KRITISISME FILSAFAT SEBAGAI JALAN KELUAR ATAS TEGANGAN ANTARA KLAIM KEBENARAN DENGAN RADIKALISME AGAMA || KANIS BAUK

Ilustrasi. Kumparan.com

Abstrak: Artikel ini merupakan ikhtiar penulis untuk menganalisis tegangan antara klaim kebenaran mutlak dengan radikalisme agama yang terjadi dan berkembang hari-hari ini. Radikalisme agama merupakan sebentuk resiko yang terjadi atas dasar klaim kebenaran mutlak. Klaim kebenaran mutlak menjadi fondasi utama atau cikal bakal terjadi dan berkembangnya radikalisme agama. Tegangan serius antara klaim kebenaran dengan radikalisme agama adalah gambaran riil kelemahan atau keterbatasan pengetahuan manusia dan merupakan sikap diri manusia yang tidak rasional komunikatif. Sikap ini terungkap dalam tindakan umat manusia yang percaya secara “total” pada doktrin-doktrin tradisional dan akhirnya mengklaim memiliki kebenaran mutlak dalam agamanya. Oleh karena pemahaman yang kaku terhadap doktrin tradisional dan penyalahgunaan teks suci, radikalisme agama pada gilirannya menjadi suatu tantangan dan tegangan serius yang menakutkan dalam kehidupan bersama. Sebab, radikalisme agama menciptakan gesekan-gesekan sosial, kejahatan dan kekerasan yang berujung pada terorisme. Oleh karena itu, berhadapan dengan persoalan ini, penulis menawarkan sikap toleransi sebagai upaya untuk saling menerima dan menghargai sesama umat manusia di dalam kehidupan yang plural ini. Mereka mesti mengedepankan nilai toleransi di tengah masyarakat luas yang beragam ini.

 

Kata-kata Kunci: Klaim Kebenaran Mutlak, Radikalisme Agama, Kritisisme Filsafat dan Toleransi.

1.      PENDAHULUAN

Realitas memperlihatkan, radikalisme agama kini telah menjadi sesuatu yang menakutkan di tengah masyarakat yang plural ini. Sebab, radikalisme agama selalu menunjukkan suatu sikap yang mau mengubah tatanan dunia sampai ke “akar-akarnya” yang sebelumnya tidak pernah ada. Mirisnya, tuntutan ini selalu disertai dengan kejahatan dan kekerasan sosial yang selalu mengarah pada terorisme. Untuk itu, radikalisme agama menjadi suatu problematik bagi masyarakat di banyak negara karena “geliat” kaum radikal pada umumnya menghasilkan tindakan yang penuh kekerasan.[1]

Menurut penulis, radikalisme agama merupakan sebentuk resiko atau akibat langsung dari klaim kebenaran. Klaim kebenaran menjadi cikal bakal terjadinya radikalisme agama. Klaim kebenaran memperlihatkan suatu pemahaman yang selalu berpegang teguh pada “kebenaran pribadi dan kelompok tertentu” yang berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan manusia. Ini terjadi karena pemahaman manusia yang kaku tentang Tuhan dalam teks-teks kuno atau doktrin-doktrin tradisional yang ada di dalam agama-agama. Oleh karena pemahaman yang kaku terhadap doktrin-doktrin tradisional, manusia akhirnya mengklaim memiliki kebenaran mutlak yang harus dipatuhi oleh agama-agama lain bahkan menjadi standar bagi negara. Sejarah memperlihatkan, kemutlakan dan kebenaran wahyu Allah dan bentuk tatanan sosio-politik telah memicu peperangan antara Gereja dengan masing-masing pelbagai pendukung politiknya di abad pertengahan.[2]

Tegangan serius antara klaim kebenaran mutlak dengan radikalisme agama kini telah menciptakan ketakutan dalam masyarakat luas dan melahirkan resiko konkret, seperti sikap “patologi sosial”, “diskriminasi sosial” berdasarkan keyakinan atau agama tertentu yang berujung pada kekerasan dan kejahatan sosial. Penulis berpendapat, fakta ini terjadi karena pengetahuan manusia yang terbatas, tidak kritis dan sikap manusia yang tidak rasional komunikatif. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, tesis yang hendak diangkat penulis ialah bahwa radikalisme agama merupakan sebentuk resiko yang terjadi “di dalam tubuh” klaim kebenaran mutlak. Hal ini kemudian menjadi suatu tegangan serius yang menciptakan ketakutan di dalam masyarakat yang beragam ini.

