WAJAH KEBENARAN DAN KONTROL SOSIAL DI ERA DIGITAL || KANIS BAUK

 

Ilustrasi literasi sumenep.com


“Wajah” Kebenaran dan Kontrol Sosial di Era Digital

(Kampanye Strategis Melawan Hoaks dalam Ruang Homo Digitalis)

Abstrak: Artikel ini merupakan ikhtiar penulis untuk mengananlisis wajah kebenaran dan hoaks yang marak berkembang dalam ruang digital belakangan ini, terutama di tengah perkembangan revolusi industri 4.0 ini. Menurut penulis, berkembangnya hoaks dalam ruang digital disebabkan oleh adanya kebebasan manusia yang mengeklik secara bebas lalu mengunggah secara merdeka di dalam ruang digital. Kebebasan ini akhirnya membuat manusia sulit untuk membedakan fakta dari fiksi, kebenaran dari kebohongan, berita dari entertainment. Manusia lebih membenarkan kebohongan daripada kebenaran, mengedepankan kejahatan daripada kebaikan. Akibatnya, manusia akhirnya menerima pelbagai resiko dalam wujud-wujud yang kompleks, seperti hate speech, permusuhan, kejahatan, dan deretan kejahatan lainnya yang berpuncak pada peristiwa yang meresahkan, yakni peristiwa mematikan. Oleh karena itu, berhadapan dengan persoalan seperti ini, penulis mengedepankan pentingnya kontrol sosial. Kontrol sosial punya alasan yang signifikan. Ia erat kaitannya dengan keterlibatan, solidaritas dan tanggung jawab kolektif. Manusia hendaknya terlibat aktif untuk memikirkan kembali model komunikasi yang tepat di era revolusi industri 4.0 ini. Manusia hendaknya menarik diri sejenak dari keegoisan, “ketidaksadaran” diri dan kembali bertanggung jawab secara aktif demi mengatasi problem hoaks yang berkembang hari-hari ini.

 

Kata-kata Kunci: Homo Digitalis, Hoaks, Kebenaran dan Kontrol Sosial.

 

1.      Pendahuluan

Meskipun kurang disadari oleh masyarakat luas, hoaks atau penyebaran berita palsu di dalam ruang digital kini telah menjadi suatu himbauan global yang tengah melahirkan “bencana” dan malapetaka yang signifikan. Fakta ini menjadi suatu tantangan karena adanya tindakan manusia yang mengeklik secara bebas, lalu mengunggah secara merdeka tanpa membuat suatu pertimbangan atau verifikasi yang ketat terhadap unggahan tersebut. Akibatnya, hoaks, ujaran-ujaran kebencian, kejahatan, fake news dan problem lainnya menjadi suatu realitas yang bertumbuh subur dalam jagat digital dan di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Inilah problem sosial yang marak terjadi dan berkembang di tengah arus perkembangan teknologi ini.

Tulisan ini merupakan upaya penulis untuk mengelaborasi dan menganalisis wajah kebenaran di dalam ruang homo digitalis atau hoaks yang berkembang belakangan ini. Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan diri pada perubahan dan perkembangan teknologi di Indonesia akhir-akhir ini. Indonesia merupakan suatu Negara yang tengah “tercebur” ke dalam arus perkembangan teknologi. Banyak orang menggunakan kecerdasan teknologi sebagai “teman perjuangan”, seperti ponsel pintar untuk belanja online, kerja online, kuliah online, dan pelbagai bentuk aktivitas lainnya. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, tesis yang hendak diangkat penulis ialah bahwa hoaks merupakan problem global dan resiko konkret manusia yang mengeklik secara bebas dalam ruang digital, terutama di dalam ruang revolusi industri 4.0. Menurut penulis, hoaks dapat berkembang akibat kebebasan manusia yang hanya mengeklik secara bebas lalu mengunggah, tetapi tidak membuat verifikasi yang ketat terhadap unggahan tersebut.

Berangkat dari tesis dasar di atas, penulis akan terlebih dahulu menganalisis manusia dalam ruang digital. Selanjutnya, penulis akan mengulas secara khusus wajah kebenaran dalam ruang homo digitalis. Bertolak dari seperangkat analisis ini maka tesis dasar ini akan berdampak pada urgensi kontrol sosial, guna memikirkan dan menetapkan kembali suatu model komunikasi yang tepat di era homo digital ini.

