MEMBACA “DIRI MANUSIA” DALAM PUISI “PERTEMUAN” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (Sebuah Refleksi Filosofis Berbasis Karya Sastra Puisi)
Manusia sebagai makhluk yang bereksistensi merupakan suatu kekayaan personal yang total dan juga otonom. Keunggulan manusia secara hakiki membedakan dirinya dengan makhluk hidup yang lain. Tinjauan tentang manusia dan seluruh kompleksitas tentang dirinya menjadi alasan yang kuat untuk menegaskan pentingnya kehadiran diri manusia sebagai makhluk yang berada dalam dunia. Meskipun demikian pergulatan refleksi filosofis tentang manusia tidak selalu berakhir pada satu kesimpulan yang mutlak, tetapi menciptakan peluang untuk menggali identitas manusia secara lebih mendalam dan lebih kaya. Oleh karena itu berbicara dan merefleksikan manusia selalu dimulai dengan pertanyaan paling dasar, “siapakah manusia?” Pertanyaan “siapakah manusia?” merujuk pada personalitas manusia, identitas manusia dan kekayaan dirinya sebagai manusia. Dalam antropologi filsafat atau filsafat manusia pertanyaan-pertanyaan seputar manusia selalu dijawab dengan refleksi filosofis. Bertanya tentang manusia tidak bisa dijawab dengan media disiplin ilmu matematika, sebab filsafat manusia tidak terbatas pada ukuran yang statis, atau ditinjau dengan metode fisika atau ilmu alam yang terbatas pada penjelasan dunia jasmaniah. Manusia selalu dibaca dalam refleksi filosofis. Refleksi adalah kegiatan yang khas rohaniah. Karena manusia adalah makhluk rohaniah, ia dapat sekaligus subjek dan objek, atau ia sebagai subjek yang bertanya sekaligus menjadi objek yang ditanyakan.[1] Dalam tulisan ini, penulis akan membuat refleksi filosofis tentang manusia dengan menginterpretasi nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam karya sastra puisi berjudul “Pertemuan” rangkaian catatan pena Sapardi Djoko Damono. Perlu disampaikan bahwa, Penulis tidak membuat kajian teoretis tentang manusia secara historis (asal-usul manusia), atau membuat konsep umum tentang manusia berdasarkan disiplin ilmu tertentu, tetapi tulisan ini lebih pada hasil refleksi filosofis penulis terhadap sebuah karya sastra puisi. Bagi penulis, nilai-nilai yang terkandung dalam puisi tersebut dapat direfleksikan untuk membaca diri manusia. Oleh karena itu judul yang diberikan dalam tulisan ini ialah, Membaca Diri Manusia dalam Puisi “Pertemuan” Karya Sapardi Djoko Damono (Sebuah Refleksi Filosofis Berbasis Karya Sastra Puisi).
2. Sapardi Djoko Damono dan Puisi “Pertemuan”
Dalam pembahasan ini penulis akan menguraikan biografi Sapardi Djoko Damono sebagai penulis puisi “Pertemuan”. Selanjutnya penulis juga akan menguraikan kekayaan nilai yang terkandung dalam puisi tersebut dengan refleksi filosofisnya.
2.1 Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, Jawa Tengah 20 Maret 1940, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyayoko dan Sapariah. Saparadi Djoko Damono adalah seorang penyair, budayawan dan guru besar ilmu susastra, serta pujangga Indonesia pada abad XX-XXI.[2] Setelah menamatkan pendidikannya dalam bidang sastra Inggris di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sapardi menikah dengan Wardingsi yang bekerja sebagai dosen IKIP Malang Cabang Madium (1964-1968), beberapa perguruan tinggi di Solo, dan pindah ke Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang (1969-1974), hingga pada tahun 1960-an Sapardi sempat belajar ilmu dasar humaniora di Hawaii, Amerika Serikat.[3] Sapardi telah melahirkan puluhan karya sastra yang terdiri dari cerpen, puisi, esai, terjemahan, dan buku karya ilmiah lainnya. Karya-karya terbaik Sapardi juga sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa global seperti bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Kehadiran Sapardi dengan karya-karyanya yang gemilang menghantar dia berkeliling dunia untuk membacakan karya-karya terbaiknya. Menurut pendataan, karya Sapardi Djoko Damono sudah mencapai 32 lebih karya sastra. Berkat kepiawaiannya dalam menulis karya-karya sastra Sapardi juga mendapatkan banyak penghargaan nasional dan internasional. Sapardi meninggal dunia pada Minggu, 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. [4]
2.2 Puisi “Pertemuan” [5]
Perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala
lelaki tak pernah menoleh
dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana
dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar bagai Rahim yang terbuka, udara yang jenuh)
ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini
