PANDANGAN NURCHOLISH MADJID TENTANG
PLURALISME AGAMA DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Oleh: Fr. Micky Moruk, SVD
(Mahasiswa Prodi Filsafat Pada Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero Semester IV)
(sumber: Media Indonesia) |
Abstract: This article discusses nurcholish
madjid's view of religious pluralism in the context of Indonesianness. In the
discussion of this article, researchers found several important points that can
be the basis for thinking for everyone to internalize themselves in
understanding the concept of plurality of the Indonesian state. The first
concept is religious pluralism. Indonesia is a plural country in various
aspects of life. One is religious pluralism. Through this concept of religious
pluralism everyone can further understand the meaning of the presence of
religion as a supporter of unity. Second is the value of tolerance. Awareness
of the importance of tolerance provides a positive attitude in accepting
differences. All three concepts are multicultural. Multicultural education for
the whole nation in inhabiting this country, it is hoped, so that differences
are not a separator but a unifier. And finally the concept of Nurcholish
Madjid. In the discussion found two core concepts of religious pluralism
thinking, firstly Islamic universalism and inclusive theology. Through both
concepts everyone can understand religious pluralism as a uniting uniqueness. In
this article research, the author uses a descriptive analysis method that is
dotted with the analysis of texts in articles in online journals, books and
articles in journals.
Keywords:
religious pluralism, tolerance, multiculturalism, Indonesia and nurcholisd
madjid
Abstrak: Artikel ini membahas mengenai pandangan
nurcholish madjid tentang pluralisme agama dalam konteks keindonesiaan. Dalam
pembahasan artikel ini peneliti menemukan beberapa poin penting yang dapat
menjadi landasan berpikir bagi setiap orang untuk menginternalisasikan diri
dalam pemahaman konsep pluralitas negara Indonesia. Konsep pertama adalah
pluralisme agama. Indonesia adalah negara yang plural dari berbagai segi bidang
kehidupan. Salah satunya adalah pluralisme agama. Melalui konsep pluralisme
agama ini setiap orang dapat memahami lebih jauh arti kehadiran agama sebagai
pendukung kesatuan. Kedua adalah nilai toleransi. Kesadaran pada pentingnya
toleransi memberikan sikap positif dalam menerima perbedaan. Ketiga konsep
multikultural. Pendidikan multikultural bagi segenap bangsa dalam mendiami
negara ini, sangatlah diharapkan, agar perbedaan bukan menjadi pemisah melainkan
pemersatu. Dan terakhir konsep Nurcholish Madjid. Dalam pembahasan ditemukan
dua konsep inti tentang pemikiran pluralisme agama, pertama universalisme Islam
dan teologi inklusif. Melalui kedua konsep setiap orang dapat memahami
pluralisme agama sebagai sebuah keunikkan yang menyatukan. Dalam penelitian
artikel ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif yang bertitik tolak
pada analisis teks-teks dalam artikel dalam jurnal-jurnal online, buku-buku dan artikel-artikel dalam jurnal.
Kata kunci: pluralisme agama, toleransi, multikultural, Indonesia dan nurcholisd madjid
PENDAHULUAN
Indonesia
adalah negara yang mempunyai banyak keberagaman didalamnya. Keberagaman itu
tertampak jelas dalam suku, agama, budaya, bahasa, etnis dan ras. Hal ini tidak
bisa dipungkiri bahwa realitas keindonesiaan adalah realitas yang plural.
Dilihat dari sisi geografis, Indonesia merupakan negara kepuluan yang terdiri
dari berbagai pulau. Terbentang dari Sabang sampai Merauke berbagai macam
budaya, adat, bahasa, agama, etnis dan ras ada didalamnya. (Atmaja, 2020). Kesatuan pada segala
macam kemajemukan Bangsa Indonesia tertuang dalam semboyan pancasila sebagai
dasar negara, yakni Bhineka Tunggal Ika
yang berarti berbeda-beda tetap satu. Syaiful Arif dalam bukunya berjudul Islam, pancasila dan derikalisasi
menulis bahwa untuk menguatkan konteks keindonesiaan yang plural ini, butuh
penguatan Pancasila. Dia menjelaskan ada dua alasan mengapa kerapuhan hubungan
agama dan negara serta hubungan Islam dan Pancasila. Pertama, Pancasila hanya disosialiasikan sebagai dasar negara bukan
pandangan hidup yang bersifat religius, bahkan islami. Kedua, penghayatan nilai-nlai pancasila yang masih lemah. Atas
dasar dua kerapuhan di atas Syaiful Arif menegaskan pentingnya penguatan Pancasila
sebagai pandangan hidup yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh
komponen-komponen masyarakat Indonesia. Dia juga menegaskan bahwa penguatan
dilakukan karena, mengingat pemerintah belum sepenuhnya memaksimalkan pedoman Pancasila
sebagai jembatan persatuan yang kuat dan kokoh. (Arif, 2018).