2.      Manusia dalam Ruang Digital

2.1  Teknologi Digital

Munculnya teknologi digital pada akhir dekade 70-an, yang menandakan terjadinya sebuah revolusi teknologi, kini telah berkembang pesat dan “menjalar” di dalam “ruang” dan seluruh bidang kehidupan manusia. Teknologi digital merupakan alat yang mampu memproses semua bentuk data, informasi dan komunikasi sebagai nilai-nilai numerik sehingga dapat dibaca oleh komputer.[1]

Teknologi digital, seperti komputer, hand phone (HP), gadget, smartphone dan pelbagai alat digital lainnya, kini telah secara radikal “menyentuh” manusia dengan pelbagai tampilan dan tawaran yang serba instan dan menarik. Menurut penulis, satu hal yang pasti bahwa di era internet of things saat ini, manusia modern sulit menghindar dari gerak dan daya tarik digitalisasi. Secara radikal, semua hal dalam hidup manusia terkoneksi dengan internet dan diperantarai perangkat-perangkat digital. Cara manusia bertindak, hidup, bermasyarakat, berpolitik, bahkan beribadah pun terkoneksi dan dipengaruhi oleh teknologi digital.[2] Manusia tanpa kompromi hendaknya menerima fakta terebut. Ibaratanya, manusia seperti tersesat di sebuah perpustakaan raksasa tanpa dipandu katalog.[3]

Di Indonesia, manusia beramai-ramai menggunakan alat digital dan internet sebagai “teman perjuangan”. Hari-hari ini, Penggunaan mesin digital dan internet meningkat secara drastis. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat bahwa jumlah pengguna internet dan alat digital di Indonesia kini mencapai 202,35 juta orang.[4] Dari jumlah ini, kita dapat mengetahui bahwa saat ini alat digital adalah sesuatu yang urgen dan merupakan suatu “kebutuhan” pokok yang harus dipenuhi oleh manusia.

Salah satu alat digital yang ramai digunakan oleh manusia ialah hand phone (HP) atau ponsel pintar. Manusia secara global merangkul dan beramai-ramai menggunakan internet atau ponsel pintar untuk meningkatkan tampilan diri sendiri dan orang lain di dalamnya.[5] Menurut penulis, ponsel pintar menampilkan serempak menawarkan pelbagai tampilan menarik yang serba instan bagi manusia yang menggunakannya. Ia mampu memberikan semua yang diinginkan oleh manusia secara cepat dengan hanya sekali ‘klik’ pada layarnya. Dengan hanya mengeklik ponsel pintar, manusia akan menemukan sejuta jawaban dan informasi yang menarik: mulai dari yang penting hingga yang tidak terlalu penting. Semuanya campur aduk, tampil serentak di mata manusia yang mengaksesnya.

Menurut penulis, ponsel pintar menampilkan serempak menawarkan pelbagai tampilan menarik yang serba instan bagi manusia yang menggunakannya.


Selain itu, ponsel pintar juga dapat digunakan untuk pelbagai hal dan kebutuhan manusia. Dalam konteks ini, ia dapat digunakan sebagai alat yang memudahkan manusia untuk bekerja dari rumah (work from home), belajar dari rumah (learning from home) belanja dari rumah dan pelbagai kegiatan lainnya yang dapat dilakukan dari jarak jauh. Di samping itu, ponsel pintar juga dapat digunakan sebagai penunjuk arah atau kendaraan otomatis yang mampu memberikan informasi mengenai titik kemacetan serta jalur alternatif kepada pengemudi. Tujuannya ialah agar pengemudi dapat berjalan di jalan yang aman dan tidak terjebak dalam kemacetan serta kecelakaan lalu lintas, dengan memanfaatkan sistem Artificial Intelligence (AI) yang bisa membuat berbagai keputusan secara cepat dan lebih baik dari pengemudi manusia.[6]

Hemat penulis, perkembangan teknologi digital di era revolusi 4.0 ini turut melahirkan pelbagai perubahan dan kemudahan yang signifikan bagi manusia. Melaluinya, segala bentuk kegiatan akan berlangsung secara mudah tanpa harus bersusah-susah mengeluarkan tenaga atau uang untuk pergi berkumpul di satu tempat. Inilah konsekuensi dari globalisasi dan perkembangan teknologi.

