ELOK KAH LUKA ITU?
“Kuikat selalu luka, berseminya
dalam rupa tangisan,
tubuh makin saja tersobek pada
jamuanmu sendiri ibu.”
Ini tentang manusia yang rapuh, mencari dirinya yang mati dalam khayalan bahagia. Seorang ibu yang berkali-kali menyayat tubuh anaknya, memasaknya dan memaksa anaknya untuk menyantapnya. Perjamuan yang tragis dari dapur yang melahirkannya sendiri. Jangan ‘panas’ ya, tidak semua ibu begitu kok.
Maria. Di sanalah ia sadar kebahagiaan Anak, dan hanya menemaninya dengan tangisan yang suci hingga tepat ia menengadah menampung rintikan darah Anak. Dalam kerapuhannya, sebagai seorang ibu ia tidak akan rela membiarkan Anak sekarat dalam sadarnya. Tapi itulah pilihan Sang Anak, kebahagiaan, dan keselamatan. Maria hadir dalam undangan perjamuan Anak dengan tegar dalam kerapuhan, dengan senyuman dalam duka, dengan doa dalam gelisah.
Seorang manusia yang rapuh, apakah
tidak lelah dengan tuntutan, sedang ia terus mengoles retaknya hati karena
keterbatasannya. Malam yang tidak akan menjadi malam, siang hanya menyengat
perjalanan, kaki terseret dengan meninggalkan jejak darah dan setangkai bunga
mawar berduri dalam genggaman tangan yang berdarah biar ibu terus menatap
indahnya mahkota mawar dan merasa bangga dengan harumnya mawar itu. Tapi
tetesan demi tetesan darah hilang pergi dalam ketakutan, ia tak lagi menangis
dengan air mata tapi dengan ketakutan, apabila darah itu habis dan mahkota
mawar itu mati. Kini, 10 tahun sepertinya wadah ia menampung luka, apakah salah
jika ia menyudahi perjalanan itu? Ia semakin gila dengan membunuh beribu impian
yang sedang dicari dan dikejar oleh anak-anak pada umunya.
Kejujuran? Apakah itu tidak membunuh salah satu pihak? Tapi apakah setelah hati yang sekarat, tubuh pun masih mampu menuntaskan perjalanan yang luka ini?
“Mari ibu, santaplah kerapuhan ini hingga tuntas. Janganlah takut dengan air mata orang, tapi peduli dengan darah anak yang mungkin saatnya habis tanpa ampun. Jika perjalanan ini usai, aku ingin menyantap sebagai anak yang baik bukan pujian dan kebanggaan orang lain. Maaf, mungkin tak mengobati, tak juga bangga, apalagi pantas memelukmu di dapur aku mencintaimu.
Ama Colle adalah nama pena dari Fr. Yanto Lele, SVD. Putra Adonara, Flores Timur-NTT. Mahasiswa Prodi Filsafat, semester VIII, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero-Maumere-NTT. Tinggal di Wisma St. Agustinus Ledalero-Maumere.
0 Comments