga, perspektif fenomemologis tersebut mendorong setiap orang bertindak lebih manusiawi terhadap kaum LGBT. Tan menyatakan bahwa perspektif fenomenolog membantu setiap orang untuk melihat kemanusiaan mereka dengan pandangan murni. Artinya kita dituntut untuk keluar dari zona pikiran negatif kita yang masih kerdil. Kita menghargai dan mengakui ekssitensi mereka di ruang public dengan kemanusiaan dan hak mereka, bukan bersadarkan orientasi seksual yang diangggap menyimpang. Melalui perspektif fenomenologi ini, kita selalu bersikap yang benar, mengakui dan menghormati mereka sebagai manusia. Selagi masih tertutup dengan minset negative terhadap mereka kita akan buta kemanusiaan. Kita menganggap diri tidak sama seperti mereka dari segi kemanusiaan. Seolah-olah mereka adalah musuh. Kita berusaha untuk membanguan mindset yang benar dan adil.

Keempat, urusan seks dan orientasi seksual adalah urusan privat. Artinya yang mau ditekankan dari sini adalah negara tidak berhak mengatur wilayah privat. Tugas negara adalah menjamin eksistensi dan kebebasan mereka sebab sebagai warga negara, mereka memiliki hak yang sama seperti kaum heteroseksual. Melalui pandangan ini, Tan mencoba untuk kita berpikir lebih jauh soal kemusiaan mereka. Tesis ini dibangun karena ada banyak kelompok ekstrem dan radikal agama yang sekarang ini membenci kaum LGBT. Negara bertugas untuk melindungi mereka agar tidak mendapat celaan dari kaum ekstrem agama yang mengaku sok suci. Di dini juga negara bertindak tegas terhadap penyimpamgan seks yang dilakukan oleh kaum LGBT. Artinya negara harus berintervensi jika orientasi seksual LGBT terbukti merusak orang lain, kehidupan masyarakat.

Dari keempat Pandangan yang dibangun oleh Tan di atas dari perspektif fenomenlogi ini secara ringkas mau memberikan semacam terang kesadaran manusiawi untuk melihat sesama adalah diri kita. Artinya bahwa stigma negatif terhadap kaum LGBT sudah menjamur. Bahkan membuat orang mempunyai stigma yang permanen dengan melihat kaum LGBT itu sebagai pembawa dosa, deviasi, atau apa yang dilakukan oleh mereka di ruang publik dianggap salah. Dan kebanyakan masyarakat menolaknya. Tan, dengan perspektif fenomenologi di atas, membangun dan mencerahkan kesadaran manusiawi kita. Karena kemusiaan kita masih gelap dalam menerima sesama. Tan, mengajak kita untuk berpikir keluar dari kesempitan stigma negatif kita. Kita dituntut untuk saling menerima dan menghargai karena kita sehakikat mempunyai hak yang sama. Cara berpikir fenomenologis sangat membantu kita untuk keluar dari stigma negatif kita terhadap kaum LGBT.


VI.             PENUTUP

Membongkar stigma negatif terhadap kaum LGBT. Pada bagian penutup penulis mengaskan bahwa hal mengenai kondrati adalah sesuatu yang dengan senirinya melekat pada seluruh diri dan kehidupannya. Prinsipnya bahwa tidak bisa, tidak boleh diganggu gugat. Kehadiran dan pengesahan hak asasi manusia secara hukum dan juga mendapat respon positif dalam tubuh agama adalah sebuah kesadaran moral yang sangat perlu dan penting. Artinya bahwa kehadiran kaum LGBT tidak dilihat semata-mata dari keberlainan orientasi sekskual mereka yang tidak seperti kita yang normal, tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu adalah hakekat diri mereka sebagai manusia yang sama dan butuh pengakuan secara baik dan benar ditengah masyarakat. Inilah makna dan arti sesungguhnya dari prinsip hak asasi manusia. Prinsip yang lain sebagai prinsip untuk mengakui yang lain diluar dari persepsi akunya kita adalah prinsip yang sangat baik dan sangat perlu. Levinas, menguraikan ini secara jelas bahwa untuk memahami yang lain kita harus ke luar “aku-nya” diri kita agar mereka yang lain adalah gambaran sesama kita yang sehakikat. Kaum LGBT adalah mereka “yang lain”, yang membutuhkan pengakuan kita bahwa kita adalah sama. Sehakikat. Cara berpikir fenomelogis adalah “jembatan” yang menghubungkan aku ke dalam dunia “tentang yang lain”. Kaum LGBT adalah sesuatu realitas yang terjadi, kita dilarang untuk membatasi ruang gerak mereka selagi apa yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang produktif dan baik. Dengan beberapa poin analis di atas dapat membuka pikiran dan hati kita untuk kesadaran moral, etis dan kemanusiaan agar semua orang mengakui kehadiran kaum LGBT sebagai sesama. Tanpa mendiskriminasi. Tetapi di lain pihak jika terjadi penyimpangan yang lakukan mereka tentunya secara hukum juga demikan mengaturnya. Sama halnya juga dengan orang yang normal seksualnya.