Perkembangan ini tidak hanya membawa kemudahan bagi manusia, tetapi juga melahirkan bencana dan malapetaka besar baginya. Manusia akan mengalami keresahan luar biasa karena demokrasi digital akan menyajikan gelombang hoaks dan ujaran kebencian. Gelombang ini bahkan meningkat menjadi epidemi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat serta epidemi yang melahirkan krisis etika publik, permusuhan dan kejahatan di dalamnya.[7] Teknologi ini, akhirnya akan membuat manusia menjadi alat dari “peralatannya” sendiri.[8] Dalam hal ini, manusia akan menjadi alat yang dapat mempercepat hoaks dan kejahatan lain di dalamnya.

2.2  Ponsel Pintar: Produksi dan Penyebaran Hoaks

Tidak dapat dimungkiri bahwa hari-hari ini, ponsel pintar telah secara radikal menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam setiap lini kehidupan manusia. Ia adalah alat pintar yang dijadikan oleh manusia untuk segala bentuk aktifitasnya. Ia dijadikan seperti “sahabat” yang lebih pintar dan cepat dari manusia itu sendiri. Hanya dengan sekali ‘klik’, ia sudah bisa membaca dan menampilkan sejuta jawaban kepada manusia secara cepat dan tepat. Inilah homo digital.

Di dalam ruang ponsel pintar, manusia hanya “mengonsumsi” informasi dari ponsel lalu meneruskan informasi itu kepada manusia yang lain secara cepat dan mudah. Dalam konteks ini, ponsel pintar memudahkan manusia untuk bersatu dan berkomunikasi dengan manusia secara global tanpa harus bertemu secara fisik. Ia mampu memberikan informasi kepada seluruh umat manusia di jagat raya ini secara cepat.

Menurut penulis, aktifitas ‘klik’ di ruang ponsel pintar ini bila tidak didasari dengan suatu kesadaran atau verifikasi yang ketat maka aktifitas ‘klik’ sebetulnya hanya melahirkan malapetaka yang berujung pada bencana kemanusiaan. Tanpa verifikasi, manusia hanya memproduksi kejahatan-kejahatan sosial, berita-berita palsu, fake news yang berpuncak pada penyebaran dan pencemaran jagat digital dengan hoaks atau penipuan terhadap publik. Meminjam ungkapan Martin Heidegger, kebebasan seperti ini akhirnya akan membawa manusia ke nihilisme. Sebab, ia hanya mengenal istilah cepat dan lebih cepat lagi.[9]

Manusia yang ‘klik’, konsumsi dan meneruskan informasi begitu saja tanpa membuat suatu verifikasi yang ketat, sebetulnya merupakan kumpulan manusia yang tidak mampu bahkan telah gagal untuk melibatkan akal budi. Mereka dapat dikelompokkan ke dalam kelompok manusia yang telah diperbudak oleh ponsel pintar. Sebab, akal budi mereka tidak sanggup lagi untuk membedakan kebenaran dari kebohongan, fakta dari fiksi, berita dari entertainment, dan informasi dari iklan. Akibatnya, hoaks atau kebohongan menjadi sesuatu yang dapat bertumbuh subur dan berkembangbiak dalam wujud-wujud yang kompleks seperti dalam penyangkalan terhadap fakta, ketidakjujuran penguasa, misinformasi, ujaran-ujaran kebencian (hate speech) propaganda, provokasi, fake news, dan lain sebagainya.[10] Fakta ini akhirnya menghantar manusia pada suatu “dunia baru” yang disebut kebencian dan permusuhan sosial.

2.3  Hoaks: Dari Kebebasan ‘Klik’ (Freedom of Click) Menuju Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Lajunya perkembangan teknologi digital, telah secara radikal menghantar manusia pada suatu kebebasan yang signifikan. Revolusi digital ini melepaskan manusia dari gaya hidup lama yang “monoton” menuju kebebasan-kebebasan baru dalam ruang digital. Kebebasan baru manusia yang marak terjadi hari-hari ini ialah kebebasan ‘klik’ di dalam jagat digital.

Aktifitas ‘klik’ memungkinkan manusia untuk berjumpa dengan manusia yang lain secara global, mendekatkan manusia yang lain, memudahkan manusia untuk berkomunikasi dengan manusia yang lain secara cepat dan mempertemukan manusia untuk membangun persahabatan di sana. Inilah fakta homo digital. Hanya dengan sekali ‘klik’ pada layar ponsel yang kita miliki maka semua realitas ini akan terjadi serentak secara cepat.

Hemat penulis, kebebasan ‘klik’ seperti yang terjadi saat ini sebetulnya merupakan suatu realitas yang hanya mempercepat lajunya hoaks dan akhirnya melahirkan ujaran-ujaran kebencian di dalamnya. Hoaks pada akhirnya menghantar manusia pada suatu kejahatan dan permusuhan sosial.