Kemajemukan
Indonesia bukan realitas yang harus dihindari melainkan suatu realitas yang
patut dibanggakan atau disyukuri. Setiap orang perlu membangun kesadaran dalam
diri untuk melihat dan menyadari pluralitas agama ini sebagai bagian dari
kesatuan Indonesia yang memberi warna tersendiri bagi proses hidup berbangsa
dan bernegara. Dalam buku Karya Lengkap
Nurcholish Madjid Keislaman, Keindonesiaan
dan Kemodernan, disana dijelaskan banyak hal bagaimana menanggapi realitas
plural dengan kondisi pemikiran yang inkusif. Stinly Been sebagaimana yang
dikutip oleh Budi, menjelaskan ada 5 hal penting mengenai definisi nasionalisme.
Pertama, semangat ketatan kepada
suatu bangsa atau semacam patriotisme. Kedua,
menunjukkan sikap nasionalisme dalam menjaga keutuhan politik bangsa yang
bijaksana dan bersih. Ketiga,
menunjukkan sikap peduli pada nilai-nilai bangsa dan kebudayaan. Keempat, menegakkan dan mengamalkan
doktrin kebudayaan sebagai bukti mencintai nila-nilai kebudayaan. Dan kelima turut berpartisipas secara aktif
dalam setiap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kriteria
kesanggupan dalam diri. (Nur et al.,
1986). Melalui konsep di atas dapat
dipahami bahwa realitas plural adalah sesuatu realitas yang unik, dan dari
keunikkan itu kita belajar untuk saling memahami, saling menerima satu dan
lain.
Namun, pada
kenyataannya masih terjadi hal-hal yang tidak mendukung keutuhan bangsa ini
karena masih saja adanya sikap egoisme yang kuat dalam diri, sikap salah
menafsir makna pluralisme sebagai keutuhan majemuk suatu bangsa yang kaya dari
berbagai unsur-unsur kehidupan. Dengan demikian, orang bisa terjerumus sikap radikalisme
atau fanatisme. Ada beberapa hal yang dapat menjadi ancaman bagi kesatuan
bangsa ini. Pertama, konfiik
fundamentalisme agama, konflik kemanusiaan, konflik politik indentitas, sikap eksklusif
terhadap agama, yang hanya mengganggap agamanya sebagai jalan satu-satunya
keselamatan. Dari beberapa konflik di atas tersebut dapat mengakibatkan
kehancuran pada nilai-nilai kesatuan bangsa dan menimbulkan sikap saling curiga satu dengan
yang lain.(Widiat Moko, 2017). Tendensi pada kebenaran absolut dalam sebuah
ajaran agama dapat mengakibatkan suatu penghayatan yang salah dan buta pada ajaran
tersebut. Hal inilah yang disebut sebagai radikalisme agama.
Daven menjelaskan bahwa islamisme radikal mempunyai ciri-ciri ideologi secular lainnya diantaranya. Pertama, keyakinan memiliki dan menawarkan satu-satunya kebenaran. Kedua, adanya pandangan bahwa hanya kaum elite yang bisa memahami ajaran tersebut dan dituntut untuk menjaga kemurniannya. Ketiga, adanya sikap kekuasaan dalam diri untuk memimpin secara tidak adil dan benar. Dari ketiga pandangan tersebut dapat diapahami bahwa terjadinya radikalisme terhadap sebuah agama karena adanya sikap menerjehmahkan ajaran agama secara mutlak kebenarannya yang tidak bisa dibantahkan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Daven, bahwa problem utama terkait dengan ideologi islamisme radikal terletak pada konsep pemikiran kaum elite agama yang menganggap kemutlakan kebenaran Allah dalam ajarannya sebagai sumber kebenaran yang mutlak. (Daven, 2018). Sementara itu, dalam kalangan Kristen terjadinya konflik agama karena sikap eksklusif dalam diri para pemeluk yang tidak mau menerima orang lain, mengganggap ajaran paling benar. Misalnya terjadi konflik Kristen dan Islam di Ambon. Konflik tersebut dipicu karena adanya perbedaan dalam cara pandang mereka menyatakan kepercayaan kepada Tuhan. (Jehalus, 2011).
Melalui konsep
di atas dalam konteks Indonesia sendiri adalah negara yang majemuk.
Kemajemukkan Indonesia ini terlihat jelas dalam semboyan pancasila sendiri
yakni Bhineka Tunggal Ika. Yang
berarti berbeda-beda tetap satu. Pluralitas Indonesia terlihat dalam berbagai
bentuk unsur kehidupan misalnya agama, suku, ras, etnis dan budaya. Untuk
menguatkan segala bentuk kemajemukan itu kebijakan yang diambil adalah
menerapkan sikap ideologi pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Toleransi adalah
jawaban yang paling menguatkan kepada setiap kita untuk memahami konteks
pluralisme. Inklusivitas dalam kehidupan beragama adalah salah satu aspek yang
paling penting dalam masyarakat yang paling pluralisme.
