CERPEN AMA KOLLE
Dia hantar lagi dan lagi malam yang sama kepada pagi yang sudah menjemur sekujur tubuhnya di antara sebuah bibir dan secangkir kopi. Semalam yang ringkih dia membakar pikiran hingga mimpi hangus tak mujur dan dia hanya menyapa lembut anaknya dalam diam. Dia sesekali menjerat hatinya dengan janji dalam hatinya. Janji? Benar janji untuk menjaga, bukan seperti janji yang tidak dewasa dari mantan suaminya.
Dua tahun yang lalu…
Hening memberi ruang di tengah hiruk kota. Dia duduk menyeka beberapa butir air mata yang sedari tadi begitu sibuk mencoret pipinya. Tunduk mencari sebuah keputusan yang masih begitu kabur.
“Mas, sampai kapan kita menyembunyikan rahasia ini?”
Lelaki itu memukul kepalanya berulang, duduk, berdiri, tunduk tapi itu semua tidak membantunya menemukan jawaban. Akhirnya ia pun harus mendekati perempuan yang sedang menggendong seorang bayi berumur 1 minggu di sampingnya itu dan memegang pundaknya lalu membawa pada pelukannya.
“Qia, mengertilah! Ini bukan hanya tentang aku, kamu dan anak ini tapi apakah orangtuaku dapat menerimamu yang berbeda kyakinan?”
Keduanya kembali berteman diam, dengan seluruh pikiran yang gaduh. Malam mengirim bulan yang sedang memanjat langit-langit berbintang.
“Mas, mari lakukan keputusan yang terburuk supaya kita dapat mengetahui jalan yang terbaik. Temui aku dengan orangtuamu besok!”
Lelaki itu mengangguk pelan lalu mengecup kening kekasih dan anaknya itu. Sedangkan bulan sibuk mengawal malam menemui pagi.
“Apa? Mengapa menyembunyikan ini semua dari kami?”
Suasana rumah begitu panas seperti matahari sedang bertengger di jendela rumah itu menatap tawa perempuan yang lagi tertunduk memasak lautan mata air yang makin mendidih. Tapi lelaki itu terdiam dengan begitu tenang. Ia bingung pada dua arah yang sama-sama berat. Apakah cinta yang mengalahkan perbedaan? Atau ketaatan yang penuh pada sistem keagamaan? Tapi perempuan dan bayi itu menunggu kepastian karena selama setahun mereka hidup dengan sembunyi dan sendiri. Sampai-sampai Qia dalam masa kehamilannya harus bekerja sebagai tukang parkir.
“Semua ini akan mudah kalau engkau mau meninggalkan keyakinanmu dan masuk menjadi bagian dari keyakinan kami”.
Sebuah kalimat dari ibu yang terasa menjadi begitu rumit bagi Qia. Karena bagaimana pun ia begitu mencintai
keyakinannya. Semuanya begitu berat bagi Qia, yang paling diingininya saat ini adalah menutup pintu rumah itu di luar dan pergi tanpa sehelai rambutnya pun tertinggal di sana. Semuanya terdiam begitu tegang, hanya beberapa menit kemudian bayi itu menangis begitu keras seperti mengerti apa yang sedang diperbincangkan.
“Tenangkan dirimu dahulu dan jangan biarkan anakmu itu menangis”.
Adit kemudian mengajak Qia beranjak ke dalam kamar. Qia lalu membaringkan anaknya di tempat tidur. Keduanya terdiam dan tidak ingin berbicara lebih jauh. Hanya Qia belum begitu puas dengan keputusan yang diajukan oleh keluarganya Adit.
“Dit, Jika akhirnya kita memilih untuk bertahan, bersiap-siaplah untuk menguras banyak energi untuk membuat hubungan kita berhasil. Cinta memang pantas untuk diperjuangka. Tapi jika kita memilih untuk menyudahi hubungan kita dan kembali ke ideologi agama dan keluarga, pastikan kita menyudahi hubungan itu dengan baik dan dewasa. Apa pun pilihan kita, kita harus memilih dengan hati dan otak yang jernih dan bertanggungjawablah dengan pilihan hidup kita”.