Kejahatan itu bisa terjadi dalam wujud yang bermacam-macam. Dalam konteks ini, ia bisa terjadi mulai dari peristiwa yang biasa sampai pada peristiwa yang keji dan mematikan, misalnya, sikap tak peduli, sikap egois, berhati dingin dan kehendak jahat.[11] Inilah fakta freedom of click. Penulis berpendapat bahwa fakta ini bisa berdampak pada suatu peristiwa yang lebih tragis dan sangat meresahkan yang dapat merenggut korban jiwa, mengancam disintegrasi bangsa, dan mengganggu stabilitas keamanan nasional.[12]

Realitas di atas pertama-tama terjadi dan menjadi semakin berkembang karena kebebasan ‘klik’ yang tak terhindarkan. Di hadapan beranda ponsel, manusia melakukan aktifitas ‘klik’ secara bebas tetapi tidak menyadari bahwa dirinya adalah “subjek” dan bisa menjadi hakim dan Tuhan atas orang lain. Yang terpenting ialah ia ‘klik’ secara bebas lalu unggah secara merdeka. Inilah homo digital; bebas tetapi tidak sadar. Manusia yang tenggelam dalam arus kebebasan, mental instan dan serba cepat, akan tersesat di antara banyak hal yang melingkupinya dan akhirnya ia akan kehilangan jati dirinya sendiri.[13] Dalam keadaan seperti ini maka jagat digital akan menjadi beranda subur berkembangnya hoaks, terjadinya permusuhan yang berujung pada kebencian antar manusia.

F. Budi Hardiman mengungkapkan bahwa kebebasan baru ini bahkan melambung sampai melepaskan kebebasan alamiah, yang selama ini masih dibatasi oleh norma-norma moral dan menghasilkan brutalitas dan kebencian terhadap manusia yang lain.[14] Menurut penulis, kebebasan ini membuat pengguna lambat dan tidak cepat menyadari bahwa dirinya bisa memproduksi dan bisa melahirkan lingkaran permusuhan serta “gudang” kejahatan bagi manusia yang lain. Alhasil, seperti yang diungkapkan oleh Yuval Noah Harari, fakta ini membuat manusia akan kehilangan nilai hidup sepenuhnya. Manusia masih akan berharga secara kolektif, tetapi akan kehilangan otoritas individual mereka, dan akan diatur oleh algoritma-algoritma eksternal.[15]


Baca juga

  1. Opini Apakah Berita Palsu Menghancurkan Publik
  2. Puisi Membunuh Marianus


3.      “Wajah” Kebenaran Dalam Ruang Homo Digitalis

Di era homo digital ini, segala sesuatu terjadi begitu mudah dan cepat. Manusia hanya memerlukan satu kali ‘klik’ pada layar ponselnya, semuanya akan terjadi seketika. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya atau pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan manusia harus berjuang keras untuk melakukan segala sesuatu. Akan tetapi, realitas itu hanya terjadi dan berlaku di abad pertengahan. Sementara pada abad modern ini, semuanya beralih dan berubah secara drastis. Dengan hanya sekali ‘klik’ maka manusia akan memperoleh segala sesuatu di sana.

Menurut penulis, perubahan ini telah secara radikal melahirkan resiko dan bencana kemanusiaan yang signifikan. Dalam konteks ini, ia telah membuka sebuah era baru dalam sejarah kehidupan manusia, yakni era yang lebih mengedepankan hoaks atau fitnah ketimbang kebenaran. Tidak hanya sampai di sini, era ini pun telah secara radikal memperalat manusia dan akhirnya menghantar manusia pada suatu “tatanan dunia baru”, yakni manusia yang haus informasi.

Era ini sebetulnya hanya membuat manusia tidak tenang dan akhirnya manusia hanya ikut-ikutan atau mengikuti tren saja; tanpa sadar dan tanpa suatu pemahaman yang pasti. Yang terpenting ia eksis di sana dan ia bebas ‘klik’ di dalamnya. Sikap ini akhirnya mendorong manusia untuk berbuat apa saja. Entah itu kebaikan, kejahatan, kebenaran, dan kesalahan semuanya campur aduk. Yang terpenting ialah ia bebas ‘klik’ dan merdeka melakukan semuanya itu. Lantas, apa yang akan tersisa bila manusia bebas ‘klik’ tanpa suatu kesadaran yang pasti?

