Ilustrasi google.com |
Tantangan
baru yang dihadapi dalam narasi ruang publik adalah kebenaran dalam publikasi Fake
News (berita palsu) yang mencederai kebenaran ruang publik bagi masyarakat. Masyarakat
dihadapkan pada persoalan dilematis, apakah media sosial sebagai mediasi untuk
melihat dan mengamati kebenaran tidak lagi diharapkan sebagaimana semestinya.
Media sosial yang memediasi kebenaran mendapat kenyataan yang membelok ke arah
kiri, yakni kebenaran yang dimanipulasi demi kemajuan kepentingan tertentu atau
kelompok. Dalam artikel Truth,
Deliberative Democracy, and the Virtues of Accuracy: Is Fake News Destroying
the Public Sphere? Yang ditulis oleh Simone Chambers, menjelaskan beberapa
poin penting terkait tantangan demokrasi dalam ranah ruang publik yang
dimodifikasi karena berita palsu yang beredar dan dianggap sebagai kebenaran.
Pengantar
Pada
bagian pengantar, Chambers membeberkan persoalan artikelnya. Persoalannya adalah
berita palsu adalah kesulitan pasca-kebenaran dan tantangan baru yang mematikan
praanggapan epistemik dari ruang public[1].
Melalui abstraksi yang ditampilkan oleh Chambers, saya menyimpulkan bahwa
berita palsu sangat mempengaruhi demokrasi, kebenaran dalam ruang publik. Di
mana media sosial yang dimodifikasi sedemikian rupa kebenarannya lalu
memporakporandakan kebenaran dalam ruang publik. Masyarakat dengan percaya
menanggap itu sebagai suatu kebenaran yang harus ditegakkan. Dan inilah
tantangan baru yang mesti diperhatikan secara serius dalam tatanan demokrasi
dan kebenaran ruang publik.
Untuk
menjawabi persoalan di atas Chambers menerapkan konsep yang dibangun oleh Jurgen
Habermas yakni demokrasi deliberatif dan gagasannya tentang demokrasi sebagai
pelacakan kebenaran. Menurut, Chambers, gagasan demokrasi deliberatif dan
demokrasi sebagai pelacakan kebenaran dapat menawarkan kerangka kerja yang
lebih membantu untuk menilai dan memerangi ancaman berita palsu. Chambers, juga
menerapkan konsep kebajikan akurasi dari Bernard Wiliams. Kebajikan akurasi
sebagaimana dikatakan oleh Chambers adalah mengidentifikasi kebajikan warga
yang diperlukan untuk melawan berita palsu. Menurut Chambers, akurasi kebajikan
dari Bernad Wiliams dapat difasilitasi didoroang melalui fitur struktural dan
regulasi di ruang publik.[2]
Sebagaimana
yang tertuang dalam artikel yang ditulis oleh Simone Chambers, kecemasan
terbesar masyarakat adalah beredarnya berita palsu yang memainkan peran dalam
ruang publik, sehingga kebenaran patut dipertanyakan. Media sosial yang
memainkan peran penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai
kebenaran tidak lagi sepenuhnya dibalut dalam nada kepercayaan. Chambers, dalam
pengantar artikelnya menyampaikan pendapatnya,
Saya mulai dengan menguraikan ancaman kontemporer terhadap perolehan
informasi di ruang publik. Ini sekarang akrab dan melibatkan munculnya berita
palsu dan ketidakpastian epistemik yang terkait dengan ekspansi digital ruang
publik, terutama pertumbuhan media sosial sebagai sumber informasi utama.