Kata-kata Qia ini semakin memberi kelegaan bagi Adit, karena ia sesungguhnya tidak bisa melawan sistem keluarga dan keyakinannya. Sedangkan Qia sudah menduga begitu kuat bahwa kekasihnya itu tidak akan bersamanya mempertahankan cinta mereka. Malam itu keduanya menjadi sepi, diam seperti kegelapan malam itu terbawa dengan alunan yang sendu membawa Qia terlebih dahulu mencuri kantuknya.
Dua hari kemudian
Setelah percakapan yang terakhir itu, rumah itu hanyalah bangunan yang sedih menatap perbedaan keyakinan antara dua insan pada cinta mereka. Dan kini di meja makan rumah itu semuanya sudah berkumpul. Suasananya tidak jauh berbeda, tapi Qia sudah terlihat begitu tenang dan sedih karena ia percaya jalan kebenaran akan selalu menjaganya. Salah satu kalimat sakral yang dianut budaya Lamaholot yang selalu menjadi kekuatan sebelum melakukan sesuatu dan terus menerus ia ucapkan dalam hatinya adalah “Leluhur jalanlah dahulu di depanku”.
“Bagaimana keputusanmu nona?”
Dengan kepala yang tegar dan hati yang tenang, Qia pun membuka suaranya.
“Maaf ibu, tanpa mengurangi rasa hormatku kepada keluarga dan keyakinanmu, aku pun sangat mencintai keyakinanku”.
Rumah itu seperti ruang pengadilan. Ruang kehidupan adalah ruang kebebasan dan keadilan.
“Lalu apa maumu?”, kata ibu.
“Kalau cinta ini ingin kupertahankan jika aku tetap memegang keyakinanku dan Adit pun sama demikian. Aku tidak pernah berniat untuk meninggalkan keyakinanku. Dan hal ini disetujui oleh kedua orangtuaku”.
Karena itu dengan separuh hati yang tersisa Qia menelan segala duka yang terjatuh.
“Aku sudah menceritakan semuanya kepada orangtuaku dan mereka menyuruhku pulang untuk beberapa waktu menenangkan diri. Aku harap ibu dan sekeluarga mengijinkan aku.”
Adit mendekat merangkul kekasihnya itu. Sedangkan Qia memanjakan kepalanya di bahu Adit sambil mengusap air matanya.
“Pergilah seperti engkau datang di rumah ini melalui pintu yang dibukakan bagimu. Tapi datanglah lagi ketika keputusanmu sudah pasti untuk menjadi bagian dari rumah ini.” Kata ibu sambil bangun dari kursinya dan pergi ke dapur.
Malam-malam setelah kejadian itu semakin indah bagi Qia menjalani hidupnya. Apalagi tawa anaknya membuatnya begitu bahagia mengambil keputusan untuk tidak melihat pintu rumah itu lagi. Seperti malam ini, setelah mengingat kenangan perih itu ia kembali dengan manja bahagia melihat wajah mungil yang tertidur pulas. Ia berjanji dengan air mata akan kuat untuk buah hatinya. Hanya cinta yang dapat membelenggu Qia untuk hanya mencintai seseorang saja, tapi ia juga sadar cinta yang membebaskan dia untuk mencintai hidupnya. Cinta tak pernah kalah karena perbedaan tapi cinta ingin mengarahkannya pada jalan kebahagiaan.
Qia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan ke sudut kamarnya. Di sana ia membakar sebuah doa di depan lilin yang menyala di bawah kaki Ema Maria. Ia lalu hening begitu sunyi dan inilah doanya:
“Ema, dalam sunyinya malam kubawa setiap luka pada rahimmu.
Ketika aku rapuh dengan air mata, berikan wajahmu.
Ketika aku bahagia dengan senyum, benarkan itu juga untuk anakku.
Ema, ingatlah aku anakmu!”
BIODATA
Ama Kolle Putra Flotim yang kini sedang mengenyam pendidikan di STFK Ledalero.
0 Comments