Hemat penulis, di era ini kebenaran mustahil terjadi. Dalam konteks ini, kebenaran akan menjadi seperti “anak haram”: ada tetapi tidak dianggap bahkan diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum pragmatis bahwa kebenaran hanyalah nama untuk ciri yang dimiliki oleh semua pernyataan yang benar.[16] Atau secara radikal, boleh dikatakan bahwa kebenaran sudah kembali menjadi sesuatu yang sangat relatif dan tidak bebas nilai.

Hardiman mengungkapkan bahwa di era ini, kebenaran tidak lagi menarik atau bahkan dicurigai sebagai tuduhan dan intimidasi. Sebab, aliran suksesi pesan digital yang kian cepat dan tidak utuh dipersepsi, kebenaran dapat dituduh sebagai kebohongan dan kebohongan dapat disanjung sebagai kebenaran.[17] Beberapa konsep ini melahirkan deretan pertanyaan yang signifikan. Apakah kebenaran telah tamat dari sejarah hidup umat manusia di era homo digital ini? Apakah masih relevan, bila kita berbicara tentang kebenaran di era homo digital ini? Mari kita menjawab deretan pertanyaan ini secara jeli dan bijak.

Homo digital telah secara radikal menggusur kebenaran dan telah melahirkan suatu problem yang serius. Menurut penulis, di era ini, manusia telah secara bebas mengabaikan bahkan melupakan fakta pentingnya kebenaran. Ada tiga fakta kebenaran yang sangat urgen dan relevan dibicarakan pada era ini. Pertama, kebenaran adalah sebagai moralitas hidup. Kedua, kebenaran adalah sebagai fakta keselamatan. Ketiga, kebenaran adalah sebagai bentuk dialektika.

Pertama, kebenaran adalah sebagai moralitas hidup. Meminjam ungkapan Emmanuel Kant, kebenaran berpangkal pada moral dan moralitas adalah kebenaran itu sendiri.[18] Kebenaran adalah sebagai moralitas karena ia berakar dalam kemanusiaan kita. Moral adalah kata hati, suara hati, perasaan, suatu prinsip apriori dan absolut. Ia sebagai suatu realitas yang memberi perintah imperatif kepada manusia untuk bertindak. Selanjutnya, Kant mengungkapkan bahwa perintah imperatif adalah perintah untuk berbuat sesuai dengan keinginan universal, yaitu suatu hukum kewajaran.[19]

Manusia yang bertindak menurut hukum ini sebetulnya manusia yang tengah melahirkan serempak mempraktikan kebenaran itu kepada publik. Kebenaran yang dipraktikan itu ialah bukan semata-mata kebenaran yang diadakan begitu saja, melainkan suatu kebenaran yang berpangkal pada moralitas yang hakiki. Jadi, kebenaran ini adalah kebenaran universal yang berasal dari kata hati, yakni moralitas hidup manusia. Moralitas ini akhirnya menghantar manusia untuk berbuat baik dan hidup baik serta layak sebagai manusia itu sendiri.[20]

Kedua, kebenaran adalah sebagai fakta keselamatan. Kebenaran itu merupakan suatu fakta keselamatan karena ia benar-benar ada dan terjadi dalam realitas hidup manusia. Ia bukan suatu konsep yang diadakan melainkan suatu fakta yang benar-benar nyata dan konkret. Dalam hal ini, ia ada bersama-sama dengan manusia. Manusia dan kebenaran adalah satu kesatuan atau suatu jalan panjang yang ditempuh bersama. Jalan panjang atau suatu fakta yang menghantar manusia pada keselamatan.[21] Jadi, kebenaran itu ialah sebagai suatu fakta yang dapat membawa manusia pada ruang keselamatan. Manusia yang berjalan bersama kebenaran ini maka ia akan mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Sebab, kebenaran adalah fakta keselamatan. Meminjam pandangan Filsafat Timur, “menuju fakta kebenaran” adalah proses soteriologis menuju keselamatan.[22]

Ketiga, kebenaran adalah sebagai bentuk dialektika. “Dialektika” yang dimaksudkan oleh penulis ialah bahwa kebenaran pada dasarnya adalah sebuah bentuk dialog. Dalam konteks ini, dialog yang bisa dimulai dari kebaikan dan kebenaran lalu menuju pada suatu kebaikan atau kebenaran yang berlawanan dengannya. Kedua realitas ini akan bertemu dan membentuk suatu dialektika di sana. Ketika kedua realitas ini bertemu maka dialektika ini akan menghasilkan dinamika kebenaran yang signifikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hegel bahwa dialektika ini merupakan fakta gerakan dialektis “Roh”.[23] Dialektika “Roh” yang mampu membentuk dan menghasilkan kebenaran bagi manusia. “Roh” yang mampu memperdamaikan segala keburukan dan kebaikan serta kesalahan dan kebenaran.