Berlapis di atas itu adalah aktor publik dan swasta yang mengeksploitasi
ketidakpastian dan teknologi lanskap digital baru untuk menabur keraguan
tentang banyak sumber tradisional informasi yang dimediasi.[3]
Melalui
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi titik persoalannya adalah
para aktor publik yang mengeksploitasi ketidakpastian kebenaran dalam ruang
publik. Artinya, bahwa para aktor menggunakan media berita palsu untuk menghancurkan
kenyamanan ruang publik. Dan di lain pihak Chambers, menerangkan bahwa pasca-kebenaran
menurunkan arti penting kebenaran bagi warga negara, opini elit dan pembentuk
kehendak. Di sinilah tantangan yang menjadi perhatian khusus. Artinya, para
aktor publik dengan kemajuan teknologi yang semakin masif, mencari peluang untuk
menghimpit kebenaran dengan berita palsu dan masyarakat turut mengalami berita
palsu itu sebagai kebenaran.
Berita Palsu, Persoalan Ketidakpastian
Epestemik dan Post-Truth
Tentunya
Fake News (berita palsu) sangatlah
menjadi acaman bagi kenyamanan atau pun kepastian ruang publik dalam
menerangkan kebenaran. Chambers, menerangkan bahwa persoalan berita hoax, adalah persoalan yang lazim
dilakukan oleh para aktor ruang publik, demi mencari dan ingin mencederai Kebenaran
dalam ruang publik[4].
Dalam artikel tersebut berita palsu sangat meresahkan masyarakat. Masyarakat
seperti tidak mempunyai kepastian dalam menerima informasi karena ada kecemasan
dalam diri mereka dikarenakan ketidakpastian informasi tersebut, apakah ini
fakta atau fiksi. Chambers, menjelaskan bahwa ada dua fitur dalam penggunaan istilah
berita palsu adalah pertama, informasi itu palsu atau dibuat-buat, tidak hanya
bias dan partisan, dan, kedua, informasi tersebut sengaja diperkenalkan untuk
mempengaruhi opini orang[5].
Dalam sebuah tulisan Mengapa Hoaks Cepat
Menyebar? Yang ditulis oleh Yovita Arika pada kolom Berita Pendidikan dan Kebudayaan
Kompas.id, menerangkan bahwa dewan pers pada november 2019 menunjukkan, hampir
70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial (Kompas,10/2/2020).
Yovita juga menjelaskan alasan mengapa orang mudah terperangkap dalam berita
palsu dan menyebarkan berita palsu antara lain pertama, rendahnya literasi
masyarakat, keinginan berbagai informasi[6].
Dalam
artikel tersebut diterangkan bahwa dengan maraknya berita palsu dan
meningkatnya pengakuan publik terhadap fenomena tersebut menyebabkan
ketidakpastian epistemik, masyarakat kesulitan untuk membedakan mana informasi
yang fakta atau berita palsu. Karena, dua-duanya sudah dibalut dengan selimut
kebenaran yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya.[7]
Dari
pernyataan di atas dan kontekstual mengenai problem berita palsu, ada beberapa
hal yang menjadi perhatian, pertama, penyebaran berita palsu dapat menganggu
kenyamanan ruang publik. Berita palsu dipakai sebagai alat untuk mencederai
kebenaran dan demi kepentingan kelompok tertentu. Kedua, berita palsu dapat
mempengaruh opini publik terkait suatu kebenaran yang diinformasikan. Ketiga,
berita palsu dapat menjadi pemicu terjadinya konflik pihak yang satu dengan
pihak yang lain karena adanya kontraversial terhdapat sebuah informasi. Keempat,
berita palsu dengan mudanya disebarkan karena masyarakat kurang kritis dalam menanggapi
sebuah informasi, mudah diprovokasi. Pendapat dari Chambers tentang Post-Truth adalah sikap analitis
masyarakat dalam menanggapi setiap informasi yang didapat.
Ini menunjuk ke sisi subjektif atau sikap dari krisis epistemik kita.
Berita palsu adalah tentang akses ke kebenaran di lanskap media baru kita.
