Cerpen Ama Kolle
“Kesunyian mati
dalam tubuh yang
egois dan munafik”
Senja setiap hari menghadirkan paras yang memukau sebelum kematian yang sudah-sudah, lalu malam menjemput perarakan itu dengan sebuah gadis malam yang telanjang di ranjang langit bertabur bintang. Kematian itu harus berada di musim kesunyian. Tapi sunyi juga butuh tubuh, bukan tubuh yang kaku, egois, dan munafik. Tubuh-tubuh datang seperti deretan antrian segerombolan semut di setiap pagi. Tapi lagi sunyi itu sudah mati berulang dalam tubuh-tubuh yang munafik.
Di sana dalam sebuah kamar, rebahlah seorang tubuh yang enggan melelapkan pikirannya. Lamunan membenarkan seribu rindu yang kian datang singgah dengan sedemikian mesranya.
“Aku
mati seperti ini.” Katanya dengan separuh nafas yang berjatuhan cepat. Ia
mencoba memutuskan lamunan itu supaya tidur yang lelap segera ia rangkul. Tapi
sampai jarum jam di angka 00:00 pun, ia masih menemani seorang sosok gadis
dalam lamunannya. Rindu-rindu yang datang dalam pikirannya kesepian menuntut
tumbal tubuhnya untuk menyelesaikan rindu itu dengan jumpa. Lagi-lagi sunyi
mati dalam tubuh yang egois dan munafik.
Baca juga:
•Sinopsis Cerpen: Lelaki Tua Tanpa Nama
•Puisi: Jejak Datang dan Pergi
“Teng…
teng… teng…” (bunyi lonceng gereja tua). Tubuhnya melonjak tak percaya, bahwa
pagi sudah benar-benar datang. Lamunan yang panjang, dengan akhir yang belum usai,
hingga malam berulang-ulang tak percaya sudah menjaga tubuh itu semalaman. Ia
bangun dengan cepatnya, lalu membasuh muka dengan air. Lalu ia berjalan
mengayunkan kaki dengan gesit, berharap ia belum benar-benar terlambat masuk
kapela tua itu. Sampai di depan kapela itu, ia membuka sandalnya dan masuk
dengan kepala tertunduk dan berjalan menuju tempat duduknya. Ketika baru
beberapa menit ia duduk, bukan memanjatkan sebuah doa, ia malah menempatkan tubuhnya
pada tidur yang paling pulas. Dan benar tidur malamnya yang hilang harus
dibayar dalam kapela itu. Ternyata di kapela itu, sunyi mati.
Sunyi
mati karena sepi melanda tubuh itu dengan rindu-rindu yang liar. Rindu yang tak
kenal waktu.
“Mari
kita pulang, kita di utus.” Kata ajakan seorang imam yang akan mengakhiri
perayaan suci itu.
“Amin”,
jawab umat yang hadir di dalam kapela itu. Lagi-lagi tubuhnya harus terkejut
dan menyelesaikan tidurnya itu dengan terpaksa. Ternyata misa sudah selesai.
Sudah hampir beberapa minggu
belakangan ini, hidupnya berputar begitu-begitu saja. Hal ini bermula ketika ia
bertemu dengan seorang gadis cantik yang sudah membuatnya jatuh cinta. Malam
ditemaninya dengan lamunan dan rindu yang liar, lalu pagi di dalam kapela diselesaikannya
dengan tidur yang pulas. Kesepian membuatnya lebih awal menjadi kering seperti
sehelai daun kering yang akan terlepas dari ranting pohon lalu kesunyian
jiwanya menjadi begitu ribut dan rapuh.
“Kebahagiaan
apa yang sedang saya jalani ini? Apakah saya sudah salah jatuh pada cinta yang
dalam? Apakah tubuh ini bahagia dengan jalan putih ini? Tapi apakah benar
kuhabiskan waktuku dengan rindu yang tak kunjung habisnya ini?” Tanyanya dalam
hati.
Di
malam itu, ia sudah dari tadi duduk mencari jawaban atas beberapa pertanyaan
itu. Ia kemudian menghela nafasnya dalam-dalam lalu duduk dengan tenang. Ia
kemudian sadar hanya kesunyian yang membuatnya tenang. Ia lalu menatap ke arah
pojok, tepatnya pada pojok doanya. Ia bangun lalu membakar sebuah lilin di
sana. Lalu ia mulai berdoa dalam hatinya:
Tuhan…
Sunyi-Mu selalu menghampiriku.
Hanya aku telah membunuhnya berulang-ulang dengan
kesepian
dan rindu yang lain.
Di saat lonceng gereja memanggil,
aku datang hanya menghadirkan tubuh
tapi aku tak sadar telah membunuh kesunyian-Mu dalam
tubuhku
dengan kantuk dan lamunan yang menawan.
Tuhan…
masih pantaskah daun yang sudah kering ini
mengaliri embun-Mu pada tanah-tanah yang haus dan
kering?
Amin.
Ia tertunduk lemas dan menyesal
sebab ia terlalu cepat membiarkan dirinya dipenuhi dengan persoalan cintanya
dengan gadis itu. Kesunyian telah mati dalam tubuh yang egois dan munafik tapi
kesunyian tetap berakar dalam jiwa yang menyesal.
0 Comments