Jadi, di dalam dialektika ini, ia mampu mendamaikan kembali dua realitas yang berlawanan dalam suatu “ruang” kesatuan yang baru. Artinya, kebenaran awal yang terlanjur “tertindih” oleh kejahatan, diangkat kembali dan diperdamaikan kembali oleh “dialektika” ini, yakni dialektika “Roh” atau kebenaran. “Dialektika” kebenaran, seperti yang diungkapkan oleh Hegel sebagai suatu dialektika yang mempunyai “Roh” yang mutlak.[24] Dalam konteks ini, “Roh” yang mampu melahirkan kebenaran sejati bagi manusia.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, kita dapat memperoleh pemahaman bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang sangat urgen dan relevan bagi hidup manusia di era homo digital ini. Kebenaran adalah suatu realitas yang berkaitan dengan moralitas, fakta keselamatan manusia dan sebagai dialektika. Oleh karena itu, manusia yang mengabaikan kebenaran sebetulnya merupakan kumpulan manusia yang mengabaikan moralitas hidup. Mereka adalah kumpulan manusia yang tengah mengabaikan keselamatan dan berusaha menghilangkan dialektika: “Roh” yang mutlak di dalam diri mereka sendiri.

4.      Kontrol Sosial: Sebuah Bentuk Solidaritas dan Tanggung Jawab kolektif

Hoaks, ujaran-ujaran kebencian melalui media sosial, permusuhan dan deretan kejahatan lainnya yang marak terjadi hari-hari ini merupakan suatu bentuk risiko konkret dari keegoisan manusia yang mengeklik secara bebas, tetapi lambat sadar di dalam ruang digital, terutama di era revolusi industri 4.0 ini.

Di era ini, manusia lebih mengedepankan hoaks daripada kebenaran, kejahatan daripada kebaikan dan keadilan. Akibatnya, manusia menerima deretan resiko konkret yang meresahkan. Mulai dari resiko yang paling biasa sampai pada resiko yang besar, yakni mematikan.

Satu hal yang pasti bahwa di era internet of things saat ini, manusia modern tidak mungkin menghindar dari gerak dan daya tarik digitalisasi. Dalam konteks ini, secara radikal manusia tidak mengelak darinya, tetapi secara spontan manusia hendaknya menerimanya. Sebab, revolusi digital berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia.

Berhadapan dengan realitas akut seperti ini, penulis menyadari urgensi kontrol sosial atau keterlibatan masyarakat umum untuk mengatasi deretan problem ini. Menurut penulis, kontrol sosial di era homo digital ini punya alasan yang signifikan. Pertama, secara filosofis manusia adalah makluk sosial; makhluk berakal budi yang sangat penting di dunia ini. Untuk itu, berhadapan dengan fakta ini, manusia hendaknya sadar dan terlibat secara aktif. Manusia hendaknya menata kembali model komunikasi yang tepat di era homo digital ini, terutama di tengah perkembangan revolusi industri 4.0 ini.

Menata kembali model komunikasi yang dimaksudkan oleh penulis ialah mengawasi batas-batas komunikasi yang brutal. Batas-batas komunikasi itu, seperti kekerasan verbal, tindakan yang tidak bermoral, aksi kejahatan dan pelbagai kekerasan lainnya yang terjadi di dalam jagat digital. Hal ini bertujuan untuk mendisiplinkan “warga digital” menjadi warga yang mampu mengeklik secara moral dan lebih manusiawi. Hardiman mengungkapkan, cara ini dilakukan sekurang-kurangnya untuk mengimbau kesadaran moral pengguna gawai untuk melakukan yang baik di dalam jagat digital.[25]

Kedua, kontrol sosial erat kaitanya dengan solidaritas dan tanggung jawab manusia terhadap dunia dan sesamanya yang lain. Yang lain adalah Dia yang bukan Aku. Dia adalah suatu realitas yang berbeda dengan Aku. Emmanuel Levinas mengungkapkan bahwa yang lain adalah sebagai yang melampaui segala sesuatu, bukan suatu konsep. Ia bukan suatu ide, bukan juga suatu pemikiran yang abstrak. Untuk itu, yang lain adalah dia yang merupakan tanggung jawabku.[26]  Oleh karena itu, dalam mengatasi hoaks dan deretan kejahatan lainnya yang marak terjadi hari-hari ini, manusia hendaknya memikirkan dan menetapkan kembali suatu model ‘klik’ yang berkeutamaan di era homo digital ini.

