EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DAN LEMAHNYA PRAKTIK HUKUM INDONESIA

Pixabay.com

Prologue

Setiap manusia memiliki dua unsur penting yang melekat dalam dan dengan dirinya yakni potensi dan aktualitas. Kedua hal inilah yang menjadi factum penentu eksistensinya sebagai manusia.  Karena itu tak pelik manusia sering disebut sebagai makhluk yang rumit dan kompleks. Kompleksitas kedirian manusia ini kemudian menjadikan manusia sangat sulit untuk dipahami secara holistik. Singkatnya ada hal-hal tertentu dalam diri manusia yang sulit atau tak dapat dipahami secara tuntas. Usaha memahami manusia secara tuntas sering menyisihkan ketidaktuntasan. Tidak heran manusia sering juga dipahami sebagai yang misteri. Hal inilah yang membedakannya dengan makhluk lainnya.

Manusia dalam dirinya memiliki potensi untuk menjadi apa bagi sesamanya. Ia bisa menjadi serigala bagi yang lainnya seperti yang dinarasikan oleh Hobbes. Ia juga bisa menjadi sangat baik pada situasi dan tempat yang berbeda dengan orang yang berbeda pula. Namun manusia memiliki hati nurani sebagai pijakan atau hakim penentu arah untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Selain itu akal sehat juga  turut membentuknya mengontrol tindakannya agar tidak bertentangan dengan kebaikan umum.

Pada kesempatan ini penulis membaca ulang sembari memberi semacam penegasan dan catatan kritis berkaitan dengan realitas ESKA  dari kacamata hukum dan penerapannya yang tidak maksimal serta dihubungkan kembali  dengan eksistensi manusia sebagai makhluk berasio dan bernurani.

Pengertian Anak-anak

Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak-anak secara umum sebagai mereka yang belum mencapai umur 18 tahun. Namun definisi ini tidaklah berlaku mutlak untuk semua negara. Artinya setiap negeri memiliki definisi tersendiri tentang anak-anak. Pada konteks Indonesia penerapan pengertian anak-anak pun berbeda-beda. Hal inilah yang kemudian mempersulit Konvensi Hak Anak dan para pembela hak anak lainnya untuk menjerat pelaku kekerasan seksual atau kekerasan lainnya baik phisik maupun psikis terhadap anak-anak. Mereka dapat saja menggunakan kelemahan pengertian itu untuk melegalkan perbuatannya termaksud kejahatan dan eksploitasi terhadap anak-anak. Kejanggalan ini terbaca dalam UUD No. 1 Tahun 1974 yang memberikan ketentuan batasan usia pernikahan. Dalam UUD ini seorang diizinkan untuk menikah ketika ia, pria sudah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Batasan umur yang ditetapkan dalam UUD ini menjadi asas legalitas sebuah perkawinan secara sipil disahkan. Jika ditelisik lebih jauh, UUD ini sebetulnya menciptakan gab yang besar dan peluang yang leluasa bagi mereka untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Umur 19 yang ditentukan bagi seorang pria artinya 19 tahun ke atas. Bisa jadi orang yang sudah berusia 30-an tahun menikahi anak berusia 16 tahun atau di atasnya. Di sinilah menjadi ladang subur bagi mereka yang menjadikan anak sebagai objek seksualnya dan seakan-akan hukum sendiri melegalkan kejahatan itu. Selain itu adapun kejanggalan lain yang ditemukan penulis misanya, dalam UUD no 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak digambarkan bahwa anak-anak adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun atau belum menikah. Selanjutnya dalam UUD No 35 tahun 2013 yang terdapat pada pasal 2 dijelaskan bahwa anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termaksud anak  yang  berada dalam kandungan (Undang - Undang No. 35 tahun 2014 pengganti UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Di sini penulis melihat tidak adanya batasan yang pasti yang menjadi ukuran universal dalam sebuah negara untuk mendefinisikan tentang siapakah anak-anak itu.

Baca juga: Cerpen, Lelaki-gila.