Salah
satu tokoh penting dalam Islam adalah Nurcholish Madjid atau biasanya dikenal
sebagai Cak Nur. Beliua mempunyai konsep yang sangat mempengaruhi ajaran Islam di
masa sekarang ini. Salah satu pemikirannya yang popular bagi perkembangan Islam
adalah konsep Teologi Inklusif. Dan masih banyak lagi pemikirannya yang lain. Dalam
artikel ini membahas Konsep Pandangan
Pluralisme Agama Menurut Nurcholish Madjid Dalam Konteks Keindonesiaan. Analisis
ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan analisis teks-teks artikel
dalam jurnal-jurnal online dan
buku-buku yang membahas mengenai konsep pluralisme agama serta nilai-nilai yang
terkandung didalamya.
BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
Nurcholish
Madjid adalah seorang tokoh agama Islam yang sangat terkemuka. Melalui
karya-karya telah merubah konsep berpikir manusia untuk mempunyai sikap
inklusif terhadap agama yang lain. Nurcholish Madjid sendiri mempunyai sapaan
khas yakni Cak Nur. Beliau juga seorang Begawan pemikir Islam kontemporer Indonesia.
Beliua dilahirkan di Jombang, 17 Maret 1939. Beliau menderita penyakit Sirosis hati sehingga membuatnya harus
mengakhiri hidupnya pada 29 Agustus 2005 di Jakarta. Nurcholis Madjid lahir dan
tumbuh berkembang di lingkungan pesantren. Dalam kehidupan keluarga ayahnya
seorang ulama terpandang dan juga tokoh masyumi bernama KH Abdul Madjid dan
ibunya bernama Fatonah seorang putri Kiai Abdullah Sadjad dari Kediri. Cak Nur menjalani
masa pendidikannya di Pesantren Rojoso, Jombang, kemudian melanjutkan ke Pesantren
Gontor. Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat dasar, beliua melanjutkan
di tingkat tinggi yakni di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam di IAIN Syarif
Hidayatulah Jakarta pada tahun 1961-1968. Setelah itu beliau juga melanjutkan
pendidikannya untuk mengambil studi doktoral di bidang Ilmu Politik dan Filsafat
Islam di Universutas CHICAGO tahun 1978-1984. Cak Nur dikenal sebagai seorang
tokoh nasional yang sangat berkontribusi pemikirannya untuk pembaharuan
konsep-konsep hubungan antara agama dan kehidupan masyarakat modern. Buah-buah
pemikirannya masih membekas dan menjadi panutan untuk setiap orang menelaah dan
meganalisis demi kemajuan kehidupan ini, baik di bidang akademis maupun
kehidupan masyarakat sendiri.(Ahmad, 2021)
Cak
Nur juga adalah seorang yang mempunyai kemampuan intelektual yang cakap dan
bagus. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Budi, karier intelektual, sebagai
seorang pemikir Muslim, dimulai pada masa di IAIN di Jakarta khususnya ketika
menjadi ketua umum PB HMI selama dua periode pada 1966-1968 dan 1969-1971.
Bukan hanya itu saja Cak Nur juga memperoleh banyak kepemimpin misalnya menjadi
presiden pertama PEMIAT dan wakil Sekjen IIFSO 1969-1971. (Rachman, 2007)
Melalui beberapa tugas penting yang diemban oleh Cak Nur dapat dilihat bagaimana beliau teguh, setia dan rendah hati untuk menerima semua tugas kepemimpinan itu. Sebagai pemimpin organisasi perkumpulan mahasiswa Islam, Cak Nur dalam kegiatan-kegiatan kebersamaan itu mulai menumbuhkan eksistensinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Pada masa itu beliau sempat menulis sebuah karangan yang sangat bagus dengan judul “Modernisasi Ialah Rasionalisasi, Bukan Weternisasi”. Artikelnya ini mengundang banyak orang untuk membacanya terutama di bicarakan dalam kalangan HMI seluruh Indonesia. Setelah itu pada tahun 1969 Cak Nur menulis sebuah buku sebagai pedoman ideologis HMI yang berjudul nilai-nilai dasar perjuangan. Buku ini sangat penting dikalangan hmi sehingga sampai sekarang masih digunakan sebagai buku dasar keislaman HMI. Ada sebuah buku kecil yang ditulis oleh Cak Nur sebagai pengembangan dari artikelnya pada awalnya dipakai sebagai bahan tranining kepemimpinan HMI yakni Dasar-dasar islamisme. (Rachman, 2007).
