(Sumber gambar: co.pinterest.com)
Apakah kita sedang saling menipu?
Siapakah engkau yang berteduh dalam mataku?
Siapakah engkau yang merekah di bibirku?
Siapakah engkau yang mendesah sendu di hatiku?
Bukankah ini adalah permainan tubuh?
Bagaimana aku mengerti air mata
dengan kata-kata tawa dari bibirku.
Tuhan aku adalah sandiwara yang lupa permainan-Mu.
Sampai di sini aku hanya bersembunyi,
kadang-kadang merayu-Mu dengan sepenggal doa
tapi aku sedang memberi judul yang terluka.
Aku tidak ingin membentang luka pada medsos,
sehingga mereka tak menertawai air mataku.
Atau aku harus bercerita pada mereka,
sehingga mereka harus menangisi tawaku.
Biarlah air mataku tetap menjadi bunga di mataku.
Aku merenung:
“Tuhan
memainkan permainan yang rumit
Dan
aku sedang gila-gilanya bersembunyi.
Kata-kata
tawa keluar dari bibir tapi air di mata menetes”.
(Baca juga: Nilai Sosio-Kultural dalam Film Kau dan Warna || Ulasan Sastra No Eris)
# Ama Kolle, alumnus Seminari San Dominggo Hokeng. Saat ini penulis menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Selain menulis, Ama Kolle juga berbakat dalam bermain sepak bola.
0 Comments