Bertolak dari definisi di atas penulis berargumen bahwa kesulitan terbesar dari hukum adalah ketidakpastian hukum. Artinya bahwa dalam menerapkan hukum harus adanya kepastian hukum. Sebab salah satu asas terpentingnya adalah kepastian. Kepastian hukum kemudian akan menciptakan hukum yang adil. Hukum yang berkeadilan itulah yang menjadikan hukum memiliki substansinya. Hukum tanpa substansi adalah hukum yang otoriter dan cenderung memaksa. Padahal hukum adalah norma yang mengatur kesejahteraan hidup bersama.

ESKA, apa itu?

ESKA adalah kepanjangan dari Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan merupakan kejahatan model baru yang sedang mendapatkan perhatian dunia saat ini. Kejahatan ini terdiri dari prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual pariwisata seks anak dan perkawinan anak (Aliansi Nasional Reformasi KUHP: 2016: 2). Namun perlu terlebih dahulu dibuat pembedaan spesifik antara Eksploitas Seksual Komersial Anak dan Kekerasan Seksual Anak. Meskipun keduanya memiliki kesamaan dalam hal objek yang ingin dicapai yakni anak-anak, tetapi keduanya juga memiliki perbedaan dalam hal tujuan yang dingin didapatkan. Kalau kekerasan seksual anak semata-mata hanya untuk kepuasan seksual, sedangkan ESKA menjadikan anak sebagai objek kepuasan seksual sekaligus sebagai tubuh industri dengan mengkomersialisasikannya. Pada titik ini tubuh seorang anak mendatangkan dua keuntungan sekaligus. Pertama keuntungan karena mampu memberikan kepuasan seksual yang didapatkan sekaligus keuntungan berupa finansial. Fenomena seperti ini secara kasat mata mendepak realitas kebertubuhan seorang anak dari yang bermartabat menjadi semacam atau sederajat dengan barang yang diperjual belikan. Tubuh pada kenyataan ini bukanlah tubuh suci melainkan tubuh industri. Deklarasi dan Agenda Aksi untuk Menentang Eksploitasi  Seksual Komersial Anak sebagaimana dikutip Supriyadi Widodo dan Ermeline Singereta mendefinisikan bahwasannya ESKA merupakan;

Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak, dan mengarah pada kerja paksa dan perbudakan modern (Supriyadi dan Ermelina Singereta, 2016: 7)

Bertolak dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ESKA merupakan sebuah kejahatan model baru yang berskala besar dan menjadi perhatian dunia karena berhubungan dengan kejahatan kemanusiaan terlebih khusus kejahatan terhadap anak. Hal ini juga telah terlebih dahulu dimeteraikan dalam Konvensi Protokol Opsional Hak Asasi manusia yang disahkan dalam KUHP no. 10 tahun 2012 yang di dalamnya berbicara mengenai penghapusan kekerasan seksual, komersialisasi seksual anak dan pornografi anak. Oleh karena Konvensi inilah, pemerintah Indonesia dan kita sekalian diminta untuk mengambil bagian dalam aktus penghapusan kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Jenis-Jenis ESKA

Berdasarkan Optional Protokol sebagaimana yang telah diundangkan dalam dalam UUD no. 10 tahun 2012 tentang pengesahan Optional Protokol Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak menunjukkan ada 5 kategori yang terkandung di dalamnya di antaranya:

PertamaProstitusi atau pelacuran anak. Prostitusi anak berarti mengambil keuntungan melalui aksi pengkomersialisasian anak. Anak-anak dipekerjakan sebagai budak seks yang dapat mendatangkan keuntungan berupa finansial. Dan mereka akan dikontrol secara sangat ketat dan apik oleh orang dewasa yang memiliki otoritas tertentu. Sehingga ketika mereka sudah bergabung di dalamnya maka sangatlah sulit bagi mereka untuk keluar dari zona tersebut. Penjajakan seks anak dapat dilakukan di berbagai tempat seperti di kafe, restoran, hotel dan tempat-tempat lainnya. Hal ini dikarenakan di tempat-tempat seperti itu sangat jauh dari pantauan dan mereka yang melakukan transaksi akan mendapatkan kenyamanan sehingga mereka secara leluasa bisa melakukan hubungan seksual. Biasanya dilakukan oleh para kaum berduit  yang memiliki bayaran yang sangat mahal.