PLURALISME AGAMA MENURUT NURCHOLISH
MADJID
Salah
satu karya buku yang sangat menarik dan kaya makna serta refleksi mendalam
mengenai pluralisme adalah buku Setelah pluralisme
Apa lagi? Membaca Cak Nur setelah 15 tahun kepergiannya. Pada buku ini
secara keseluruhan membahas mengenai pluralisme. Pada bagian Bab ke 4 secara
khusus membahasa mengenai Pluralisme
dalam Pendekatan Agama. Pada bagian ini menjelaskan bahwa pluralisme atau
sering disebut juga dengan istilah pluralisme teologis dapat diartikan sebagai
jalan keselamatan yang sah menuju Tuhan. Artinya bahwa pluralisme memberikan
jawaban kepada setiap orang yang menganut agama untuk selalu melihat hal
tersebut sebagai dasar kebaikan, dasar keutamaan hidup dalam berkeyakinan. Oleh
karena itu, sebagaimana dijelaskan Ahmad bahwa bagi kalangan pluralis
senantiasa mencari atau menggagas kesamaan dalam tubuh agama daripada mempersoalkan
perbedaaan-perbedaan.(Ahmad, 2021)
Jhon Hick seorang Teolog Pluralis Kristen
menjelaskasn dengan pemikiran yang sangat bagus, “keberagaman yang nyata di
antara agama-agama menjadi terangkum dalam lautan kesamaan yang tenang:
perbedaan tidak terlalu penting. Karena mereka tidak lain merupakan cerminan
budaya yang bervariasi dari esensi umum yang sama bersinar seperti berlian yang
tersembunyi dalam hati setiap agama. (Ahmad, 2021). Artinya melalui
konsep ungkapan di atas dapat dipahami bahwa dalam kemajemukan, dalam satu
negara hal yang perlu untuk dijunjung adalah kesatuan sebagai ungkapan untuk
menyikapi perbedaan bukan menjadikan perbedaan sebagai penghalang. Kesadaran
tentang esensi keimanan dan orientasi kerjasama dengan orang lain dengan
kedudukan setara dalam pluralisme menjadikannya sebagai pendekatan yang dapat
disuguhkan dalam dialog-dialog kemasyarakatan.(Ahmad, 2021)
Artinya
jembatan untuk menerima yang lain adalah dengan berdialog secara terbuka.
Dialog yang terbuka memungkinkan setiap orang untuk saling memahami
perbedaannya, dan melihat perbedaan sebagai keunikkan serta menjadikan
perbedaan kekuatan. Kekuatan untuk saling menerima satu dengan yang lain. Banyak
kalangan agamawan yang kemudian menilai pluralisme mampu menjembatani
jurang-jurang pemisah yang selama ini mengintari masing-masing kelompok. (Ahmad, 2021)
Dari
konsep di atas dapat ditemukan beberapa point inti yang menjadi kuncinya. Pertama, dijelaskan bahwa tidak ada 1
kelompok satau agama pun yang saat ini benar-benar terisolasi dari interaksi
dengan kelompok atau agama lainnya sehingga bersikap eksklusif dapat dinilai
sebagai sikap jumud dan ketidakmampuan meilhat keragaman realitas yang berujung
menjadi sikap acuh atau tak peduli kepada yang lain. Kedua, pluralisme adalah kelanjutan dari pendekatan inklusivisme
yang membuka ruang untuk dialog antar agama. Ketiga, dengan pluralisme, dialog antar agama didorong pada 2 hal
pokok kesadaran tentang esensi keimanan, orang lain dan orientasi kepada
kerjasama dalam persoalan kemanusiaan bersama. Keempat, menuurt Cak Nur sendiri relativisme internal sebagai
bagian dalam pluralisme adalah suatu pandagan yang menjadi syarat pertama dan
utama berdasarkan iman. Kelima, pluralisme lebih menekankan titik temu antar
agama. Untuk mencapai itu, perlu usaha pemaknaan ulang atas istilah-istilah
keagamaan.(Ahmad, 2021)
UNIVERSALISME ISLAM
Dalam
buku Karya Lengap Nurcholish Madjid
Tentang Islam, Doktrin dan peradaban, mengulas tentang satu pokok penting
yakni Universalisme Islam dan Kedudukan Bahasa Arab. Namun, pada
bagian ini yang menjadi titik perhatian adalah Universalisme Islam. Pokok penting dalam universalisme Islam adalah
agama Islam yang universal. Artinya ajaran pada agama Islam tidak hanya
ditujukan pada kaum Islam saja tetapi pada semua orang beragama dengan tujuan
untuk selalu berpasrah pada Tuhan. Bukan memaksa melainkan memberikan pemahaman
secara universal. Sebagaiman dijelaskan dalam buku tersebut Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan Allah datang untuk mewartakan kebenaran Allah untuk umat manusia.
Sehingga, agama Islam tidak hanya bergantung pada, satu tempat, satu bahasa,
atau satu masa dan kelompok manusia.(Nur et al.,
1986)
“Kebajikan itu bukanlah bahwa kamu
menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat;
melainkan kebajikan itu ialah (sikap) seseorang yang beriman kepada
Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci, dan para Nabi; dan (sikap)
orang yang mendermakan hartanya betapa pun ia mencintai hartanya itu — kepada
sanak-keluarga, anakanak yatim, kaum miskin, orang terlantar dalam perjalanan,
para peminta-minta, dan orang-orang yang terbelenggu (oleh perbudakan); dan
(sikap) orang yang menegakkan salat dan mengeluarkan zakat; serta (sikap)
mereka yang menepati janji jika mereka mengikat janji, serta mereka yang tabah
dalam keadaan susah dan menderita, serta dalam saat kekurangan.” (Q 2:177).