Untuk maksud dan tujuan ini, artikel ini diorganisasikan sebagai berikut. Bagian pertama memuat kajian tentang tegangan antara klaim kebenaran mutlak dengan radikalisme agama. Bagian kedua berisi tentang kritisisme filsafat sebagai jalan keluar atas tegangan antara klaim kebenaran mutlak dengan radikalisme agama. Hal ini terdiri dari dua bagian, pertama, filsafat sebagai proses menuju sikap kritis yang rasional dan kedua, dari rasionalitas menuju sikap rasional yang komunikatif. Bagian ketiga sebagai kesimpulan, penulis menawarkan sikap toleransi sebagai “jalan” atau cara untuk saling menerima dan menghargai di tengah kehidupan umat manusia yang beragam ini.

2.      TEGANGAN ANTARA KLAIM KEBENARAN MUTLAK DENGAN RADIKALISME AGAMA

2.1  Klaim Kebenaran Mutlak

Klaim kebenaran mutlak telah secara radikal memperlihatkan sikap hidup manusia yang berpegang teguh pada doktrin-doktrin tradisional dan percaya secara utuh pada teks-teks tersebut. Lantas, manusia mengklaim memiliki kebenaran mutlak yang mesti dipatuhi oleh orang lain dan bahkan dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai agama-agama lain. Ini kemudian berdampak pada tindakan manusia yang melakukan segala sesuatu, entah itu kebaikan ataupun kejahatan, selalu dilihat atau dihubungkan dengan misi atas nama Allah. Umumnya, misi ini selalu ditemukan dalam agama-agama di dunia ini, untuk menyebarkan ajaran Kristus, sesuai dengan keyakinan yang berpijak pada klaim kebenaran mutlak. Secara bervariasi, klaim kebenaran agama itu didasarkan atas ajaran otoritatif dari pemimpin karismatik yang mendapatkan ilham atau menyerupai orang suci, juga didasarkan pada interpretasi atas teks suci, yang sering dikaitkan dengan para pemimpin yang berbakat semacam itu.[3]

Sejarah memperlihatkan, telah berabad-abad lamanya, agama-agama di dunia ini “berkutat” atau terjebak dalam “kepercayaan” yang berlebihan pada kebenaran mutlak dalam agamanya. Dalam setiap agama, klaim kebenaran mutlak dijadikan sebagai fondasi utama untuk bermisi. Ini menjadi tantangan serius bagi agama-agama lain karena klaim kebenaran mutlak yang menjadi fondasi utama dalam agama itu bersifat plural. Hal ini terbukti, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut atau klaim kebenaran agama menjadi proposisi-proposisi yang menuntut pembenaran tunggal dan diperlukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama lain akan muncul dengan mudah. Kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda awal kejahatan yang menyertainya.[4] Untuk itu, meminjam ungkapan Dr. Mathias Daven, manusia diakui sejauh ia bagian dari agama yang benar. Manusia tidak lagi dihargai sebagai pribadi, melainkan sebagai obyek dari ajaran yang benar.[5]

Fakta, klaim kebenaran agama mewarisi suatu sikap hidup yang tertutup, tidak menerima perbedaan dan akhirnya hanya berpijak pada kebenaran individual atau kelempok tertentu. Realitas ini merupakan gambaran riil tentang dua hal berikut ini, yakni pertama, “pemahaman yang kaku tentang Tuhan” dan kedua, penyalahgunaan teks suci.

Pertama, pemahaman yang kaku tentang Tuhan. Yang dimaksudkan di sini ialah keyakinan berlebihan pada Tuhan dan doktrin-doktrin kaku lainnya. Hari-hari ini, tidak sedikit umat manusia dan pemimpin agama yang masih terjebak dalam doktrin-doktrin tradisional dalam agamanya. Mirisnya, doktrin-doktrin atau teks-teks kuno itu dijadikan sebagai suatu kebenaran mutlak untuk mewartakan ajaran Kristus. Terbukti bahwa pada saat umat manusia mempercayai doktrin-doktrin tradisional dalam agama-agama itu sebagai kebenaran mutlak, manusia akan terperosok ke dalam suatu “pemahaman yang kaku tentang Tuhan” atau percaya berlebihan pada Tuhan melalui doktrin-doktrin kuno tersebut. Lantas, manusia akan mengklaim memiliki kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan lagi. Untuk itu, ketika konseptualisasi tertentu mengarah pada doktrin kaku dan keyakinan berlebihan tentang Tuhan, besar kemungkinan masalah besar akan meningkat cepat, semisal orang akan mengklaim diri sebagai pemimpin agama dan berbicara atas nama Tuhan dengan kaku.[6] Pada saatnya, hal ini akan mengarah pada tindakan yang menyerang bahwa agama lain telah menyembah Tuhan yang palsu, atau “klaim kebenaran sempit tentang Tuhan yang menuduh orang lain sebagai kafir karena dipandang mengajarkan kepalsuan yang berbahaya atau menganggap orang lain sebagai bukan manusia”.[7]