Post-truth adalah tentang sikap warga negara terhadap kebenaran. Seberapa
pedulikah mereka dengan kebenaran? Mengapa mereka menyebarkan berita palsu jika
mereka mungkin memiliki alasan untuk berpikir bahwa itu tidak benar? Mengapa
mereka tidak lebih waspada tentang sejumlah besar kebohongan (yang mudah
diverifikasi) yang tampaknya keluar dari Gedung Putih? Post-truth dalam
pengertian ini mendalilkan bahwa, Baik peredaran berita palsu dan efektivitas
klaim berita palsu (mungkin juga munculnya sikap pasca-kebenaran) difasilitasi
dan diperkuat oleh meningkatnya peran media sosial sebagai penyedia berita dan
informasi.[8]
Chambers,
menjelaskan secara singkat bahwa ada tiga dimensi media sosial yang saling
terkait yang secara signifikan mempengaruhi sirkulasi dan transmisi informasi:
teknologi, struktur keuangan, dan posisi fungsional dalam masyarakat sipil. Dengan
melihat kenyataan ini dibenarkan bahwa kemajuan teknologi mendorong orang untuk
nyaman dan lihai dalam mempengaruhi pihak lain terkait berita palsu yang
disebarkan. Karena mencari keuntungan kelompok tertentu dan posisi kedudukan
yang gampang, jalannya adalah dengan menyebarkan berita palsu agar pihak yang
lain mendapat peringatan secara keras dan bisa memperoleh sanksi secara hukum. Hal
ini dibenarkan oleh Chambers, yang menjelaskan bahwa dalam kasus pemilu 2016,
tampaknya ada tiga aktor utama: pengusaha acak yang ingin menghasilkan uang;
pemain partisan dalam drama pemilu tertarik untuk menggoyang suara; dan pihak
ketiga yang jahat, alias, Rusia, yang motifnya tidak jelas tetapi yang mungkin
ingin diduga memiliki kepentingan dalam ruang publik demokrasi liberal yang
disfungsional.[9]
Dengan kenyataan ini dapat dipahami bahwa kegagalan dalam menerapkan sikap
demokrasi secara fungsional membiarkan para perakus kekuasaan, yang hanya mencari
jalan buntuh sehingga memperoleh peluang untuk saling menjatuhkan pihak lain. Mereka
mengandalkan ruang publik atau ruang komunikasi public untuk menyebarkan berita
palsu. Chambers mengatakan segala kebohongan, desas-desus, informasi yang
salah, selalu menjadi pokok masalah dalam ruang publik dikarenakan para aktor
strategis bersaing untuk mendapat persaingan dan pengaruh sehingga menghalalkan
cara yang salah yakni demi menyebarkan berita palsu[10].
Pernyataan Chambers, di atas menegaskan secara kritik bagi para aktor strategis
bahwa sejatinya media sosial sebagai cara untuk menyebarkan informasi kepada
publik dengan sikap dan cara yang benar dan produktif bukan sebaliknya membuat
konten yang kontraversial, yang hanya melahirkan ketidaknyaman dalam komunikasi
publik. Artinya Chambers, melihat hal mendasar atau esensi dari tujuan media
sosial sebagai wadah penyaluran informasi yang benar.
Kebenaran, Ruang Publik dan
Media Sosial
Salah
satu ancaman tersebar dalam tubuh demokrasi adalah manipulasi kebenaran.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Chambers, bahwa ancaman lama dan
terus-menerus terhadap demokrasi adalah misinformasi, kebohongan dan manipulasi
strategegis. Para aktor dengan diam-diam menyuntikan dan memperbuat ketiga hal
di atas secara eksponesial melalui media sosial. Pada bagian ini secara
eksplisit Chambers, menyampaikan argumentasinya bahwa, ia tidak terlalu sepakat
dengan apa yang disampaikan Hanna Arent. Ada dua alasan menanggap esai dari Hanna
Arent tidak terlalu membantu.
