Nilai Sosio-Kultural dalam Film Kau dan Warna (sebuah analisis film dalam terang sastra) || Ulasan Sastra No Eris

 

(Sumber gambar: images.app.goo.gl)

Pengantar

        Manusia dapat dilihat sebagai primata yang muncul pada puncak evolusi, determinasi naluriahnya mencapai suatu taraf atau titik terendah dari perkembangan pola pikirnya yang mencapai tingkat paling maksimal. Kolaborasi naluriah dan perkembangan pola pikir tersebut terjadi dari fase ke fase mulai dari evolusi binatang yang dilihat secara biologis.[1] Di sini manusia mulai masuk ke dalam lingkup sosio-kultur. Hal ini kemudian  membawa manusia ke dalam sebuah kebudayaan.

    Kebudayaan selalu bersifat imateriil yang terdapat dalam pikiran setiap manusia. Konsep ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini dipengaruhi oleh tiga unsur penting:

· lingkungan geografis induk bangsa

· kontak antarbangsa

· kekayaan alam melimpah yang menjadi daya tarik bagi bangsa lain.

Unsur-unsur di atas membentuk suatu eksistensi yang kuat bagi suatu kebudayaan. Lebih spesifiknya lagi, dalam budaya lokal konsep mengenai kebudayaan juga mengalami perkembangan. Namun masih ada praktik atau kebiasaan-kebiasaan yang nilai keasliannya tetap dipertahankan sampai sekarang. Alasan mendasar di sini karena kebudayaan lokal merupakan satu kebiasaan atau adat-istiadat yang ada dalam sebuah masyarakat dan dijunjung tinggi oleh setiap anggota masyarakat sejak seorang memulai kehidupan.

    Menarik dalam salah satu karya Soalihin Asdin dalam film pendek yang berjudul “Kau dan Warna.” Film tersebut menggambarkan sosio-kultural yang terdapat di Pulau Sumba Barat, tepatnya di kecamatan Lamboya. Dalam hubungan dengan ini, penulis merasa tertarik dan pada bagian berikutnya penulis mencoba menganalisis makna terdalam dari film tersebut dengan bertolak dari dua unsur yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik serta sedikit melihat hubungan sosio-kultural dalam film tersebut.

(Baca juga: Di Samping Bahu Veronika || Puisi Ama Kolle)

Isi

    Hasil karya pencipta merupakan esensi dari seni yang mengekspresikan hasrat manusia akan sebuah keindahan. Bertolak dari pernyataan di atas, bisa dikatakan bahwa hasil karya seni selalu dihubungkan dengan keindahan. Dalam dunia seni, setiap pribadi hidup dan selalu ada perasaan yang mendasar tentang dunia atau habitus di mana ia tinggal atau berada. Dunia seni selalu menarik setiap orang dari dunia yang real dan membawa orang lain ke dunia yang baru yang lazim disebut sebagai dunia refigurasi. Mengenai keindahan selalu tidak menemukan jawaban yang baku karena keindahan selalu kembali kepada subjektif, setiap orang selalu mengalami perbedaan dalam berpandangan mengenai keindahan. Ini selalu berkaitan dengan latar belakang pemahaman setiap orang mengenai hasil karya seni. Ada bermacam-macam karya seni yang dihasilkan oleh seniman. Dalam hubungna dengani ini penulis hanya membatasi pendalamannya mengenai salah satu karya seni yakni film pendek Kau dan Warna. Ada  dua unsur besar yang penulis mau ungkapkan dari film pendek tersebut, yakni unsur intrinsik yang mencakupi : tema, amanat, alur, latar, penokohan dan sudut pandang. Sedangkan unsur yang lain adalah unsur ektrinsik yang mencakupi : latar belakang masyarakat, latar belakang penulisan dan nilai-nilai yang terkandung dalam film.

Judul film          : Kau dan Warna

Genre                : Drama

Durasi                : 37 menit 28 detik

Tanggal rilis       : 28 Agustus 2021

Sutradara           : Soalihin Asdin

Produser            : Soalihin Asdin

Penulis skenario: Soalihin Asdin

Pemeran           : Ande: mahasiswa KKN,  Domi: Kepala Desa Lamboya, Marten: Sekretaris desa, Lince: Relawan kampung Lamboya, Bapak Lince: Kepala Kampung, Anak-anak Kampung, Rita: relawan, sahabat Lince.


(Baca juga: Sinopsis Cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama Karya Budi Darma || Ando Sola) 


1.      Unsur intrinsik

1.1. Tema

Di sini penulis lebih melihat tema sebagai pokok pikiran paling dasar dari sebuah cerita yang dipakai sebagai sesuatu yang dasar dari sebuah cerita. Kau dan Warna, lebih bertemakan tentang kebudayaan yang di dalamnya menggambarkan secara khusus proses pemikiran tentang pendidikan dalam budaya Sumba. Di samping itu juga digambarkan tentang aktivitas yang ada di dalam kebudayaan setempat.