Kedua, penyalahgunaan teks suci. Umumnya, “teks suci memberikan sumber kebijaksanaan dan petunjuk yang kaya dalam dinamika kehidupan”.[8] Namun, dewasa ini tidak sedikit manusia termasuk penganut agama yang menyalahgunakan teks suci untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, misalnya mengutip teks suci untuk memperkuat suatu ajaran tertentu agar umat manusia yang lain dapat mempercayainya. Teks suci adalah unsur agama yang paling mudah disalahgunakan. Tak dapat dimungkiri bahwa eksploitasi manipulatif atas teks tertentu dapat mengarah pada kefanatikan yang menyimpang.[9] Ini benar-benar terjadi, manusia akan menyimpang dari suatu ajaran yang benar dan menuju pada suatu ajaran yang salah bahkan yang paling jahat sekalipun. Semisal, bom bunuh diri di Libanon pada tahun 1976 adalah gambaran konkret fenomena ini. Jadi, klaim kebenaran mutlak yang didasarkan atas penafsiran teks suci yang sepotong-sepotong menyebabkan berbagai penyelewengan dalam agama-agama.[10]

Terbukti bahwa pemahaman yang kaku tentang Tuhan dalam doktrin-doktrin tradisional dan penyalahgunaan teks suci telah secara radikal menuntun manusia pada suatu keyakinan yang berlebihan dan ketatatan yang buta tentang suatu kebenaran mutlak dalam agamanya. Alasannya, ketaatan yang buta pada gilirannya akan menghantar manusia dan penganut agama sekalipun untuk bertindak sesuka hati dan mengklaim memiliki kebenaran mutlak dalam agamanya yang mesti dipatuhi oleh sesama umat manusia yang lain. Ketika para pengikut yang taat dan bersemangat mengangkat ajaran dan kepercayaan agama mereka hingga ke tingkat klaim kebenaran mutlak, mereka sebenarnya membuka pintu bagi kemungkinan agama mereka untuk berubah menjadi agama yang jahat.[11]

2.2  Radikalisme Agama

Tak dapat dimungkiri, klaim kebenaran mutlak tidak hanya menjadi dasar utama bagi agama-agama untuk mewartakan misi Allah, tetapi juga telah menjadi suatu kekuatan atau cikal bakal terjadinya radikalisme agama. Radikalisme agama merupakan sebentuk resiko yang terjadi “di dalam tubuh” klaim kebenaran mutlak. Radikalisme merupakan cara pandang, cara berpikir atau paradigma yang sudah menjadi ideologi. Secara etimologis, ia berangkat dari kata radix (akar) yang menggambarkan sebuah proses menuju kepada suatu akar persoalan. Sementara itu, imbuhan kata isme menjadikannya ideologi yang bersifat sosio-politik. Ideologi ini berangkat dari akar berpikir tertentu dan ingin melakukan perubahan secara mendasar serta menyeluruh.[12]

Pada umumnya, radikalisme agama merupakan aksi dan reaksi dari kaum radikalis atau kelompok tertentu atas ketidakpuasan dalam kehidupan bersama, seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi yang terjadi. Reaksi ini mempunyai tujuan yang ingin mengubah suatu sistem dalam kehidupan bersama sampai ke dasar atau yang paling bawah. Ini terjadi atas dasar keyakinan manusia yang berlebihan terhadap teks-teks kuno dan mengklaim memiliki kebenaran mutlak dan tunggal dalam agamanya. Aksi dan reaksi ini kemudian membuat kaum radikalis berkomitmen untuk mengubah sebuah struktur sosial sampai pada lapisan yang paling bawah. Kenyataan bahwa “radikalisme yang muncul entah dalam bentuk perilaku ataupun paham selalu menampilkan karakteristik intoleran, fanatik, ekslusif dan revolusioner”.[13]

Radikalisme agama telah menciptakan tantangan serius dan ketakutan yang signifikan bagi masyarakat luas, baik dalam kehidupan beragama maupun bernegara. Alasannya, “klaim salah satu agama tertentu dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Di sini, nalar sehat dan toleransi seolah lenyap dari pandangan. Buahnya adalah tegangan dan kekerasan di dalam hidup bersama.”[14] Dalam kehidupan beragama, terutama dalam agama Islam, semisal ada ketakutan bahwa “kaum radikal agama ingin meng-agama-kan (mengislamkan) negara sekaligus meng-agama-kan (mengislamkan) surga. Jika keduanya, negara dan surga, di-agama-kan (diislamkan) maka ada kekuatiran eskatologis bahwa kaum non-Muslim mungkin tidak akan diperbolehkan memasuki surga di akhirat.”[15]