Pertama, esai “Kebenaran dan Politik” bukanlah tentang demokrasi. Ini
berfokus pada kekuasaan dan cara pemegang kekuasaan mengeksploitasi kelemahan
kebenaran. Demokrasi dan warga negara tidak disebutkan satu kali dalam esai
ini. Ia gagal menilai salah satu sumber daya dan kemungkinan yang tersedia bagi
warga negara untuk melawan manipulasi dan distorsi kebenaran. Alasan kedua
mengapa Arendt pada akhirnya tidak membantu. Apa yang dia berikan dengan satu
tangan dia ambil dengan tangan yang lain. Sementara dia mengatakan kebenaran
faktual sangat penting untuk politik, dia juga mengatakan bahwa semua
kebenaran—termasuk kebenaran faktual—adalah musuh politik.[11]
Dengan
membaca kedua alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Chambers, melihat dan
membaca esai Hanna Arent lebih mengarah pada kekuasaan bukan demokrasi dan
warga negara sebagaimana tertuang pada alasan pertama. Inilah bentuk kritik Chambers,
terkait kebenaran yang dimunculkan oleh Hanna Arent. Chambers, lebih
menfokuskan diri pada kebenaran yang berdiri di tengah-tengah perspektif
deliberatif.
Ruang
publik. Pembahasan ruang publik sangatlah menarik dan sebuah tema diskursus
yang sangat menukik untuk ditelusuri. Serverinus Temi Laga, dalam artikelnya Etika Politik dalam Patologi Ruang Politik
sebagaimana dijelaskan oleh Hanna Arent, ruang publik adalah ruang penampakan
dan dunia yang kita huni bersama. Artinya ruang publik merupakan ruang dimana
segala sesuatu nenampakan diri, dapat dilihat, didengar, diakses oleh semua
orang berpeluang untuk terpublikasikan secara luas.[12]
Jelas melalui konsep ini dapat dipahami bahwa ruang publik menjadi dunia kita
berekspresi. Pertanyaannya sejauh mana dalam pengengekspresian diri itu tidak
menaggu kenyamanan orang lain. Inilah yang menjadi persoalannya.
Chambers,
menjelaskan arti penting fungsi ruang publik dalam demokrasi sebagai pelacakan
kebenaran dan fungsi media sosial dalam ruang publik. Media sosial kini menjadi
bagian penting dalam ruang publik, vital dan permanen. Tetapi Chambers, menyatakan
bahwa apa yang terjadi di ruang publik tidak bisa dikatakan musyawarah. Paling
kurang ada dua alasan yang menjadi perhatian Chambers, pertama, dalam ruang
publik, tidak terikat pada keputusan dalam arti langsung dan kedua komunikasi
sangat termediasi dan terpilah.
Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas
Dalam
buku demokrasi deliberatif, yang ditulis oleh F. Budi Hadirman, menerangkan
demokrasi deliberatif adalah model yang sesuai dengan konsep proseduralistis
tentang negara hukum. Model demokrasi deliberatif menekankan pentingnya
prosedur komunikasi untuk meraih legitimitas hukum di dalam sebuah proses
pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang public yang
dimobilisasi secara kultural. Istilah deliberasi dari kata Latin deliberatio, dalam Bahasa Inggris deliberation berarti konsultasi,
menimbang-nimbang atau musyawarah. Pengertian di atas ditempatkan pada konteks publik
atau kebersamaan secara politis untuk memberi pengertian yang penuh sebagai
sebuah konsep dalam teori diskursus. Ketika dilakukan pengabungan dengan istilah
demokrasi, sudah tersirat di dalam makna mengenai, diskursus praktis, formasi
opini dan aspirasi politis. Perlu dipahami bahwa teori demokrasi deliberatif
tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang
menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warganegara, melainkan pada prosedur
untuk menghasilkan aturan-aturan ini.[13]
Dengan
pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa model demokrasi deliberatif lebih
terarah pada persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif. Hemat saya,
model ini memberikan suatu jalan keluar atau semacam solusi agar adanya control
demokratis melalui opini publik. Habermas mengatakan “Pada arti normatif
prosedur demokratis yang seharusnya menjamin bahwa semua persoalan yang relevan
bagi masyarakat dijadikan tema”[14]
dengan pernyataan Habermas ini dapat menerangkan bahwa demokrasi deliberatif mengacu
pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis itu sendiri. Hal ini
sebagaiman diterangkan dalam artikel bahwa Chambers, Dalam mini-publik
deliberatif, tidak ada media sosial, tidak ada berita palsu, tidak ada berita
palsu palsu, dan banyak patologi yang terkait dengan post-truth tidak ada atau
dikurangi. Artinya bahwa demokrati deliberatif lebih menekankan pada proses
dalam pemecahan opini publik secara prosedural bukan membenarkan teori
kebenaran itu.