[1] Berita, “Warga Tanah Abang Serukan Penolakan LGBT di CFW Saat Pawai Obor” dalam mediaindonesia.com, https://mediaindonesia.com/megapolitan/510872/warga-tanah-abang-serukan-penolakan-lgbt-di-cfw-saat-pawai-obor, diakses pada 26 Oktober 2022.

[2] Toba Sastrawan Manik, dkk, Eksistensi LGBT di Indonesia dalam Kajian Perspektif HAM, Agama, dan Pancasila”. Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 18, No. 2(jogyakarta: September 2021). http://dx.doi.org/10.24114/jk.v18i2.23639  (PDF), download pada 26 Oktober 202, hlm. 2.

[3] Dhamayanti, Febby. Shafira. “Pro-Kontra Terhadap Pandangan Mengenai LGBT Berdasarkan Perspektif HAM, Agama, dan Hukum di Indonesia”. Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, 2(1). (Semarang: Februari 2021), hlm. 211. <https://doi.org/10.15294/ipmhi.v2i2.5374>

[4] Ibid., hlm. 213-114.

[5] Ibid., hlm. 114.

[6] Ibid., hlm. 227-228.

[7]Rita, Damayanti, “Laporan Kajian: Pandangan Masyarakat terhadap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang, 2015” (Depok: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2015), hlm. 1. <https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/0bad8-4-laporan-lgbt-masyarakat>(PDF), download pada, 25 Oktober 2022.

[8]Meilanny, Santoso, “LGBT Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Social Work Jurnal, Vol.6, No.2 Desember (2016), hlm. 221. <http://dx.doi.org/10.24198/share.v6i2.13206>

[9] Frans, Ceunfin, ed. Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Katolik. Jilid 1. (Maumere: Penerbit Ledalero, 2004) hlm.6.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid., hlm. 13. 

[13] Ibid., hlm. 27-28. 

[14] Max, Regus, Marianus Supar Jelahut dan Antonius Nesi. “Dinamika HAM dalam Perbincangan Tiga Dimensi: Tinjuan Konseptual dan Praktis”. Jurnal Ledalero, Vol. 19, No. 2 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020), hlm. 145.

[15] Ibid., hlm.153.

[16] Otto Gusti Madung, “Teori Diskursus, Pendasaran Hak-Hak Asasi Manusia dan Agama” (sebuah artikel ilmiah yang dibawakan dalam seminar nasional di Auditorium IFTK Ledalero, Ledalero 24, September 2022.)

[17] Ibid.

[18] Dhamayanti, Febby. Shafira, op.cit., hlm. 220.

[19] https://id.wikipedia.org/wiki/emanuel_levinas, diakses pada 26 Oktober 2022.  

[20] Felix, Bhagi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Etika Politik dan Postmodernisme. (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 39.

[21] Ibid., hlm. 22-23.

[22] Ibid., hlm. 23.

[23] Mansford, John Prior. “Mengaku yang lain”. Jurnal Ledalero, Vol.  8, No. 2 (Maumere: Penerbit Ledalero, Desember 2009), hlm. 131-132.

[24] Felix, Bhagi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Etika Politik dan Postmodernisme, op.cit., hlm.31-33.

[25] Ricky, Mantero, “Mengelolah Kemanusiaan di Tengah Pandemi Covid-19”, VOX   Ledalero, Seri 66/01, (2021), hlm. 37-38.

[26] Mami, Harajoh “Paradigma, Pendekatan dan Metode Penelitian Fenomenologi” <http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/dra.mami harajoh, m.pd/fenomenologi> (PDF) download pada 25 Oktober 2022.

[27] Nina, Najwa, “Bagaimana Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl” dalam kompasiana.com, https://www.kompasiana.com/annajwa/55a2ca1e610467d623c8/bagaimana-pemikiran-fenomenologi-edmund-husserl, diakses pada 27 Oktober 2022.  

[28] Peter, Tan “Polemik LBGT dan Cara Berpikir Fenomenologis” dalam buku Paradoks Politik. (Yogkarta: Penerbit Gunung Sopai, 2018), hlm. 39-43.

Post a Comment

0 Comments