KeduaPornografi anak. Pornografi anak berarti berkaitan dengan aktivitas seksual yang menampilkan bagian tertentu dari seorang anak demi kepuasan seksual. Pornografi biasanya berurusan dengan foto-foto, pertunjukkan audio-visual yang dapat diekspor melalaui kaset, buku, gambar dan majalah. Menurut UU nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi mengatakan “pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto dan tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai  bentuk media komunikasi atau berbagai bentuk pertunjukkan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual  yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 

Ketiga:   perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. UU nomor 21 tahun 2007 mengatakan bahwa “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,  penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat  sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali  atas orang lain tersebut baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”. Dengan demikian merujuk pada pasal 289 KUHP pelaku akan dikenai delik hukum (tindak pidana) penjara selama-lamanya 9 tahun. Jadi dalam pasal ini berlaku untuk segala perbuatan cabul. Menurut R. Soesilo perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang berkaitan dengan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada  dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga masuk dalam pengertian ini (Ismantoro Dwi Yuwono: 1).

KeempatPerkawinan anak. Yang dimaksudkan dengan perkawinan anak adalah perkawinan terhadap anak dengan tujuan eksploitasi seksual. Eksploitasi menjadi tujuan utama dalam perkawinan itu dan bukannya hakikat perkawinan itu. Dalam UUD Nomor 1 tahun 1974 terutama dalam pasal 1 digambarkan “perkawinan adalah ikatan lahir batin dan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)  yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhan-nan Yang Maha Esa”. Namun yang menjadi persoalan di sini adalah hukum tidak memiliki kekuatan yang mengikat dan kepastian yang menjamin kerukunan. Hal ini dilihat dari penggambaran umum mengenai usia perkawinan terutama bagi seorang perempuan. UU menggambarkan bahwasanya usia perkawinan perempuan 16 tahun. Bisa saja orang memanfaatkan ini untuk suatu tujuan kekerasan seksual terhadap anak melalaui jalur perkawinan. Perkawinan tidak lagi menjadi tujuan ultim dan hakiki, tetapi dijadikan sebagai modus untuk sebuah tujuan kekerasan seksual terhadap anak.

Kelimapariwisata seksual anak. Pariwisata seksual beraktivitas dengan tindakan kegiatan seksual terhadap anak di tempat-tempat pariwisata. Biasanya dilakukan oleh para orang kaya dari negara yang kaya yang melakukan kunjungan wisata ke daerah yang miskin. Selain mereka ingin menikmati keindahan alam dan pariwisata lainnya, mereka juga akan membeli seks pada anak dan menikmatinya. Banyak para pedofilia menggunakan kesempatan ini untuk bisa mendapatkan kepuasan seks dengan anak-anak. Selain yang dilakukan oleh para turis, para pengusaha atau orang kaya lokal pun melakukan hal demikian. Mereka mencoba mengkamuflase realitas pedofilia dengan akses pariwisata.

 

 baca juga: kau-di-genggaman tanganmu

 