Radikalisme agama, tidak hanya sebatas pada aksi meng-agama-kan surga dan negara, tetapi lebih jauh ia mengarah pada suatu tindakan yang dipenuhi dengan kejahatan dan kekerasan yang berujung pada kematian. Realitas ini terjadi karena manusia telah terlanjur mengklaim memiliki kebenaran mutlak dalam agamanya. Bukti ini sebagaimana yang “diperlihatkan” oleh kaum radikal Islam, “mereka menolak sistem kehidupan berbangsa modern karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam”.[16] Tindakan ini pada saatnya akan mendorong radikalisme agama menuju terorisme, perang dan kekerasan sosial.[17] Aksi bom Bali I dan II disinyalir dan atau dilakukan para aktivis Jl, yakni Amrozi Cs adalah gambaran telak reaksi kaum radikalis agama yang terjadi hari-hari ini. Kenyataan ini tentunya mempunyai tujuan, yakni mau mendesak agama-agama lain dan bahkan negara untuk mematuhi dan mengikuti paham dan ajaran mereka.

Bertolak dari uraian singkat di atas, kita dapat mengetahui bahwa radikalisme agama merupakan suatu aksi dan reaksi dari kelompok tertentu yang mau mengubah agama-agama lain dan bahkan negara sekalipun sampai ke akar rumput atau akar kemurnian yang tak pernah ada. Mirisnya, aksi dan reaksi ini selalu disertai dengan gesekan sosial, kejahatan dan kekerasan yang berujung pada terorisme. Kenyataan ini terbukti dalam agama-agama, semisal dalam agama Islam terungkap bahwa “puncak dari radikalisme agama Islam ialah terorisme yang menggunakan pendekatan militer demi penegakan khilafah untuk meruntuhkan hegemoni barat”.[18]

 

3.      KRITISISME FILSAFAT SEBAGAI JALAN KELUAR ATAS TEGANGAN ANTARA KLAIM KEBENARAN DENGAN RADIKALISME AGAMA

3.1  Proses Menuju Sikap Kritis yang Rasional

Filsafat yang berasal dari kosa kata bahasa Yunani philos atau philein dan sophia berarti cinta akan kebijaksanaan atau pengetahuan merupakan suatu ilmu kritis yang lahir untuk menanggapi pelbagai persoalan tentang “kelemahan” ilmu pengetahuan manusia pada beberapa abad yang lalu. Cinta akan kebijaksanaan berangkat dari ilmu pengetahuan manusia yang terbatas, keliru dan sangat kaku. “Cinta akan kebijaksanaan merupakan jalan dan kebijaksanaan itu sendiri tak lain dari tujuan, demikian Seneca. Tidak ada filsafat tanpa kebajikan – lanjut Seneca, tidak ada kebajikan tanpa filsafat. Filsafat adalah upaya kita untuk mendapat kebajikan melalui kebajikan.”[19]

Fakta, berabad-abad lamanya terjadi perdebatan yang serius antara ilmu pengetahuan manusia tentang kebenaran agama-agama di satu pihak dan negara di pihak lain. Kenyataan memperlihatkan bahwa klaim satu agama tertentu telah secara radikal menciptakan ketakutan dan tegangan yang serius bagi agama-agama lain juga negara karena manusia telah mengklaim memiliki kebenaran mutlak dalam agamanya yang mesti ditaati oleh orang lain. Menjawabi persoalan ini, kelahiran filsafat yang adalah ilmu kritis menjadi sesuatu yang urgen hingga dewasa ini. Alasannya, filsafat akan mendekati dan menjawab persoalan-persoalan itu dengan keketatan logika atau argumen, daya nalar dan ditempuh serta dipertanggungjawabkan pada wilayah akademik publik.[20] Di sini, “filsafat memperlihatkan bahwa ia bukan hanya berurusan dengan teori tentang atom, kosmos, manusia dan yang transenden. Akan tetapi, sasaran filsafat bagi manusia adalah cara hidup yang disadari, direalisasikan, dievaluasi dan direfleksikan serta dikoreksi.[21]