Memikirkan dan menetapkan model ‘klik’ yang berkeutamaan berarti mengedepankan sikap komunikasi sehat dan bijak. ‘Klik’ yang sehat berarti mengeklik dengan penuh kesadaran. Artinya, tidak terburu-buru apalagi haus informasi. Kesadaran ini sekurang-kurangnya dapat membuat manusia menjadi manusia yang mampu untuk mengontrol diri dan tidak melakukan kejahatan dalam ruang digital. Di samping itu, manusia juga akan menjadi manusia yang peka terhadap realitas; peka terhadap kebaikan, keadilan dan kebenaran universal. Alhasil, meminjam ungkapan Hardiman, keutamaan ini diperlukan untuk menyadarkan manusia agar bersedia menerima dan memberi kenyamanan bagi manusia yang lain dengan rendah hati.[27]

Dengan mengacu pada seperangkat analisis yang diutarakan sebelumnya, penulis mengelaborasi beberapa solusi konkret berikut ini. Pertama, di tengah lajunya hoaks, fake news dan deretan kejahatan yang terjadi dalam ruang homo digital hari-hari ini, manusia hendaknya mengedepankan sikap dan tindakan yang bermoral. Manusia hendaknya mengontrol diri dan menarik diri atau mengambil jarak dari ruang homo digital.

Menarik diri berarti “beristirahat sejenak” dan kembali ke posisi alamiahnya, yakni tenang, sadar diri, berani dan bijaksana. Manusia hanya menarik diri atau mengambil jarak dan bukannya meninggalkan realitas hariannya karena dengan mengambil jarak, manusia bisa menilai dan mengerti sesuatu secara komprehensif.[28] Jadi, dengan “kesadaran” ini, manusia akan mampu mengendalikan dirinya dari tindakan-tindakan yang brutal. Manusia akan menolak yang jahat dan menjadikan dirinya sebagai tuan atas alat-alat digital, bukan budak alat-alat digital yang hanya mempercepat lajunya hoaks dan deretan kejahatan di dalam jagat digital.

Kedua, manusia mesti melibatkan akal budinya untuk berpikir kritis. Berpikir kritis berarti berdialog dengan diri sendiri dan terikat dengan realitas dunia. Berpikir kritis merupakan suatu aktivitas yang dapat mencegah orang melakukan kejahatan.[29] Menurut penulis, berpikir kritis memampukan manusia untuk bertindak secara moral dan lebih manusiawi. Manusia akan mampu memilah dan memilih secara bijak kebenaran dari kebohongan dan kebaikan dari kejahatan. Dengan demikian, manusia dapat bertindak secara baik dan benar di dalam jagat digital.

Ketiga, manusia hendaknya mengedepankan sikap solidaritas dan tanggung jawab kolektif. Mereka hendaknya aktif, peduli dan terlibat mengutamakan keadilan dan kebenaran universal sehingga jagat digital bukan lagi menjadi beranda subur berkembangnya hoaks dan hate speech, melainkan sebagai ruang untuk membangun komunikasi dan persahabatan yang sehat. Mengutip ungkapan Hardiman, teknologi digital menjadi alat yang mampu mendukung persahabatan manusia.[30] Dengan demikian, persahabatan, kebaikan, keadilan, kebenaran dan moralitas akan bertumbuh dan berkembang di dalam ruang homo digital.

 