Aturan Hukum Indonesia Terkait  ESKA

Konvensi Hak Anak telah ada sejak tahun 1990 dan baru direalisasi melalaui UU Nomor 23 tahun 2002 mengenai perlindungan anak. Kita bisa melihat betapa lambat dan lambannya penerapan hukum dalam kaitan dengan Perlindungan Anak dari kekerasan, pornografi dan komersialisasi seksual pada anak. Padahal jika dilihat Indonesia menjadi tempat para “predator anak” berkeliaran bebas. Dalam UU ini dinyatakan pelaku ESKA diancam pidana penjara 15 tahun dan denda paling banyak 100 juta. Undang-undang lainnya yang terkait dengan ESKA termaktub dalam UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU. No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindakan Perdagangan Orang, UU. No. 11 tahun 2008 Tentang Transaksi Elektronik dan Informasi, UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi, UU 1 tahun 2000 Ratifikasi konvensi ILO 182, PP No. 9 tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Bagi Saksi atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Selain itu Indonesia pun telah meratifikasi protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak (protokol OPSC) yang disahkan melalaui uu No. 10 tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional. Dengan peran aktifnya protokol ini berarti Indonesia memiliki keharusan dan kewajiban untuk memidanakan para pelaku kekerasan seksual, pornografi dan eksploitasi dengan tujuan seksual anak secara serius dan tegas. Negara Indonesia tidak bisa lagi lalai atau acuh tak acuh dalam hal ini. Dalam artian sifat hukum yang responsif harus benar-benar merespon kekerasan yang menimpa anak-anak.

Penyebab “Kematian Hukum” di Indonesia

Hukum mengalami kematian dalam perspektif penulis lebih dititik fokuskan pada penetrasi kekuasaan dan politik yang mendominasi esensi hukum. Hukum yang tidak otonom adalah hukum yang sangat menakutkan dan mematikan. Hukum yang tidak berkeadilan adalah hukum yang bukan hukum. Dalam konteks ini hukum adalah sebuah “alat” yang digunakan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat banyak dalam sebuah negara tertentu. Sebab ,”hukum menjaga kebutuhan hidup agar terwujud suatu keseimbangan psikis dan fisik dalam kehidupan  terutama kelompok kehidupan sosial yang merasakan tekanan  atau ketidaktepatan ikatan sosial. Berarti hukum menjaga supaya selalu terwujudnya keadilan dalam kehidupan sosial (masyarakat)”, (Muhamad Sadi Is, 2017: 3). Maka dari itu tidak dibenarkan jika hukum hanyalah tajam ke bawah dan tumpul ke atas.   Dengan demikian hukum haruslah menjamin suatu kehidupan yang berkeadilan. Keadilan menjadi substansi dari hukum itu sendiri. Tanpa adanya keadilan niscaya hukum hanyalah sebatas kata kerja yang kaku dan sangat menakutkan. Karen itu, Nobertus Jegalus dalam bukunya “Hukum Sebagai Kata Kerja” secara terang-terangan menggambarkan bahwasanya hukum harus bersifat “kata kerja”. Artinya bahwa hukum itu haruslah menembus dan merasakan realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat banyak. Tidak bisa hukum berdiri sebagai hukum abstrak atau berdiri di atas menara kemapanan sebagai yang sudah ada, tanpa dikaji kembali dari realitas kehidupan atau dalam bahasanya Habbermas “lebenswelt” (dunia kehidupan) masyarakat. Oleh karena dinamisnya hukum ini, setiap aparat yang mengatur hukum harus benar-benar berpedoman pada hukum bukan pada kekuasaan dan atau kepentingan tertentu. Hemat penulis, jika hukum dibaluti kepentingan yang mendominasi, besar kemungkinan hukum hanyalah milik para penguasa, kaum elitis dan para pemilik modal. Pertanyaannya, di manakah esensi hukum itu? Apakah hukum adalah alat pelanggengan kekuasaan penguasa. Jika hukum hanyalah alat yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan berarti hukum mengalami kematian dari hakikatnya sebagai yang berkeadilan yang menjamin kesejahteraan bersama.

Peranan  Rasio dan Hati Nurani dalam Merawat Nurani Bangsa : Sebuah Tawaran

Manusia adalah manusia yang luar biasa. Dalam dirinya telah diberikan semacam “hakim” kehidupan yang menentukan dirinya sebagai sungguh-sungguh manusia dan bukan bintang. Hati Nurani itulah hakim yang mengatur kehidupannya agar tidak salah jalan dan tidak simpang siur dalam melangkah. Namun kadang kala hati Nurani sering tidak didengarkan dan imbasnya kekerasan, pembunuhan dan tindakan kejahatan lainnya tidak dapat terhindarkan.