-1968-
2.3 Kajian Nilai Filososfis Kemanusiaan dalam Pusi “Pertemuan”
Secara umum puisi dipahami sebagai karya sastra yang memiliki kekayaan nilai yang sarat makna. Para penulis puisi mengekspresikan perasaannya atas pengalaman dan realitas hidup yang sudah, sedang atau yang akan dialaminya. Altenberd menjelaskan puisi sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa birama (bermetrum), selain itu Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah; sedangkan Auden mengemukakan puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur baur.[6] Oleh karena itu pemahaman tentang puisi merupakan pengungkapan perasaan dan batin yang diciptakan oleh penulis atau penyair dengan menggunakan kata-kata yang indah, disusun dalam bentuk birama untuk mengungkapkan perasaan dan nilai seputar kehidupan penulis dan realitas hidup manusia. Pengungkapan nilai yang disampaikan dalam bentuk puisi memberikan daya Tarik yang luar biasa. Para pembaca puisi dan para penggemarnya akan sangat mudah menemukan nilai yang memberikan sumbangsih moral dalam merefleksikan hidupnya. Pengungkapan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam sebuah puisi lebih mudah diserap dan “merasuki” jiwa para pembaca dan penggemar puisi. Salah satu puisi yang kaya akan nilai kehidupan dapat kita temukan dalam puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul “Pertemuan”. Puisi ini dikembangkan dengan gaya bahasa yang sangat mudah dimengerti, sehingga memudahkan para pembaca untuk menimba nilai yang terkandung di dalamnya. Sapardi Djoko Damono menciptakan puisi yang mampu menggugah perasaan setiap orang untuk merefleksikan pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam puisinya. Berikut merupakan beberapa kajian nilai filosofis yang ditemukan oleh penulis setelah membaca dan merenungkan puisi “Pertemuan” karya Sapardi Djoko Damono.
2.3.1 Kesetiaan
Sapardi menunjukkan sikap manusia yang memiliki kesetiaan akan sesuatu atau tanggung jawab yang dimilikinya. Pribadi yang setia merupakan kunci dari pertahanan diri dalam menjalan suatu tugas. Kesetiaan menuntut kepatuhan dan kesabaran. Orang bisa saja merasa jenuh atau bosan ketika sesuatu yang dirindukannya tidak segera datang, atau kesetiaan orang tidak akan bertahan lebih lama jika sesuatu yang diperjuangkannya tidak cepat diperoleh. Gambaran nilai kesetiaan dalam puisi pertemuan secara tekstual ditemukan pada bait pertama: “Perempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala.” Secara tekstual kita dapat membaca bahwa ada keluhan, penyesalan, dan penderitaan yang dialami oleh sosok perempuan (Perempuan mengirim air matanya). Ia menunggu sosok yang dinantikannya, menunggu peristiwa perjumpaan dengan pasangannya. Kedukaan hati yang dialaminya ini diluapkan dalam bentuk doa, dan permohonan kepada Tuhan (“ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan ke landasan cakrawala”).
2.3.2 Tanggung jawab
Selain nilai kesetiaan, puisi “Pertemuan” mengandung nilai tanggung jawab. Manusia sebagai makhluk moral atau lebih tepatnya penulis mengatakan, “manusia sebagai pelaku moral” menyadari dirinya sebagai pribadi yang bertanggungjawab. Rasa tanggung jawab yang tinggi menepatkan seseorang pada level kepribadian yang lebih tinggi dan diakui oleh sesamanya. Tanggung jawab yang baik menjadi implikasi diri yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Sapardi menunjukkan nilai tanggung jawab manusia dalam puisi “Pertemuan” bait kedua: “lelaki tak pernah menoleh dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan, hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana” untuk mempertegas hakekat manusia sebagai makhluk yang bertanggungjawab, Sapardi menggunakan tokoh seorang laki-laki. Pada konteks ini, Sapardi mau menegaskan betapa pentingnya laki-laki memiliki nilai tanggung jawab. Acap kali kelalaian laki-laki dalam menjalankan tugasnya, melenyapkan makna tanggung jawab yang sebenarnya harus dimiliki oleh seorang laki-laki. Dalam puisi ini tampak sekali, Sapardi mengajak para kaum adam untuk menanamkan diri dalam nilai tanggung jawab, walaupun banyak sekali tuntutan dan beban yang harus dipikul (“lelaki tak pernah menoleh dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan”). Sosok yang bertanggungjawab tidak melepaskan dirinya dari tugas yang diembannya, sosok yang bertanggungjawab selalu menjadi “idaman dunia”, sebab dunia sangat merindukan sosok yang bertanggungjawab (“hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana”).