Radikalisme agama merupakan gambaran riil klaim satu agama tertentu yang mengklaim memiliki kebenarana mutlak. Ini terjadi atas dasar kelemahan, “keterbatasan pengetahuan” dan pemahaman yang kaku terhadap doktrin-doktrin tradisional. Hal ini kemudian berdampak pada tindakan dan cara pandang manusia yang hanya meyakini kebenaran agamanya dan pada akhirnya tidak mau menerima perbedaan dalam kehidupan bersama. Keyakinan ini akan menghantar manusia pada suatu kejahatan disertai kekerasan yang sangat menakutkan. Sebab, klaim satu agama tertentu dianggap memiliki kebenaran mutlak sehingga menjadi tolok ukur untuk menilai agama-agama lain bahkan menjadi standar yang mesti dipatuhi oleh agama-agama lain dan negara. Pemahaman ini kemudian baru dikritik oleh Auguste Comte pada abad ke-19 karena dinilai tidak kritis dan rasional. Sebab, agama adalah usaha dan perjuangan manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Manusia yang percaya secara “buta” pada doktrin-doktrin tradisional dan mengklaim memiliki kebenaran mutlak yang mesti dipatuhi oleh umat beragama lain merupakan kumpulan manusia yang tidak kritis dan rasional. Sebab, ia tidak terbuka pada kebenaran-kebenaran lain atau hanya “berkutat” dengan kebenaran yang ada di dalam agamanya. Comte menilai ini sebagai suatu sikap hidup manusia yang tidak kritis dan rasional. Alasannya, manusia masih terjebak dalam mitos dan mempercayai doktrin-doktrin tradisional dalam agamanya sebagai kebenaran tunggal. Comte mengungkapkan bahwa manusia tidak akan mencapai sikap kritis dan rasional bila tidak meninggalkan segala mitos dan doktrin-doktrin yang kaku dalam agamanya. Sebaliknya, manusia akan mencapai sikap kritis yang rasional bila ia tidak terperangkap ke dalam agama beserta doktrin-doktrin kaku dan mitos yang ada di dalamnya. “Jadi ia melihat suatu garis kemajuan umat manusia ke arah pembebasan mental dari kepercayaan-kepercayaan yang tidak rasional; dari mitos dan agama, (mitos dan agama dianggap kebodohan besar Comte; kedua-duanya jelas harus dibedakan), melalui filsafat menuju sifat ilmiah. Manusia ilmiah yang bebas dari mitos, agama dan metafisika itulah baru manusia yang rasional.”[22]

Pemahaman Comte ini menjadi jelas dan mau menunjukkan bahwa klaim kebenaran satu agama tidak boleh menjadi ukuran apalagi standar bagi agama-agama lain dan negara. Sebab, hal itu merupakan suatu keterbatasan ilmu pengetahuan manusia yang tidak kritis yang masih terjebak dalam kebenaran agamanya sendiri. Comte menjelaskan, kebenaran agama tidak dapat dibuktikan dengan argumentasi empiris karena Tuhan sendiri tidak termasuk dalam dunia empiris.[23] Yang termasuk dalam dunia empiris adalah segala sesuatu yang dapat dibuktikan kebenaran dan kesalahannya serta dapat dipertanggungjawabkan dalam ruang publik. Oleh sebab itu, kebenaran satu agama tidak boleh menjadi patokan untuk agama lain apalagi negara karena dinilai tidak kritis dan rasional. “Rasional berarti dapat dipertanggungjawabkan dengan argumentasi yang objektif. Di mana “objektif” berarti terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan intersubjektif, artinya dapat ditanggapi oleh semua yang bersangkutan.”[24]

Tegangan serius antara klaim kebenaran mutlak dengan radikalisme agama yang ditandai dengan kejahatan dan kekerasan sosial merupakan bentuk kelemahan dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia serta sikap hidup manusia yang irasional atau tidak rasional. Irasional berarti percaya pada doktrin-doktrin tradisional yang kaku dan mempercayainya sebagai kebenaran mutlak. Inilah kelemahan dan kekeliruan yang terjadi pada manusia dalam kehidupan beragama. Dengan kata lain, meminjam ungkapan Comte bahwa “agama hanya dilihat sebagai mitos dan etika menjadi konvensi atau cita-cita pribadi tanpa daya ikat universal”.[25] Untuk itu, manusia mesti keluar dari sikap percaya diri yang berlebihan terhadap doktrin kaku dan teks tradisional dalam agamanya agar tidak diperbudak dengan kebenaran “pribadi” dalam agamanya. Sebab, doktrin-doktrin dan teks tradisional dalam agama-agama hanya merupakan suatu kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan argumentasi empiris.

3.2  Rasionalitas Menuju Sikap Rasional yang Komunikatif

Tegangan serius antara klaim kebenaran dengan radikalisme agama merupakan reaksi manusia yang tidak rasional. Untuk itu, kelahiran filsafat yang merupakan ilmu kritis juga mau menghantar manusia pada suatu sikap rasional yang komunikatif. Rasionalitas komunikatif berarti saling pengertian dalam komunikasi yang tidak mengorbankan masyarakat luas demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Rasionalitas komunikatif dengan itu menjadikan komunikasi sebagai sebuah dialog yang terbuka, dialog yang tidak mengesampingkan partisipan lain dan mengusahakan tercapainya saling pengertian. Komunikasi ini menunjukkan sebuah masyarakat yang terbuka terhadap berbagai sistem, masyarakat yang sama sekali bebas mengungkapkan diri, maksud dan cita-citanya, masyarakat yang tidak mengorbankan nilai dan pribadi lain demi mencapai tujuannya.[26]