5.      Penutup

Manusia kini telah hidup di suatu “era baru”, yakni “era” yang lebih mengedepankan hoaks daripada kebenaran, kejahatan daripada kebaikan universal. Di era ini, fakta dan fiksi, kejahatan dan kebaikan, kebenaran dan hoaks tidak mempunyai batas yang jelas. Semuanya campur aduk. Manusia secara bebas ‘klik’, tetapi tidak sadar menyebarkan informasi yang penuh dengan hoaks, berita berbasis sensasi, dan unggahan lainnya yang berisi fitnah dan deretan kejahatan lainnya. Akibatnya, manusia harus menerima resiko konkret yang meresahkan. Menurut penulis, realitas ini menjadi semakin berkembang karena kebebasan manusia yang mengeklik secara bebas, lalu mengunggah secara merdeka dalam ruang digital, terutama di tengah perkembangan revolusi industri 4.0 ini. Inilah homo digital: bebas ‘klik’, tetapi lambat sadar. Oleh karena itu, kontrol sosial merupakan sesuatu yang sangat urgen untuk memerangi problem ini. Tiga solusi konkret yang bisa dilakukan secara kolektif ialah; pertama, manusia hendaknya mengedepankan sikap dan tindakan yang bermoral. Manusia hendaknya mengontrol diri dan menarik diri atau mengambil jarak dari ruang homo digital. Kedua, manusia mesti melibatkan akal budinya untuk berpikir kritis. Berpikir kritis berarti menarik diri untuk berdialog dengan diri sendiri dan terikat dengan realitas dunia. Ketiga, manusia hendaknya mengedepankan sikap solidaritas dan tanggung jawab kolektif. Mereka hendaknya aktif, peduli dan terlibat mengutamakan kebaikan dan kebenaran universal dalam jagat digital. Ketiga solusi ini merupakan tawaran penulis yang bertujuan untuk menyadarakan dan memberikan pegangan atau pedoman kepada manusia untuk bertindak dalam ruang homo digital. Dengan ketiga solusi ini, kita berharap, problem hoaks dan aneka kejahatan lainya dapat teratasi sehingga tidak melahirkan bencana yang signifikan bagi kita semua. (Kanis Bauk, mahasiswa IFTK Ledalero semester VIII)



[1] Mochamad Guntur Budi Prasetya, “Perkembangan Teknologi Digital yang Sangat Pesat di Zaman ini”, dalam m.kumparan.com, www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/mochamad-guntur-budi-prasetya/perkembangan-teknologi-digital-yang-sangat-pesar-di-zaman-ini-1vzpn3SU4Pb, diakses pada Senin, 14 February 2022.

[2] Agus Sudibyo, Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 2019), hlm. xvii.

[3] Agus Sudibyo, Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 2021), hlm. 268.

[4] Hari Darmawan, “Kemenkominfo Mencatat Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Mencapai 202,35 Juta Orang”, dalam m.tribunnews.com, www.google.com/amp/s/m.tribunnews.com/amp/techno/2022/01/20/kemenkominfo-mencatat-jumlah-pengguna-internet-di-indonesia-mencapai20235-juta-orang, diakses pada Selasa, 15 February 2022.

[5] Graham M. Jones dkk., Wacana Digital: Bahasa Media Baru, penerj. Mutia Nurul Izzati (Jakarta: Penerbit Prenadamedia, 2019), hlm. 25.

[6] John C. Lennox, 2084: Pandangan Kristen Tentang Kecerdasan Buatan Artificial Intellegence dan Masa Depan Umat Manusia (Jawa Timur: Literatur Perkantas, 2020), hlm. 51.

[7] Agus Sudibyo, loc. cit.

[8] Anthony G. Wilhelm, Demokrasi Era Digital: Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Ciber, penerj. N. Veraningtyas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 7.

[9] A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan dan Politik Platon (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), hlm. 20.

[10] Frano Kleden, “Bahasa Era Pasca Kebenaran dalam Tinjauan Hermeneutik Kecurigaan Habermas”, Akademika, 12:1 (Ledalero: Desember 2017), hlm. 8.

[11] F. Budi Hardiman, Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital (Yogyakarta, 2021), hlm. 229.

[12] Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, Kebohongan di Dunia Maya: Memahami Teori dan Praktik-praktiknya di Indonesia (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2018), hlm. 2.

[13] A. Setyo Wibowo, op. cit., hlm. 21.

[14] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 45.

[15] Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, penerj. Yanto Musthofa (Tangeran Selatan: Pustaka Alvabet, 2018), hlm. 399.

[16] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 74.

[17] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 112.

[18] Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Filsafat Umum: Dari Metologi Sampai Teofilosofi (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008), hlm. 279.

[19] Ibid.

[20] Frans Ceunfin, “Etkika Dasar” (Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2019), hlm. 7.

[21] Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 78.

[22] Ibid., hlm. 35.

[23] Ibid., hlm. 70.

[24] Ibid., hlm. 71.

[25] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 57.

[26] Felix Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Etika Politik dan Postmodernisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 31.

[27] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 76.

[28] Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian: Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 177.

[29] Ibid., hlm. 174.

[30] F. Budi Hardiman, op. cit., hlm. 233.

Post a Comment

0 Comments