2.3.3 Ketulusan Cinta
Ketulusan dalam mencintai menjadi kerinduan yang tak habisnya dinanti. Setiap insan memiliki ketulusan cinta yang beragam. Ada yang tulus mencintai karena hati yang menyatukan, ada yang tulus mencintai karena ikatan hubungan kekeluargaan, ada juga ketulusan cinta yang dilahirkan karena perjalanan yang panjang untuk mempertahankan cinta itu sendiri. Pada dasarnya mendefinisikan tentang cinta tidak selalu berakhir pada sebuah kesimpulan yang pasti dan mati. Cinta memiliki daya yang kuat dan menjadi candu yang memabukkan bagi mereka yang tenggelam di dalamnya. Oleh karena itu cinta selalu memiliki cerita yang bersambung. Tak terlepas dari makna cinta yang direfleksikan dari masing-masing pribadi, Sapardi melukiskan cinta sebagai sesuatu yang terberi dan hasrat yang selalu bergejolak. Cinta selalu membutuhkan kepastian, dan dan tantangan demi kematangan cinta itu sendiri. Hal ini dapat direfleksikan dalam puisi “Pertemuan” bait terakhir: “dan serbuk-serbuk hujan tiba dari arah mana saja (cadar bagai Rahim yang terbuka, udara yang jenuh ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini” Manusia adalah makhluk mencintai dan dicintai. Ketulusan mencintai menghantar orang pada kepenuhan hidupnya. Dalam dirinya manusia menjadi pelaku cinta yang hidup, memainkan peranannya sebagai pelakon cinta yang hidup. Puncak dari ketulusan mencintai diekspresikan dalam berbagai cara, misalnya meramu cinta di atas ranjang saat baru berjumpa oleh karena perpisahan seperti bahasa Sapardi (“cadar bagai Rahim yang terbuka, udara yang jenuh ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini”).
2.3.4 Kerinduan
Puncak dari ekspresif nilai yang paling tinggi dari puisi ini adalah kerinduan. Kerinduan identik dengan penantian. Kerinduan selalu memaksa seseorang untuk bertahan di dalamnya. Sosok yang kuat dalam rindu memiliki hasrat yang kuat untuk menantikan sesuatu yang sudah lama dirindukannya. Sebaliknya sosok yang tidak kuat menahan rindu, akan terperangkap dalam penderitaan batin, sebab yang dinantikannya tidak kunjung jumpa dan mendekat. Rindu bisa saja menjadi sakit yang menyengsarakan jika tidak dibarengi dengan kesabaran. Sebaliknya rindu akan membawa kebahagiaan jika dilandaskan pada sikap saling percaya terhadap cinta dan janji. Kerinduan bisa menjadi alarm yang berbunyi pada waktunya, jika kita tidak mengalaminya dalam keterpaksaan. Sapardi dalam puisinya ini menggambarkan kerinduan yang memenuhi janji. Kerinduan untuk bertemu selalu dihadangi oleh situasi yang menantang. Kerinduan bisa saja mati jika kita meragukan cinta dan janji yang disepakati.
3. Penutup
Membuat refleksi filosofis tentang manusia dan segala kepenuhannya tidak selalu berakhir pada kesimpulan yang mati dan pasti. Manusia selalu dinamis oleh karena situasi lingkungan dan kesadaran batin yang dialaminya. Manusia adalah makhluk yang kaya akan penafsiran dan refleksi tentang dirinya, sehingga mendefinisikan manusia tidak cukup dengan mencantumkan definisi secara metodis tetapi mengupasnya dengan refleksi tentang kedalaman akan eksistensinya. “Pertemuan” karya Sapardi Djoko Damono menjadi salah satu media yang membantu kita untuk mengenal dan memahami manusia sebagai makhluk yang kaya akan nilai dan pemaknaannya. Kajian nilai yang terkandung dalam puisi tersebut secara reflektif filosofis menghantar kita untuk memahami lebih dalam tentang siapakah kita sebenarnya, dan bagaimanakah cara kita hidup di tengah dunia yang menuntut sebuah tanggung jawab moral.
----------------------------------------------
Biodata
Fr. Ando Roja Sola, SVD adalah Mahasiswa Semester 7 di STFK Ledalero dan bergiat sastra di Komunitas teater Aletheia. Tinggal Wisma SVD St. Agustinus Wairpelit.
Keterangan:
1. Adelbert Snijders, OFM Cap, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 13.
2. Puji Santosa dan Djamari, Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono (Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2013), hlm. 17.
3. Ibid, hlm. 19.
4. Wahyu Adityo Prodjo,
https://ampkompascom.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/megapolitan/read/2020/07/19/10194391/”sastrawansapardidjokodamonomening galdunia” amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16345397433783&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24sUsap,diakses pada 18 Oktober 2021.
5. Sapardi Djoko Damono, Manuskrip Puisi Hujan Bulan Juni (Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 1994), hlm. 17.
6. Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik (Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada, 2009), hlm. 5-6.
Daftar Pustaka
1. Sumber Buku
Damono, Sapardi Djoko. Manuskrip Puisi Hujan Bulan Juni. Jakarta: Penerbit PT. Grasindo, 1994.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada, 2009.
Santosa, Puji dan Djamari. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2013.
Snijders, Adelebert, OFM Cap. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
2. Sumber Internet
Wahyu Adityo Prodjo,
https://ampkompascom.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/megapolitan/read/2020/07/19/10194391/”sastrawansapardidjokodamonomeninggaldunia”amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16345397433783&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24sUsap, diakses pada 18 Oktober 2021.
0 Comments