Rasionalitas komunikatif mau menjembatani sikap manusia yang irasional menuju suatu sikap rasional yang komunikatif. Artinya, suatu pemahaman diri beserta kesadaran diri yang tidak terjebak pada suatu pemahaman yang kaku dan tidak mengorbankan umat manusia yang lain. Dalam konteks ini, “rasionalitas komunikatif berikhtiar membangun hubungan dialektis antara unitas dan keanekaragaman, universalitas dan partikularitas”.[27]

Proses ini, menuntut suatu kesadaran baru manusia yang mau tebuka untuk belajar bersama. Belajar bersama berarti berdialog bersama dalam realitas hidup manusia yang plural. Dialog pada saatnya akan menghantar manusia pada sikap diri yang terbuka dan mau belajar bersama. Di sini, tampak jelas bahwa “rasionalitas komunikatif menciptakan pemahaman timbal-balik dan ia terungkap dalam bahasa”.[28] Bahasa merupakan “simbol” hidup manusia. Hubungan timbal balik yang terungkap dalam bahasa pada akhirnya membuat manusia untuk saling menerima satu sama lain walaupun berbeda. Dengan begitu, proses ini menghantar manusia pada suatu tataran yang mau “meyakini secara bersama-sama nilai-nilai dasar seperti itu dan dapat berkomunikasi secara mendalam dan amat bermakna meskipun berbeda keyakinan atau agamanya”.[29]

Dalam “ruang” rasionalitas komunikatif, dialog menjadi sesuatu yang urgen dalam realitas hidup manusia. Dialog berarti percakapan atau komunikasi antar sesama manusia. Dialog menjadi sesuatu yang urgen sekaligus merupakan “tujuan” dalam kehidupan bersama. Mengutip ungkapan Dr. Otto Gusti, “tujuan dari dialog adalah menjelaskan rasionalitas kehidupan bersama sehingga semua orang bisa setuju atau mencapai sebuah konsensus rasional”.[30] Di sini, dialog menjadi suatu portal yang mampu menghubungkan satu manusia dengan manusia lain serempak mau mempersatukannya di dalam kehidupan yang beragam, baik dalam kehidupan agama maupun negara. Dengan demikian, ia akan melahirkan rasa saling meghargai peran dan posisi masing-masing guna membangun sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.[31]

Berangkat dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rasionalitas komunikatif mau membongkar pemahaman manusia yang “kaku” atau irasionalitas dan mau menghantarnya pada suatu tingkat pengetahuan yang rasional komunikatif. Artinya, terbuka dan mau belajar bersama dengan sesama umat manusia yang lain. Selain itu, rasionalitas komunikatif juga mau mempersatukan manusia di dalam lingkungan hidup yang plural. Kenyataan ini terjadi melalui dialog yang terungkap dalam bahasa harian manusia. Dengan demikian, manusia akhirnya dapat terbuka, saling menerima, mau belajar bersama dan memperhatikan kebaikan universal dan atau tidak mengesampingkan dan mengorbankan umat manusia yang lain untuk mencapai tujuan pribadinya atau kelompok tertentu.

4.      TOLERANSI: SIKAP SALING MENERIMA DAN MENGHARGAI DALAM KEBERAGAMAN

Tantangan nyata antara klaim kebenaran dengan radikalisme agama telah menciptakan ketakutan dan melahirkan pelbagai resiko yang tak terhindarkan bagi manusia, baik dalam kehidupan global maupun nasional. Realitas ini terjadi pertama-tama karena sikap irasional dan sikap tertutup yang tidak mau menerima perbedaan dalam kehidupan bersama. Atas dasar ini, penulis menawarkan nilai toleransi sebagai suatu proses atau sikap untuk saling menerima dalam kehidupan yang beragam ini.

Toleransi muncul sebagai respon atas gesekan sosial, kejahatan universal dan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan hidup masyarakat yang berbeda, semisal perbedaan kepercayaan dan keyakinan beragama, budaya dan sebagainya. Dengan kata lain, toleransi muncul dalam situasi-situasi yang dicirikan oleh adanya pertikaian atau pertentangan. Umumnya antara kalangan mayoritas dan minoritas menyangkut perbedaan-perbedaan kelompok minoritas yang tidak disukai oleh kalangan mayoritas dan yang menyebabkan orang-orang yang berbeda tadi, disakiti, dilecehkan atau ditepikan serta dikucilkan.[32] Dalam konteks ini, toleransi muncul untuk memberi jawaban serempak jalan tengah atau “perdamaian” di dalam pelbagai persoalan dan konflik tersebut.

