Cerpen||Loys Jewaru.
Lelaki Gila
“Jika hati sedang terluka, untuk apa berpura-pura bahagia?
Bukankah berjuang menyembunyikan luka, sama halnya dengan membiarkan luka bertumbuh dalam diam.”
*****
Lelaki kurus itu, yang duduk di depan tokoh bangunan, terus cengar-cengir tiap kali menjumpai orang yang menertawakan dirinya. Tiap kali cengar-cengir, gigi-gigi kuningnya akan tampak dengan sangat jelas, membuat orang yang melihatnya mual, tetapi juga merasa geli hingga akhirnya tertawa.
Semua orang yang memperhatikan lelaki kurus itu akan menganggapnya gila. Namun tidak semua orang tahu bahwa lelaki itu pernah menjadi manusia yang normal dan bahkan lebih normal dari orang-orang yang sekarang menganggapnya gila.
Kemarin ketika hujan turun, lelaki kurus itu menjumpai sahabat karibnya yang kelihatannya juga gila. Mereka bermain hujan sambil tertawa terbahak-bahak. Tidak ada yang tahu alasan mereka tertawa, tetapi tingkah mereka yang aneh membuat orang lain juga ikut tertawa.
Sesekali keduanya saling berperang air, terkadang juga mereka berjingkrak seperti orang kesurupan. Memang sangat aneh, tetapi tingkah mereka cukup membuat orang lain bahagia sekalipun sedang diliputi banyak beban.
Setiap sore, area di depan tokoh bangunan itu dipenuhi oleh pengunjung yang datang menyaksikan tingkah konyol kedua lelaki gila itu. Mereka bertingkah aneh, seolah sedang melakonkan sandiwara hidup yang lucu. Orang-orang yang dipenuhi beban hidup, senang menyaksikan tingkah konyol kedua lelaki gila itu. Sayangnya tidak ada yang sadar, bahwa mereka sedang menyaksikan bentuk kepalsuan tertinggi dari kebahagiaan.
Sesungguhnya kedua lelaki gila itu sedang dikhianati oleh luka yang dipelihara sendiri. Kepergian orang-orang tercinta karena terserang wabah telah menimbulkan luka. Kedua lelaki itu tidak tahu caranya mencintai luka.
Mereka berjuang menyembunyikan luka yang sesungguhnya tidak akan pernah menghilang. Berpura-pura tertawa adalah bagian dari cara mereka menyembunyikan luka yang sedang bertumbuh dalam hati.
Mereka berjuang menyembunyikan luka dalam hati, tetapi tanpa sadar luka itu terus bertumbuh dalam diam. Luka itu berpura-pura menghilang, tetapi kemudian dia kembali membawa luka yang lebih besar, hingga akhirnya membuat mereka gila.
*****
“Apakah kita benar-benar gila?” Tanya salah seorang dari kedua lelaki itu, setelah orang-orang pergi meninggalkan mereka sendirian di depan tokoh bangunan.
“Ah, jika kita benar-benar gila bagaimana mungkin kita bisa menyadari bahwa kita gila. Memangnya menurutmu kita gila?”
“Entahlah, kupikir kita hanya sedang berpura-pura tidak terluka.”
“Jika kita sedang terluka mengapa orang senang menertawakan kita, apakah luka pantas ditertawakan?”
“Ya, luka yang disembunyikan memang pantas untuk ditertawakan, agar ia mau keluar dari tempat persembunyiannya.”
“Ah, sudahlah aku tidak mengerti maksudmu, memangnya apa itu luka dan untuk apa kita terluka?”
Pertanyaan itu mengakhiri percakapan kedua lelaki yang dianggap gila itu. Mereka belum mampu mengakui kenyataan bahwa mereka sedang terluka. Mereka tidak akan pernah menjadi manusia yang normal, jika mereka tidak mau mengakui bahwa mereka sedang terluka.
0 Comments