(Nur et al.,
1986)
Dari
kutipan Al-Quran di atas dapat
dipahami bahwa setiap orang yang selalu takwa kepada ajaran kebaikan dari Allah
bisa menerima kebijaksaan hidup dan pahala yang berlimpah.
Nuchorlish Madjid
sendiri mengatakan bahwa universalisme Islam memberi ruang kepada setiap orang
secara khusus kaum Muslim untuk memperdalam arti Islam bukan sekedar pada pokok
ajaran yang tanpa kepedulian terhadap yang lain, melainkan saling mempedulikan
satu sama lain. Hal ini dilihat dari konsep mengenai kepasrahan kepada tuhan.
Dalam artian tuhan tidak hanya melihat pada satu ajaran tetapi semua adalah
benar ketika segala bentuk tindakan adalah bersumber darinya.(Masalah, 1993).
Keyakinan
pada agama Islam secara universal ini memberikan konsep yang lebih inklusif.
Artinya dalam ajaran Islam memberi ruang bagi setiap orang untuk memetik makna
yang ada di dalamnya sebagai pedoman hidup. Ajaran dalam agama Islam tidak
membatasi siapa saja untuk memaknainya tetapi dalam taraf untuk menumbuhkan
kebaikan bersama yang bersumber dari ajaran Allah sendiri. (Masalah, 1993). Melalui konsep
tersebut setiap orang dapat memahami bahwa universalisme agama memberi acuan
kepada setiap penganut Islam untuk memahaminya lebih inkusif tehadap konsep
keindonesiaan.
Universalisme Islam
sendiri memberi ruang kepada setiap penganut Islam atau siapa saja bisa mengamalkan
nilai-nilai penting dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Hal ini
sesuai konteks kemajuan peradaban yang tidak bisa dielak ini. Artinya bahwa
ajaran Islam lebih terbuka dan mengambil bagian juga dalam usaha pengembangan
kehidupan modern ini. (Masalah, 1993).
Namun, dalam
tubuh ajaran agama sendiri mempunyai perbedaan secara teologisnya. Perbedaan
tersebut hanya sebagai bentuk penamaan dari agama Islam dan Kristen atau agama
yang lain terhadap konsep Allah. Intinya bahwa semua ajaran baik Islam maupun
ajaran-ajaran yang lain mempunyai peran penting dalam mengusahakan kemajuan
peradaban manusia, yang lebih bijaksana, dewasa dan inklusif. (Armayanto, 2014)
Dari konsep di atas memberikan arah pemikiran bahwa universalisme Islam menuntut bahwa setiap ajaran Islam perlu ada keterbukaan untuk saling memahami satu dengan lain dalam konteks satu negara yang majemuk atau plural. Namun, dalam unsur ajaran tersebut tidak melepaskan nilai hakiki yang ada di dalam ajaran tersebut. Artinya bahwa dalam setiap ajaran ada hal yang perlu dibedakan, tetapi berhadapan dengan konteks plural, perlu adanya sikap saling terbuka dan menerima perbedaan. Pada prinsipnya bahwa universalisme Islam adalah tanggapan lebih inklusif atau terbuka terhadap yang lain.
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
Dalam buku Setelah pluralisme, Apa lagi? Membaca Cak
Nur setelah 15 tahun kepergiannya menjelaskan bahwa pendidikan
multikuraltura adalah sebuah pengembangan seluruh potensi manusia untuk
menghargai keberagaman dan heteronitas sebagai konsekuensi dari keberagaman
yang plural (suku, bahasa, budaya, etnis, agama dan lain sebagainya). Atas
dasar ini dapat diterangkan bahwa pendidikan multikultural sangatlah penting
bagi setiap orang agar dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
memahami perbedaan satu dengan yang lain. Pendidikan multikultural memberikan
ruang agar adanya sikap keterbukaan menerima perbedaan. (Ahmad, 2021)
Hal penting
untuk membina pluralisme adalah adanya pendidikan multikultural. Nurcholis Madjid
lebih akrab dengan term pluralisme. Namun multikultural memberikan suatu
wawasan menarik untuk ditelusuri sebagai jawaban untuk membina sikap saling
menerima dalam konteks kemajemukan atau pluralitas. Jaya dan siswanto,
menjelaskan bahwa ada tujuh penjabaran nilai-nilai pendidikan multikultural. Pertama, nilai toleransi. Sikap
toleransi terhadap perbedaan menunjukkan kita dewasa dalam membangun kehidupan
keberagaman. Kedua, demokrasi.
Demkrasi yang dimaksudkan adalah terkait kebebasan untuk saling terbuka
menerima satu dengan yang lain. Ketiga,
keadilan. Keadilan di sini menjadi berarti ketika hak dan kewajiban setiap
orang dijalankan dengan baik. Artinya bahwa kemanusiaan yang menjadi landasan
utamanya. Keempat, kemanusiaan.