Di tengah tegangan serius antara klaim kebenaran dengan radikalisme agama, toleransi menjadi jalan tengah yang mau menjembatani atau mendamaikan kedua tantangan tersebut. Toleransi pertama-tama berupaya memperlihatkan sikap pengakuan universal di tengah masyarakat plural. Alasannya, kejahatan dan kekerasan sosial terjadi karena tidak ada sikap saling mengakui antara satu manusia dengan manusia yang lain. Sikap tidak saling mengakui akhirnya menciptakan ketakutan dan resiko mematikan yang datang silih berganti. Mengakui berarti menerima kelemahan, mau belajar dari orang lain dan mau menerima perbedaan dalam kehidupan bersama. Sikap saling menerima dan menghargai satu sama lain hanya mungkin terjadi melalui cara ini, yakni mengakui sesama manusia sebagai yang berbeda. Fakta ini akan memampukan manusia untuk menciptakan kebebasan dan keadilan bagi masyarakat luas. Dengan kata lain, toleransi pengakuan memungkinkan adanya inklusi yang menyeluruh terhadap kelompok-kelompok minoritas; makna simboliknya mesti benar-benar gamblang, yakni sebagai sebuah isyarat publik yang mengakui dan mengabsahkan kehadiran dari perbedaan-perbedaan tertentu, dan karenanya aneka jati diri kolektif.[33]

Kedua, toleransi mengupayakan nilai kerendahan hati dan tanggung jawab kolektif. Kerendahan hati berarti tidak angkuh, tidak sombong dan mau peduli atau mau berbagi dengan sesama. Ia tampil apa adanya dan lebih bebas. Fakta, terorime atau pembunuhan dalam kehidupan beragama adalah sikap angkuh yang tidak mau peduli dengan eksistensi orang lain. Untuk itu, kerendahan hati merupakan sesuatu yang urgen dibutuhkan. Kedamaian hanya mungkin tercipta dalam agama-agama, manakalah ada sikap kerendahan hati. Hanya dengan bersikap rendah hati, kita dapat memiliki kemampuan untuk menghormati mereka yang berbeda kepercayaan dan keyakinan dengan kita.[34]

Selanjutnya, tanggung jawab kolektif adalah suatu sikap etis yang mau memberi dan membuka diri atau terbuka dengan orang lain. Tanggung jawab adalah bentuk lain dari menerima dan memberi. Artinya, saya mau menerima sesama yang lain dan mau memberi respon kepadanya. Tanggung jawab menyadarkan manusia akan pentingnya rasa saling menerima, membuka diri dan menghargai umat manusia yang lain. Alasannya, klaim kebenaran dan radikalisme agama merupakan dua tegangan yang memperlihatkan sikap tertutup atau tidak terbuka, menerima dan tidak menghargai orang lain. Untuk itu, tanggung jawab kolektif adalah jalan yang mau menghantar manusia pada suatu sikap yang lebih terbuka, yakni mau menerima dan menghargai orang lain. Atau, tanggung jawab adalah sikap membuka diri untuk menanggapi “kehadiran yang lain”. Menurut Levinas, “kehadiran yang lain” menuntut dua hal penting yang harus aku jalankan. Pertama, aku harus menanggung kehadirannya. Kedua, karena kehadirannya adalah suatu penggilan yang tertuju kepadaku, aku harus memberikan jawaban atas kehadirannya. Di hadapan yang lain, aku dituntut untuk memberikan suatu jawaban atau tanggung jawab kolektif.[35]

5.      PENUTUP

Radikalisme agama merupakan sebentuk resiko yang terjadi “di dalam tubuh” klaim kebenaran mutlak. Klaim kebenaran mutlak menjadi fondasi utama terjadi dan berkembangnya radikalisme agama. Oleh karena pemahaman yang kaku terhadap doktrin-doktrin kuno dan penyalahgunaan teks suci atau doktrin-doktrin tradisional, radikalisme agama kemudian menjadi sesuatu yang bertumbuh subur dan telah secara radikal menciptakan ketakutan serta tegangan yang serius dalam masyarakat. Sebab, radikalisme agama yang terjadi selalu disertai dengan gesekan-gesekan sosial, kejahatan dan kekerasan sosial yang berujung pada terorisme. Klaim kebenaran dan radikalisme agama pada akhirnya akan melahirkan perpecahan dan permusuhan di dalam kehidupan yang plural ini. Lantas, manusia akan dihadapkan pada pelbagai resiko konkret dan mematikan, bila manusia tidak mengedepankan sikap toleransi di dalam kehidupan yang beragam ini. Mereka mesti mengedepankan sikap toleransi di tengah persoalan yang menakutkan ini.