Relevansi: Memahami Tindakan
Komunikatif Jurgen Habermas
Penerapan
konsep demokrasi deliberatif dalam ranah demokrasi Indonesia sangatlah membantu
dan membuka ruang bagi masyarakat untuk memahami lebih tepat lagi mengenai
kesenjangan-kesenjangan dalam opini publik. Modal awal dari pengejawantahan
demokrasi deliberatif di Indonesia, setidaknya ada dua hal, pertama hukum di
Indonesia memposisikan masyarakat secara sama, tidak hak istimewa bagi kalangan
tertentu di depan hukum. Kedua, masyarakat Indonesia mayoritas adalah Muslim.
Di dalam Islam, persamaan merupakan doktrin yang amat fundamental. Al-Qur’an
telah menetapkan prinsip bahwa Islam tidak membedakan siapapun dalam menaati
peraturan undang-undang, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain, sehingga
antara pemimpin, para penguasa serta rakyat jelata mempunyai kedudukan yang
sama, tidak ada keistimewaan di muka hukum.[15]
Melalui konsep di atas dapat dipastikan bahwa relevansi demokrasi deliberatif
dalam ruang publik demokrasi Indonesia, agar adanya musyawarah dalam ruang publik.
Konsep ini pula membantu masyarakat untuk selalu menimbang-nimbang dalam
menelaah berita dalam media sosial. Habermas menerapkan bahwa kekuasaan
komunikatif itu baru terbentuk lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim
kesahihan yang terbuka terhadap kritik dan dicapai secara diskursif. Dengan
kata lain, legitimitasi suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik
dalam proses deliberasi yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan
proses legislasi hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik[16].
Dengan demikian, konsep demokrasi deliberatif sangat membantu masyarakat dalam
memahami ruang publik dengan kaca mata aspirasi politis yang baik dan benar.
Menghindari masyarakat untuk terperangkap dalam opini publik yang salah atau
berita palsu.
Catatan Kritis: Problem Sentimen
Agama
Apakah
teori demokrasi deliberatif dapat mempertahankan sentimen agama dalam ruang public
demokrasi Indonesia? Pertanyaan ini dititikberatkan pada latar belakang bangsa
Indonesia yang plural. Isu tentang agama dalam ruang publik menjadi perhatian
serius. Semacam demokrasi hanya dalam tataran konseptual belaka. Kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri lagi adalah kasus dan problem pemilihan Gubernur DKI Jakarta[17].