Kemanusiaan di sini adalah terkait dengan hak-hak asasi manusia yang perlu
ditegakkan. Kelima, kesamaan dejarat
atau egaliter. Semua orang membtuhkan kesetaraan serajat demi tercapainya
kehidupan yang harmonis, aman dan damai. Keenam,
persaudaraan. Persaudaraan ini menjadi berarti ketika selalu terbuka mata untuk
membantu, menolong dan peduli terhadap sesama. Dan yang terakhir adalah
Kearifan budaya local. Yang dimaksudkan dengan kearifan budaya local adalah
selalu melestarian dan mengembangkan budaya local sebagai identitas dan citra
anak bangsa yang berbudaya, yang tidak melupakan sejarah dan akar hidupnya (Jayana and Siswanto, 2022)
Multikulturalisme
adalah satu konsep pemahaman yang sangat bagus. Dalam konsep ini memuat
sejumlah pengertian yang dapat membantu konsep berpikir kita untuk memahami
perbedaan. Menurut Bhiku Parekh tentang multikulturalisme adalah keanekaragaman
yang dilekatkan secara kultural. Sebagaimana yang dikutip oleh Yosef Keladu
Koten ada tiga bentuk multikuturalisme. Pertama, keanekaragaman subkultural,
menunjukkan pada sekelompok orang yang menjalankan keyakinan yang berlainan
dengan praktik hidup pada umumnya. Kedua, multikuturalisme perspektif yang
berkaitan dengan sikap kritis terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai dari
budaya yang sudah ada. Ketiga, keanekaragaman komunal, yang dianggap sebagai
kesadaran komunitas akan identitas diri khas mereka dan dengan itu menjalakan
kenyakinan hidup yang berlainan. (Keladu, 2018)
Melalui
ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa konsep multikkultural membantu
setiap orang yang hidup di negara plural atau majemukan untuk saling membangun
kesadaran akan pentingnya toleransi dan solidaritas. Tidak ada cara lain lagi
selain, memahami perbedaan sebagai sebuah keunikan yang sangat menyatu dan
memberikan poin positif bagi sesama. Artinya bahwa konsep mengenai multikulturalisme
ini menuntut sebuah pemahaman yang lebih luas tentang inklusif yang
menginformasikan upaya kita, mengubah parameter debat kita dan mengeksplorasi
dasar-dasar umum yang menyatukan kita semua.
KONSEP TEOLOGI INKUSIF NURCHOLISH
MADJID
Hal
terpenting yang menjadi landansan pemikiran Nurcholish Madjid adalah konsep
mengenai inklusif. Dalam buku Teologi
Inklusif Cak Nur, teologi inklusif didasarkan pada konsep mengenai tafsiran
Al-Islam yang berarti sikap pasrah
kepada Tuhan. Hal ini memberikan ruang pemahaman yang lebih inklusif.
Sebagaimana Cak Nur menjelaskan bahwa kepasrahan kepada Tuhan menjadi pokok
utama semua agama yang benar. Dalam Word
View Al-Quran ditegaskan bahwa semua agama yang benar adalah Al-Islam, yakni sikap berserah diri
kehadirat Tuhan (QS.29:46). Atas dasar ini Cak Nur menegaskan bahwa agama yang
tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, baik seorang Muslim atau penganut Islam adalah
tidak benar. Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi pokok dasar Cak Nur mendasari
teologi inkusifnya. (Sukidi, 2001)
“Konsekuensi
secara teologis bahwa siapa pun di antara kita-baik sebagai orang Islam, Yahudi,
Kristen, maupun Shabi’’in-, yang
benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, serta berbuat kebaikan,
maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan (QS., 2:62 dan 5:69)”. Atas ungkapan
ini mau menegaskan bahwa konsep mengenai teologi inklusif Cak Nur ini
memberikan pemahaman bahwa ketika orang menjalankan ajaran agamanya dengan iman
dan penuh kepasrahan diri akan menerima berkat pahala di surga. Bukan
sebaliknya bersikap eksklusif kepada agama. (Sukidi, 2001)
Adapun
ungkapan yang sangat inklusif dari cak nur yaknia “Islam hanyalah jalan atau
sarana, menuju Tuhan sebagai tujuan akhir dalam hidup. Sementara jalan menuju Tuhan
amat lebar dan plural. Banyak pintu (jalan) menuju Tuhan” dari pernyataan Cak
Nur ini, memberikan sebuah tawaran menarik bagi refleksi dalam
mengaktualisasikan ajaran agama kita. Letak keimanan kita adalah penghayatan
ajaran agama dengan penyerahan diri kepada Tuhan dan mengamalkan setiap
nilai-nilai itu dalam hidup. (Sukidi, 2001)
Hadirnya
konsep teologi inkusif dari Cak Nur ini mau menerangkan konsep penghayatan
agama yang benar dan baik. Artinya menghilangkan dan mengikis sikap eksklusif
dalam beragama. Bahaya adanya sikap eksklusif dalam kehidupan pluralitas agama
akan menghilangkan nilai persatuan bangsa atau nilai kerukunan hidup beragama.