[1] Georg Kirchberger, “Problematik Kekerasan dalam Pandangan Agama Kristiani”, Jurnal Ledalero, Vol. 17, No. 1 (Ledalero: Juni 2018), hlm. 96.

[2] Mathias Daven, “Fundamentalisme Agama Sebagai Tantangan Bagi Negara”, Jurnal Ledalero, Vol. 15, No. 2 (Ledalero: Desember 2016), hlm. 274-304. dalam Mathias Daven, “Klaim Kebenaran dan Toleransi Dalam Konteks Hubungan antara Islam dan Kekristenan di Indonesia” (Diterbitkan Bersama: Penerbit Ledalero dan Studia Ledalero, Maumere, 2022), hlm. 86.

[3] Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, penerj. Nurhadi dan Izzuddin Washil (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), hlm. 77.

[4] Ibid., hlm. 77-78.

[5] Mathias Daven, “Klaim Kebenaran dan Toleransi Dalam Konteks Hubungan antara Islam dan Kekristenan di Indonesia” (Diterbitkan Bersama: Penerbit Ledalero dan Studia Ledalero, Maumere, 2022), hlm. 121.

[6] Charles Kimball, op. cit., hlm. 90.

[7] Ibid., hlm. 96.

[8] Ibid.,hlm. 97.

[9] Ibid., hlm. 98.

[10] Ibid., hlm. 104.

[11] Ibid., hlm.82.

[12] Syaiful Arif, Islam, Pancasila dan Deradikalisasi: Meneguhkan Nilai Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2018), hlm. 165.

[13] Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), “Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme-ISIS”, dalam belmawa ristekdikti.go.id. dalam Yosef Keladu Koten, “Kampanye Strategis Melawan Radikalisme: Merancang Model Pendidikan Multikultural” Jurnal Ledalero, 17:1 (Ledalero: Juni 2018), hlm. 7.

[14] Watimena, Reza A.A., Banyu Perwita, Tolerance and Education: Developing Tolerance as a Way of Life in Indonesia, 2017, dalam Reza A. A Wattimena, “Kosmopolitanisme Sebagai Jalan Keluar Atas Tegangan Abadi Antara Neokolonialisme, Radikalisme Agama dan Multikulturalisme”, Jurnal Ledalero, 17:1 (Ledalero: Juni 2018), hlm. 123.

[15] Justin L. Wejak, “Narasi Radikalisme dan Ketakutan”, Jurnal Ledalero, 17:1 (Ledalero: Juni 2018), hlm. 87.

[16] Syaiful Arif, op. cit., hlm. 174.

[17] Ibid., hlm. 167.

[18] Ibid., hlm. 180.

[19] Gregor Maurach: Seneca. Leben und Werk. Darmstadt: Wissenchaftliche Buchgesellschaft, 2013, hlm. 181. dalam Fidelis Regi Waton, “Filsafat Sebagai Cara Hidup”, Jurnal Ledalero, 18:1 (Ledalero: Juni 2019), hlm. 8.

[20] Herry Priyono, Ilmu Sosial Dasar: Asal-usul, Metode, Teori, Plus Dialog dengan Filsafat dan Teologi (Jakarta: Percetakan PT Gramedia, 2022), hlm. 193.

[21] Ibid., hlm. 11.

[22] Franz Magnis-Suseno, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), hlm. 12.

[23] Ibid., hlm. 14.

[24] Ibid.

[25] Ibid., hlm. 17.

[26] Paulus Senoda Hadjon, “Membangun Masyarakat Komunikatif Bebas Dominasi dalam Rasionalitas Komunikatif”, Akademika, 1:1 (Ledalero: Desember 2005), hlm. 58.

[27] Dr. Otto Gusti Ndegong Madung, “Jurgen Habermas dan John Rawls” (Bahan Kuliah, Institut Filsafata dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere, 2018), hlm.6.

[28] Ibid., hlm. 15.

[29] Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 24.

[30] Dr. Otto Gusti Ndegong Madung, op. cit., hlm. 18.

[31] Ibid., hlm. 19.

[32] Anna Elisabetta Galeotti, “Mempertimbangkan Kembali Toleransi”, dalam Felix Baghi, SVD. (ed.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 369.

[33] Ibid., hlm. 380.

[34] Franz Magnis-Suseno, M. Amin Abdullah dan K.H. Said Aqiel Siradj, Menggugat Tanggung Jawab Agama-agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), hlm. 88.

[35] Felix Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Etika Politik dan Postmodernisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 9.

_________________________________________

Tentang Penulis

Kanis Bauk, Mahasiswa  Fakultas Filsafat Semester VIII  di IFTK Ledalero. Kini bermukim di Wisma SVD St. Agustinus Wairpelit.

Post a Comment

0 Comments