Dimana dalam kasus ini memperlihatkan sikap sentiment primordial agama yang
diintensikan dalam kepentingan publik. Demokrasi Indonesia perlu serius dalam
menanggapi isu-isu sentimen agama dan politik indentitas. Inilah tantangan bagi
demokrasi deliberatif Indonesia. Hadirnya konsep ini pula dikarenakan lahir
dari pemahaman secara fundamental terhadap doktrin agama. Hadirnya agama dalam
ruang publik tidak menjadi problem, tetapi agama perlu berdileberatif terhadap
ruang publik. Hal ini demi musyarawah demi tercapainya opini publik yang
merata. Dalam arti dapat diterima dan mempunya konsep yang membangun. Dalam ruang publik, semua warga memiliki
hak komunikasi yang sama. Semua hal yang relevan dengan tata kelola hidup
bersama dibicarakan secara diskursif, komunikatif dan rasional. Hanya
saja, prinsip
netralitas negara dari keyakinan partikular religius tertentu, yang menjadi
semacam “rambu-rambu,” harus diindahkan. Prinsip ini tidak boleh ditawar,
apalagi dilanggar karena memberi jaminan kebebasan secara etis bagi semua warga
negara.[18]
Dengan demikian, demokrasi deliberatif memberikan pencerahan baru bagi
masyarakat dalam konteks ruang publik, kebenaran dan media sosial.
Penutup
Demokrasi deliberatif telah membuka konsep baru
atau pun jalan keluar yang tepat dari cengkraman pemahaman demokrasi yang
dangkal. Hal ini bertolak dari arti dan makna dari demokrasi deliberatif
sendiri, dimana selalu ada kesempatan untuk berkonsultasi dan bermusyawarah
menentukan keputusan secara komperensif. Tantangannya adalah bagaimana dalam
ruang publik yang dimediasi oleh media sosial. Ruang
publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang
mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam
tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah
dicurigai sebagai tameng dari agenda kekuasaan kelompok elit. Generalisasi yang
dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis
karena bersandar pada etika diskursus[19].
Artinya Habermas lebih melihat proses dalam penentuan keputusan bukan percaya
semata-mata pada teori kebenaran. Selalu ada ruang dan waktu untuk saling
berdiskusi dan musyawarah. Berita palsu dapat dihindari ketika ada konsep dalam
diri setiap pribadi untuk saling mengkritisi dan adanya konsultasi. Etika
diskursus membantu setiap orang untuk tajam dalam menelaah konsep-konsep yang
ada dalam ruang publik demi terhindarnya dari berita palsu.
[1] Simone
Chambers, Truth, Deliberative Democracy,
and the Virtues of Accuracy: Is Fake News Destroying the Public Sphere? Journals.sagepup.com/home/psx (Pdf) Vol.69
(1), hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 2.
[3] Ibid
[4] Ibid., hlm. 3.
[5] Ibid
[6] Yovita
Arika, Mengapa Hoaks Cepat Menyebar? https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/04/21/mengapa-hoaks-cepat-menyebar/, diakses pada 22 Oktober 2022.
[7]Ibid., hlm. 4.
[8]Ibid.
[9]Ibid., hlm. 5
[10]Ibid.
[11]Ibid.,
hlm 6.
[12]
Serverinus
Temi Laga, “Etika Politik Dalam Patrologi Ruang Publik”, Jurnal Forum, Vol. 48 No. 1 (Malang: 2019), hlm. 8.
[13] F. Budi Hadirman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm.
128-129.
[14] Ibid.
[15] Moh. Asy’ari Muthhar, Membaca Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas Dalam Dinamika Politik Indonesia, https:www.researchgate.net/publication/341429947_membaca_demokrasi_deliberatif_jurgen_habermas_dalam-dinamika_politik_indonesia, (Pdf) Membaca Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas Dalam Dinamika Politik Indonesia | ResearchGate, diakses pada 22 Oktober 2022.
[16] Ibid.
[17] Dismas K Wirinus, Menuju Masyarakat komunikatif menurut Jurgen Habermas, (online) https://Isfdiscourse.org/menuju-masyarakat-komunikatif-menurut-jurgen-habermas/
diakses, pada 22 Oktober 2022.
[18] Ibid.
[19] Moh. Asy’ari Muthhar, loc.cit.
_________________________________________________
Tentang Penulis
Miki Moruk berasal dari Malaka dan kini sedang bersekolah di IFTK Ledalero.
0 Comments