Munir Mulkam adalah seorang dosen IAIN “Sunan Kalijaga” menegaskan ada dua
penyebab munculnya titik rawan hubungan keberagaman. Pertama, adanya sikap tidak menerima konsep agama yang lain. Kedua, adanya sikap menutup diri
terhadap kelompk agama yang lain. Artinya tidak mau menerima kehadiran agama
lain karena menganggap ajaran adalah sebagai kebenaran mutlak. Secara sederhana
dipahami sikap eksklusif itu adalah sikap menutup diri dari yang lain. Dari
yang lain, yang dimaksudkan adalah umat beragama yang lain. (Sukidi, 2001)
Bom
Bali tahun 2002 adalah bukti dimana terjadinya adanya sikap eksklusifisme
beragama. Peristiwa tersebut menjadi perhatian penuh karena melalui peristiwa
itu menewaskan banyak orang sekitar 196 jiwa. Dan dalam sejarah barat bagi umat
Kristen terkenal dengan semboyan Extra
Ecclesiam Nula Salus artinya tidak ada keselaman di luar gereja. (Sopandi and Taofan, 2019)
Melalui contoh
di atas dapat dipahami bahwa kehancuran akan persatuan Indonesia atau
kemunduran nilai-nilai kebhinekaan diakibatkan sikap eksklusif dalam beragama.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan sikap eksklusif dalam diri perlunya ada
sikap inklusif dalam diri. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Cak Nur di
atas, artinya teologi inkusif sebagai jembatan baru untuk orang memahami lebih
dalam makna agama dan kepercayaan secara terbuka bagi sesama.
Atas
berbagai problem penghayatan ajaran agama yang buta, Cak Nur menghadirkan
sebuah teologi inklusif sebagai solusi yang sangat penting dan bermanfaat.
Teologi inklusif sangatlah berarti untuk kemajuan suatu negara yang plural,
peradaban suatu nagara plural terjalin
dengan baik dan benar apa bila adanya konsep inklusif atau keterbukaan untuk
menerima yang lain. (Suryadi, 2017).
Dengan berkaca
pada konsep ini dapat dipahami bahwa Cak Nur ingin mengubah pola pikir yang
ekslusif terhadap ajaran Islam sendiri. Artinya dengan pendasaran lebih terbuka
yakni teologi inklusif memberi ruang kepada sesama untuk bisa saling memahami
dari setiap ajaran tersebut. Hal inilah yang diharapkan oleh setiap orang dalam
kemajemukan Indonesia. Artinya konteks Indonesia yang plural ini posisi
lahirnya teologi inklusif sangatlah penting. Lahirnya teologi inklusif ini juga
mau menghilangkan sikap eksklusif bagi para pemeluk agama. Ketika seseorang
masuk dalam ruang lingkup eksklusif bisa melahirkan radikalisme agama atau
fanatisme agama dimana hanya melihat ajarannya, yang menjadi sumber
satu-satunya keselamatan.
KESIMPULAN
Pluralisme agama
adalah kenyataan yang dihadapi atau pun yang dialami dalam konteks
kemajemukkan, dalam satu negara. Dengan berlandas pada pemikiran Nurcholish
Madjid dapat dimaknai beberapa pemikirannya yang menjadi landasan berpikir
bijaksana, berpikir dewasa dalam realitas negara Indonesia. Pertama, adalah mengenai universalisme
Islam. Pokok dasar dalam konsep universalime Islam menurut Nurcholisd Madjid adalah
mengenai Islam dipandangan sebagai agama universal. Maksud ajaran Islam sebagai
agama universal adalah untuk memahami keterbukaan dalam tubuh ajaran Islam
sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Cak Nur sendiri bahwa paradigma
universalisme agama ini adalah sebuah paradigma hidup universal menimbulkan
penerimaan keterbukaan terhadap peradaban.(Sopandi and Taofan, 2019). Artinya konsep
mengenai universalisme Islam menekankan pentingnya keterlibatan nilai-nilai
dalam ajaran Islam sebagai keterbukaan terhadap peradaban dunia. Atau dipahami
sebagai konsep dalam ajaran Islam turut serta dalam membangun dunia dalam
konteks plural.
Konsep kedua
adalah mengenai teologi inkusif. Sebagaimana telah dijelaskan oleh cak nur
bahwa konsep teologi inkusif konsep dimana menerangkan bahwa keterbukaan ajaran
agama untuk menerima yang lain. Artinya melihat agama sendiri bukan sebagai
yang satu-satunya jalan keselamatan. Keterbukaan kepada agama ini juga memberi
ruang bagi setiap agama lain untuk saling bersolider. Sehingga fanatisme dan
radikalisme agama dapat dihilangkan dalam diri para pemeluk agama. Cak nur
membangun konsep ini dengan dilatarbelakangi oleh konsep dimana adanya sikap eksklusif
agama. Ketertutupan agama terhadap yang lain. Adanya teologi inkusif ini pula
memberi ruang kepada para pemeluk agama yang lain untuk saling memahami satu
dengan yang lain.
