CERPEN LAURENTIUS LAKI BEWA-PERPUSTAKAAN GEREJA

Pixabay.com

Perpustakaan Gereja

Gedung ini dibangun pada 20 Mei 1937 oleh seorang misionaris Belanda. Namanya, Adrian Vlooswijk, SVD.  Tinggi tegaknya lebih dari pohon cemara, besar megahnya kali empat rumahku yang dindingnya dari galar. Ada dua lantai dalam gedung itu yang lengkap dengan pendingin ruangannya. Buku-buku di sana dari banyak bahasa seperti, Latina, Netherlands, Deutsch, English, dan tentunya bahasa kita yang satu itu, Bahasa Indonesia.

Ada dua jenis jendela di sana. Jendela pertama adalah jendela yang kalau dibuka, angin mengalir masuk dan keluar dengan bebasnya. Mereka yang disentuh angin berhembus itu selalu mengucapkan terima kasih. Konon bukit tempat perpustakaan itu dibangun merupakan pusat di mana matahari mengangkat tongkat dan mahkota kekuasaannya. Memerintah dengan bara cahaya pada tubuhnya. Jendela kedua adalah jendela yang kalau dibuka, kau menemukan segalanya; sejarah, budaya, sastra, politik, hukum, ekonomi, dan tentu saja ilmu yang paling megah di sana, Philosophia. Kadang-kadang, jendela itu menjelma kau. Utuh seluruh. Salah satu yang dapat kusebut, misalkan, di sana tertulis: Benjamin Franklin said : “In wine there is truth, in beer there is freedom, in water there is bacterya,”  tentu itu menjelma dirimu kalau kau adalah pemabuk yang menggandrungi alkohol dibanding air putih. Namun sayang seribu sayang, orang-orang di luar perpustakaan menamainya Perpustakaan “Gereja”, yang hanya akan dikunjungi kalau ada keperluan mendesak. Kalau kepepet sesuatu. Salah satunya yang kuperhatikan, seperti membuat skripsi. Orang-orang itu, datang bukan untuk membaca tetapi mencari sumber pustaka yang sesuai dengan tema skripsinya, dan tentu saja mengutip dari sana.

Di dalam perpustakaan, aku kadang lama sekali memilih buku. Memilih buku bacaan bisa membunuhku. Mereka, buku-buku itu, seperti memiliki femme fatale. Kadang, aku butuh merenung lebih panjang untuk mengambil sebuah buku yang sesuai dengan kemampuanku. Salah memilih buku berarti gagal mengencani seorang wanita di sepanjang musim semi. Menjadi terpuruk, mengejar kesia-siaan belaka. Maka, aku merenung lebih panjang agar dapat mengencani buku yang tepat. Buku yang tepat membuat kelaparan pergi dari lambungku pada jam dua belas tiga puluh siang dan segera kekenyangan akan memenuhi lambungku pada saat kepalaku terisi teori-teori baru. Buku di tanganku pun dapat membuat bumi berhenti berputar. Dan aku baru akan menyadarinya ketika salah satu pustakawan mengabari bahwa sudah saatnya perpustakaan istirahat.

Kami saling mencintai, aku dan buku-buku bacaanku di perpustakaan itu. Aku oleh buku pertama dibukakan pintu kepada buku kedua, ketiga, dan seterusnya selama aku mau mencari dan mencintai kebijaksanaan. Aku tidak sedang menjadikan diriku seorang yang bijaksana, tetapi buku-buku itu mengajariku untuk merasa bijaksana. Buku-buku itu selalu tersenyum dan membiarkan aku meminum dari mata airnya. Aku tahu mana buku dengan mata air yang berair dan mana buku dengan mata air yang pahit. Tidak semua mereka dapat kuteguk. Kami terpisah oleh takdir dan kemelut yang tak dapat dituliskan. Namun, yang aku tahu masing-masing buku akan menemukan orang yang cocok dengannya.

“Akhir-akhir ini rajin masuk perpus e,” ungkap Eja sambil menunjukkan baris gigi atasnya di depanku.

“Tidak juga le, teman,” dengan sedikit tersenyum malu aku menjawabnya.

“Lebih baik dari Munes yang dulu. Mantap,” sambil tertawa ahaha ia kemudian berbalik memunggungiku. Entahkah ia bermaksud memuji atau membuat pembedaan atas diriku.

Eja adalah salah satu dari sekian teman yang mengenalku dengan baik. Mereka mengenalku sebagai seorang yang dulunya sering bermain game online di sepanjang waktu. Belum lagi, dari sudut asalku, mereka mengatakan bahwa aku ini tukang wora alias tukang tipu. Begitulah pertemanan. Mereka mengenal kita tetapi tidak tertarik pada kita. Mereka hanya ada ketika kita baik dan lenyap ketika kita buruk dan terpuruk. Kepiawaian mereka adalah memuji dengan membandingkan dirimu yang kini dan yang dahulu. Bahkan kadang mereka mencerca masa lalu kita, seolah masa lalu kita bukan bagian dari kita.

Aku lebih suka teman-teman yang tetap bertahan denganku ketika aku menunjukkan sisi burukku. Mereka, setidaknya bagiku meskipun adalah pemalas dan pembual, tetap mengakui siapa aku dalam segala kekurangan dan kelebihanku. Zaman sekarang cari teman yang menerima dirimu apa adanya itu sulit. Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Menemukan sahabat seperti mereka ini, aku tak ingin kehilangan.

“Ini hari ke perpus lagi kah ?” Tanya Jhino kepadaku.

“Kau mau ikut kah ?” Aku balik bertanya.

“Eh, tidak. Kau pergi su. Sa mau ke kantin. Nanti, yang kau su baca tu kasi tau kami e,”

“Ahahaha. Intinya simpan sa pu bagian e,”

“Kami tunggu kau di mana ?”

“Di kantin bawah sa. Sa kasih habis buku yang kemarin, setelah itu sa ke bawah.”

“Oke su,”

Begitulah setiap percakapan yang terjadi antara aku dan sahabatku sebelum kemudian kami menuju ‘dermaga’ masing-masing.

Di dalam perpustakaan aku menempati kursi kosong di lantai dua. Kursinya dekat jendela. Meski ber-AC dan memilih tempat yang punggungku berhasil membutakan matahari, tetap saja ruangan itu jinak pada panas api langit. Dan biarlah, amor fati. Teguhku dalam hati, mencoba menguasai keadaan. Ada beberapa orang lain juga di sana dengan buku yang berhasil menghipnotis mereka dan beberapa yang lain lengkap dengan laptop dan hp, terlihat sedang mengerjakan sesuatu dan membagi fokusnya kepada buku dan teknologi itu.

Di tanganku sebuah buku cerpen buah tangan Pater. Selo Lamatapo. SVD. Penggali Sumur. Ketika itu, aku membaca “Pulang” dan benar saja hal itu terjadi. Pikiranku pergi jauh memunggungi tubuhku. Perpustakaan hening, buku-buku khidmat memandangi wajahku, dan waktu berputar ke arah kiri. Aku pulang.*

Baca juga:

________________________________________

Tentang penulis

Laurentius Laki Bewa adalah mahasiswa IFTK Ledalero semester 5. Ia juga merupakan  seorang pengusaha babi di wisma St. Agustinus.

 

 

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

0 Comments