1.2. Amanat

Sebuah hasil karya penciptaan tentu mempun yai amanat atau pesan. Dalam film Kau dan warna, penulis mencoba menarik beberapa amanat. Yang mendasar di sini adalah proses memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu film tersebut juga menuntut para penonton untuk tetap setia dan terus berjuang apa yang sudah dicita-citakan. Sikap tanggung jawab dan terbuka terhadap realitas yang lain juga perlu ditanamkan dalam kehidupann sehari-hari.

1.3. Alur atau Plot

Suatu peristiwa selalu terjadi dari sau waktu ke waktu yang lain. Hal ini disebabkan oleh rangkaian peristiwa yang terjadi dalam waktu. Di sini alaur atau plot juga mencakup kronologis yang berhubungan erat dengan peristiwa-peristiwa. Ada berberapa alur yang terjadi dalam setiap peristiwa. Dalam hubungan dengan film Kau dan Warna menggunakan alur maju karena peristiwanya berentet atau saling berkaitan sampai memuncak atau akhir peristiwa. Hal ini dibuktikan sejak kedatangan Ande ke kampung dan itu adalah awal cerita, setelah itu aktivitas dan relasi Ande yang terjadi di kampung sampai ia kembali dari kampung dan di sini konflik mulai meredah dan ada kesadaran baru dari bapaknya Lince tentang kesetaraan. Ia akhirnya memberikan kebebasan kepada Lince untuk mengejar cita-citanya melalui beasiswa. Ini masuk dalam  puncak dari cerita.

1.4. Latar

Latar atau setting dalam sebuah prosa selalu berhubungan dengan tempat, waktu atau keadaan yang mencakup alam atau iklim suatu peristiwa. Dalam hubungan dengan film tersebut, penulis melihat beberapa titik yang menjadi tempat terjadinya relasi dan konflik. Pada umumnya latar tempat dari cerita adalah Pulau Sumba tepatnya di Kecamatan Lamboya, Sumba Barat-NTT. Selain latar tempat ada juga digambarkan latar waktu yakni pagi dan siang hari.

 

1.5. Penokohan

Di sini penulis melihat dua hal yang berbeda antara karakter dan karakterisasi. Karakter lebih kepada tokoh-tokoh dalam sebuah cerita sedangkan karakterisasi adalah cara pengarang menggambarkan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. Dalam film, penulis lebih melihat tentang karakterisasi, di mana penulis mau melihat cara  pengarang menggambarkan watak dari para tokoh. Di sini, penulis melihat beberapa tokoh penting dengan karakteristiknya masing-masing.

·        Lince: Dalam film pendek Kau dan Mawar, Lince salah satu perempuan kampung mempunyai cita-cita yang tinggi. Ia adalah perempuan yang tidak pasrah akan kebiasaan atau adat istiadat setempat. Ia juga adalah seorang pejuang yang berjuang membantu mewujudkan mimpinya sendiri dan anak-anak kampung setempat. Ia juga penyabar, terbuka untuk berkomunikasi dengan tokoh lain. Karakterristik ini dilihat dalam peran Lince yang ia tumjukan dalam lakon-lakonya.

·   Ande: Ia adalah seorang mahasiswa praktek yang setia menjalankan tugas-tugas prakteknya. Kepribadiannya dewasa, tanggung jawab dan terbuka berkomunikasi dengan banyak tokoh. Hal yang menarik dari Ande di sini ialah, ia mampu mengubah pola pikir dari ayah Lince yang berisi keras mengekang Lince dalam mewujutkkan cita-citanya.

·         Bapak Lince: Ia adalah seorang kepala kampung yang keras, selalu mengekang dan menganut kebiasaan kampung bahwa perempuan harus tetap ada di rumah dan melakukan aktivitas yang ada di kampung saja. Selain itu ia juga pilih kasih terhadap anak laki-lakinya.

·         Domi: Sebagai kepala desa ia bersifat dewasa, tanggung jawab.

·         Marten: Tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya sebagai sekretaris

·         Reta: Setia mendengarkan, tanggung jawab

1.6. Sudut Pandang atau Point of View (POV)

Dalam sebuah cerita pengarang selalu menggunakan sudut pandang dalam memberi pemahaman tentang tokoh dalam cerita. Dengan demikian dalam film Kau dan warna pengarang lebih menggunakan sudut pandang atau point of view orang ketiga (POV3), di mana pengarang tahu segalanya dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang lain.

Dalam unsur intrinsik ini konflik pelan-pelan mulai memuncak hal ini dilihat dalam karakteristik para tokoh terlebih khusus antara Lince dan ayahnya. Keduanya ada dan memiliki orientasi masing-masing. Dan secara temporal, Lince sebagai anak yang mengalami perkembangan secara fisik dan pola pikir dia tentu mempunyai standar kebahagiaan tersendiri yakni melanjutkan cita-citanya. Walaupun impiannya ini menggebu-gebu, toh dia harus tunduk pada otoritas ayahnya. Di samping itu pembuktian mengenai konflik terjadi secara terus-menerus hingga konflik memuncak dan perlahan konflik menurun pada saat Ande memberikan suatu terobosan pola pikir yang baru melalui jalan beasiswa. Akhirnya terbukalah hati ayah Lince dan ia memberikan kebebasan kepada Lince untuk melanjutkan cita-citanya.