Selain Nurani, manusia juga diperlengkapi dengan kemampuan bernalar. Hal inilah yang membedakannya dengan binatang yang hanya mengandalkan instingnya yang tidak selalu tepat baik dan benar. Aristoteles kemudian menggambarkan manusia sebagai animal rationale. Rasio harus menjadi teman seperjalan hati nurani. Kolaborasi yang tidak seimbang antara ke duanya menimbulkan ketidakseimbangan dalam praksis nyata. Bisa jadi rasio yang mendominasi, rasionalisasi akan melebar lebih kuat. Sebaliknya, hati nurani (perasan) yang menguasai besar kemungkinan dunia sensitivitas makin meningkat. Peningkatan realitas sensitif ini akan merujuk pada ketersinggungan yang akan terus beralih lagi menjadi suatu tindakan anarkis.

Hati nurani dan rasio haruslah di satukan menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan dan tidak saling menggantikan. Penyatuan antara keduanya memungkinkan terciptanya kehidupan yang etis dan estetis. Selain itu, hati nurani menjadi sangat penting dalam hal menafikan kejahatan. Artinya bahwa kejahatan bertolak belakang dengan perintah hati nurani. Penulis yakin bahwasanya jika nurani semakin dilibatkan ketika hendak dan atau melakukan sebuah kegiatan tertentu maka kejahatan, kekerasan seksual terhadap orang lain dalam hal ini anak-anak akan dapat terhindarkan. Kehadiran nurani juga menjadi niscaya dalam hal mengatur kebijakan kehidupan bersama lewat UU sehingga setiap keputusan yang diambil selalu bersesuaian dengan Nurani bangsa dan kesejahteraan bersama (pro bono publico). Sebab, putusan hakim dalam memutuskan sebuah perkara haruslah didasarkan pada hati nurani yang bersih dan jujur. Tujuannya agar keputusan yang diambil tidak didasarkan pada tekanan atau intervensi pihak lain dan atau demi pencitraan diri, (Sigit Sapto Nugroho, 2019: 116). UU adalah nurani bangsa yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Jangan jadikan hukum sebagai senjata untuk menindas dan membebaskan orang dari kesalahan. Karena jika demikian hukum akan dijadikan semacam permainan. “permainan di sini berarti menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memuaskan kepentingan diri (ibid.,117).

Kematian nurani dan nalar akan memungkinkan kematian hukum itu sendiri. Hemat penulis hukum adalah produk akal dan nurani. Tanpa kerja sama antara keduanya hukum tidak mungkin tercipta atau terbentuk. Karena itu pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan semisal ESKA adalah penodaan terhadap esensi hukum yang adalah the source of goodness atau the product of “bonum commune”.

 

Epilog

ESKA merupakan kejahatan baru yang menjadi perhatian dunia. Anak-anak adalah kaum “lemah” yang sangat rentan terhadap aktivitas ESKA INI. Mereka adalah subyek yang diobjekkan demi tujuan seksual. Anak-anak dijadikan sebagai barang yang bisa menghasilkan uang. Dengan demikian ia menjadi barang murah yang diperjualbelikan oleh orang-orang yang memiliki uang dan kuasa. Tubuhnya dijadikan sebagai tubuh industri, tubuh yang dikomersialisasikan demi uang dan pemuasan libido. Maka dari itu, penerapan hukum haruslah sesuai, cepat dan tepat. Artinya hukum harus responsif terhadap kejahatan ini dan tidak membiarkan kejahatan kemanusiaan seperti ini terus merajalela. Hukum haruslah pasti. Pasti untuk memastikan bahwa warga masyarakat mendapatkan keamanan. Untuk itu dalam pengambilan keputusan haruslah bersifat rasional dan dengan berpedoman pada hati nurani agar hukum bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang bukan sebagian orang.

Biodata: 

Alviano Tay adalah Mahasiswa STFK Ledalero tingkat 4 yang sangat sangat berjuang memperhatikan Hak Asasi Manusia. Ia juga merupakan anggota di Organisasi Pencak Silat Perisai Diri Ledalero. Penulis kini tinggal di Wisma Agustinus Wairpelit.

           

           


Post a Comment

0 Comments