Sakitnya Menjadi Pendukung Timnas Indonesia
Awalnya
biasa-biasa saja. Kami tidak pernah saling bertemu. Hanya sebatas menatap layar
televisi milik tetangga samping rumah dan akhirnya benar-benar jatuh cinta. Iya,
saya jatuh cinta dengan permainan Timnas Indonesia, kala itu. Ingatan tentang
kemenangan besar Timnas Indonesia di ajang AFF Suzuki Cup 2010 masih begitu
segar dalam kalbu. Alih-alih lebih dulu kecolongan di menit ketujuh belas, Timnas Indonesia pun berhasil mengejar ketertinggalan dan akhirnya berhasil unggul
atas Timnas Malaysia dengan skor telak 5-1di fase penyisihan grup. Malaysia kalah
telak. Stadion Utama Gelora Bung Karno seketika bergemuruh.
Baca juga: eksploitasi-seksual-komersial-anak
Kemenangan Timnas Indonesia atas Timnas Malaysia sepertinya tidak menjadi jaminan yang
kuat untuk menjadikannya sebagai raja sepak bola ASEAN. Ketika laga final, Timnas Indonesia kalah agregat atas Timnas Malaysia. Pemain maupun pendukung
Indonesia tidak tidur nyenyak malam itu sembari memaki Firman Utina, kapten
kesebelasan Timnas yang gagal mengeksekusi si kulit bundar dari titik putih.
Pola permainan Timnas Indonesia memang selalu bisa ditebak. Toh tanpa menonton
pun bocah ingusan pun tukang jaga pos kambling langsung bisa membuat prediksi
yang tidak kalah akurat dengan Bung Kus, komentator legendaris Indonesia. Satu
hal yang pasti bahwa pola permainan Timnas Indonesia itu sangat “ngaceng” di
menit-menit awal pertandingan namun loyo di menit-menit akhir sehingga mudah
sekali kebobolan.
Pasang
surut dunia persepakbolaan Indonesia tidak hanya soal pola permainannya tetapi
juga soal kepengurusannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilihan ketua umum
PSSI selalu penuh dengan intrik politik, penuh dengan aneka pertarungan kepentingan.
Lambat laun, obrolan seputar Timnas Indonesia dan kepengurusannya tidak kalah
garing dengan kasus Hambalang dan Bank Century. Sama-sama membosankan. Mengharapkan Timnas Indonesia masuk ke ajang piala dunia tidak ubahnya dengan mengharapkan
seekor unta masuk ke dalam lubang jarum seperti analogi yang dinarasikan dalam
Kitab Suci agama Kristen. Miris. Alih-alih ditunjuk FIFA sebagai penyelenggara
FIFA WORLD CUP U-21 toh Indonesia hanya dibikin baper tujuh kepalang. Ajang
kelas dunia tersebut batal dilaksanakan lantaran pandemi Covid-19 yang tengah
mengganas di Indonesia. Padahal pintu bagi tenaga kerja asing asal Tiongkok
terus terbuka lebar seolah tak ada alasan yang cukup kuat untuk
membatalkannya. Tentunya, pembatalan tersebut membuat banyak pihak sakit hati,
terutama para kontraktor, oligarki yang sudah mulai ancang-ancang meraup
keuntungan dari menang tender.
Medio
2013 merupakan tahun berahmat dalam sejarah persepakbolaan Indonesia di mana
Egy Maulana Vikry dan teman-temannya berhasil menjuarai AFF U-19 di Jawa Timur.
Setelah sekian lama menanti, para pendukung Timnas Indonesia kembali “punya
muka”. Televisi swasta untung besar karena tayangannya banyak ditonton
kendatipun iklan extra joss lebih
besar dari nomor punggung pemain. Sungguh lucu melihat pemandangan tersebut. Tetapi
apa boleh dikata, televisi di republik tercinta ini hanya hidup dari iklan
tanpa peduli iklan tersebut relevan dengan selera masyarakat akar rumput atau
tidak. Jika boleh jujur, lebih sakit menjadi pendukung Timnas Indonesia
dibanding menjadi pendukung Barcelona bahkan Real Madrid sekalipun. Ketika laga
pertandingan yang mempertemukan klub-klub atau negara Eropa digelar, link-link
tontonan meluber dalam grup-grup WhatsApp,
itu pun belum terhitung dengan televisi-televisi yang menayangkannya. Bahkan
lebih tololnya, televisi-televisi lokal berebutan dalam mendapatkan hak siar.
Ini pantas dikatakan sebagai suatu ketololan karena ketika timnas sepak bola
Indonesia berlaga, hal-hal serupa tidak dialaminya. Jangankan mendapat
link-link tontonan, menonton laga tersebut melalui saluran televisi lokal pun
sangat mustahil. Kalaupun televisi lokal berani menyiarkannya, itu tidak
bertahan lama sebab ketika pertandingan baru menginjak menit pertama, siaran
televisi langsung diacak. Sungguh miris, ternyata logika pasar dengan mudahnya
mengalahkan nasionalisme.
Baca juga: kau-di-genggaman-tanganmu.
Menjadi
pencinta Timnas Indonesia bukanlah suatu pilihan. Ia lebih tepat dikatakan
sebagai panggilan. Panggilan untuk menjadi pencinta Timnas Indonesia bukanlah
suatu realitas terberi (given). Ia
tumbuh dalam setiap perjumpaan. Terkadang, saya linglung, jatuh bangun Timnas
Indonesia itu sendiri disebabkan oleh kepengurusan yang sarat kepentingan,
kurang seriusnya pola pembinaan atau hal-hal teknis dan sarana penunjang
lainnya. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih kepada Timnas Indonesia U-19
yang telah berjuang kemarin. Meski kalah beruntun dari Australia dalam
kualifikasi tersebut, timnas tetap menunjukkan pola terbaiknya.
Beberapa
masalah yang diangkat dalam tulisan ini sesungguhnya hanyalah secuil dari
menumpuknya permasalahan yang mendera tubuh persepakbolaan republik ini. Ada
begitu banyak hal yang apabila dikaji lebih lanjut akan menuai banyak
perdebatan panjang. Singkatnya, masalah yang dialami oleh timnas sepak bola
Indonesia sudah menggurita. Sulit bagi kita untuk menemukan akar persoalannya.
Sebagai pendukung timnas sepakbola Indonesia, saya hanya bisa berharap tubuh
persepakbolaan bersih dari segala bentuk nepotisme, termasuk praktik pengaturan
skor yang terjadi awal November kemarin. Salam olahraga!
Biodata
Rio Ambasan adalah mahasiswa tingkat lll di STFK Ledalero, asal Timor. Rio juga adalah pencinta timnas sepak bola Indonesia dan pencinta pangan lokal. Saat ini tinggal di Wisma Agustinus, Wairpelit.
0 Comments