(Baca juga: Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Lemahnya Praktik Hukum Indonesia || Opini Alviano Tay)

1.      Unsur Ekstrinsik

2.1. Latar Belakang Masyarakat

Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan memiliki banyak kebudayaan yang beragam. Salah satunya adalah kabupaten Sumba yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam kultur keagamaan, mayoritas orang Sumba beragama Protestan. Sedangkan kebanyakann dari mereka bergerak di sektor pertanian dan peternakan. Ini didukung oleh alam dan situasi yang memadai. Kembali kepada film pendek Kau dan Warna, warna kehidupann atau keadaan sosial yang digambarkan di dalamnya menghatar orang untuk memiliki pengetshuan perihal nilai Sosio-kultural orang Sumba terlebih khusus di Lamboya. Dalam kehidupan sosial, digambarkan jelas pola pikir tentang perempuan dan laki-laki, di mana perempuan hanya diharapkan untuk berada di kampung sehingga mereka tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan mimpi. Di sini laki-laki selalu diberi kesempatan terlebih khusus dalam mewujudkan cita-cita.

2.2. Latar Belakang Penulisan

Pada tahap ini wujud kebudayaan Sumba menjadi titik tolak sutradara dalam membuat film pendek ini. Singkatnya, kebudayaan yang digambarkan dalam film tersebut merupakan pernyataan dan perwujudan dari kehendak perasaan dan pemikiran. Dalam hubungan dengan ini, penulis melihat dua unsur pokok yang menjadi dasar atau latar belakang penulisan film. Dalam melihat keseluruhan film tersebut, walaupun film tersebut mempunyai orientasi mendapatkan nilai Bahasa Inggris yang menjadi tugas kampus, namun di sini penulis mencoba masuk lebih jauh. Penulis tidak hanya melihat sebatas nilai tugas tetapi lebih dari pada itu, penulis mencoba bertoalak lebih dalam dan menilik apa yang ada di balik lakon-lakon parah tokoh dengan berusaha memahami mulai dari latar belakang.

2.3. Nilai yang Terkandung dalam Film

a. Nilai Kebudayaan

Dalam film pendek tersebut, nilai yang terkandung di dalamnya adalah nilai kebudayaan, dalam hubungan dengan nilai-nilai, penulis melihat bahwa nilai kebudayaan yang ada dalam film pendek tersebut sangat kuat, namun yang menjadi problematika di sini adalah tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sesuai dengan karakter tokoh yang digambarkan melalui pola pikir dan lakon, prioritas dalam hubungan dengan pendidikan laki-laki lebih mendominasi dibandingkan dengan perempuan.

b. Nilai Pendidikan

Dalam hubungan dengan nilai pendidikan, film pendek Kau dan Warna jelas menggambarkan mentalitas orang-orang setempat mengenai pendidikan. Sama halnya yang terdapat dalam nilai kebudayaan, laki-laki selalu diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan perempuan selalu dibatasi. 

Penutup

Di dalam sosiologi, Max Weber dikenal sebagai pendukung paradigma definisi sosial. Menurut Weber, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami tindakan sosial secara interpretatif. Dengan kata lain, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial supaya diperoleh kejelasan mengenai arah, maksud, dan akibat dari tindakan tersebut.[2]

            Dalam hubungan dengan karya sastra, pada hakikatnya mengandung makna dan nilai-nilai yang mendalam. Seperti yang dijelaskan oleh Budi Darma dalam salah satu bukunya, karya sastra juga pada hakikatnya merupakan sebuah mimesis, yaitu tiruan belaka dari realitas.[3] Dalam hubungan dengan ini jelas digambarkan dalam film pendek Kau dan Warna. Karya penciptaan tersebut menggambarkan realitas dan mendorong setiap orang memahaminya. Di dalamnya juga ada konflik-konflik yang menhantar pembaca atau penonton untuk melihat realitas dan merefleksikan. Karya sastra juga menuntut emosi pembaca atau penonton dengan mensiasati lakon-lakon yang memancing penonton. Gambaran sosio-kultural tersebut membawa penonton  hadir dalamm realitas penciptaan.

 

 

 #No Eris, mahasiswa semester VI di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Saat ini penulis tinggal di Wisma St. Agustinus Ledalero.



[1] Agus Cremers, Masyarakat Bebas Agresivitas ( Maumere : Ledalero, 2004), hlm. 223.

[2] Bernad Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), hlm. 6.

[3] Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Kompas, 2019), hlm. 44.

Post a Comment

0 Comments