Konsep yang
ketiga adalah sikap toleransi dan pendidikan multikultural. Sikap toleransi
memberi ruang kepada sesama untuk bagaimana memahami perbedaan sebagai satu
keunikkan yang menyatukan. Hal ini juga terdapat dalam pendidikan
multikultural. Melalui pendidikan multikultural orang dapat belajar memahami
nilai-nilai yang ada dalam setiap budaya, agama dan bidang-bidang kehidupan
yang lainnya. Oleh karena ada itu beberapa saran dari penulis
SARAN
Pertama,
adalah menumbuhkan sikap kesadaran pada keterbukaan untuk saling menerima satu
dengan yang lain sebagai satu kekeluargaan besar dalam perbedaan. Memang tidak
mudah untuk menerima satu dengan yang lain tetapi melalui kesadaran bahwa
pluralitas Indonesia adalah kenyataan yang dihadapi, dengan demikian sikap keterbukaan
ini perlu dibangun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, menerapkan sikap toleransi dan
penanaman pendidikan multikultural bagi setiap warga masyarakat. Hal ini bisa
dilakukan pada jenjang pendidikan. Dimana dalam proses pendidikan dijelaskan
mengenai toleransi dan pendidikan multikulturan itu sangatlah penting. Dan
bukan bukan hanya teori belaka yang diterapkan melainkan melalui praktek hidup
atau pengaplikasian dalam setiap ranah kehidupan.Ketiga, penanaman nilai-nilai agama dan sosialisasi nilai-nilai
agama yang baik kepada setiap orang untuk memahami lebih dalam tentang
nilai-nilai agama tersebut. Hal ini bisa dilakukan pada saat pembinaan generasi
muda Indonesia agar menjadi pemuda yang mempunyai karakter dan mental yang baik
terhadap pula. Keempat, peran orang
tua dalam membina dan mendidik anak. Artinya orang tua perlu membina dan
mendidik anak-anak agar mempunyai pemahaman yang baik terhadap umat beragama
lain. Hal ini bisa dilakukan dalam mengajarkan anak untuk membangun relasi yang
harmonis dengan sesama yang berbeda agama, suku, etnis dan ras. Kelima, proses internalisasi nilai-nilai
dan ajaran moral dalam dunia pendidikan. Peran para pendidik di lingkungan
pendidikan juga sangat perlu dan penting. Dalam kebiasaan proses mengajar dan
mendidik di sekolah para pendidik seharusnya memberikan teladan serta
menujukkan sikap toleransi yang baik antar sesama yang berbeda agama,
keyakinan, suku, budaya, etnis dan ras. Hal ini bisa dilakukan dalam menerapkan
konsep nilai-nilai pancasila dalam mata pelajakan pancasila, budi pekerti dan
mata pelajaran yang lain. Serta memberikan contoh aplikatif. Misalnya membantu
teman-teman yang berbeda agama atau keyakinan yang menderita akibat bencana
atau musibah.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, Syaiful. 2018. Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi, meneguhkan
nilai keindonesiaan. Jakarta: Penerbit Elex Media Kompulindo.
Sukidi. 2001. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
Jegalus,
norbertus. 2011. Membangun kerukunan
beragama dari ko-eksistensi sampai pro-eksistensi. Maumere: Penerbit
Ledalero
Ranchman,
munawar bhudy. 2011. Membaca Nurcholish
Madjid Islam Dan Pluralisme. Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad
Demokrasi. Edisi digital (pdf)
Koten, keladu
Yosef. 2018. “Kampaye Strategis Melawan Radikalisme: Merancang Model Pendidikan
Multikulkural” Maumere: Jurnal Ledalero
Val. 17. No.1.
Daven, Matias.
2018. “Memahami Pemikiran Ideologis Dalam Islamisme Radikal” Maumere: Jurnal Ledalero Val. 17. No.1.
Ahmad, F. (2021) ‘Setelah Pluralisme, Apa Lagi?
Membaca Cak Nur setelah 15 Tahun Kepergiannya’.
Armayanto, H. (2014)
‘Problem Pluralisme Agama’, Tsaqafah, 10(2), p. 325. Available at:
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v10i2.191.
Atmaja, A.K. (2020)
‘Pluralisme Nurcholis Madjid Dan Relevansinya Terhadap Problem Dakwah
Kontemporer’, Jurnal Dakwah Risalah, 31(1), p. 107. Available at:
https://doi.org/10.24014/jdr.v31i1.9441.
Jayana, T.A. and
Siswanto, S. (2022) ‘Penjabaran Nilai-Nilai Pluralisme Perspektif Nurcholish
Madjid dalam Konteks Pendidikan Islam Multikultural’, Tarbawiyah : Jurnal
Ilmiah Pendidikan, 6(1), pp. 1–15. Available at:
https://doi.org/10.32332/tarbawiyah.v6i1.4864.
Masalah, A.L.B. (1993)
‘“ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pluralisme di Indonesia”.’
Nur, C. et al.
(1986) ‘Karya Lengkap Nurcholish Madjid’, (Icmi), pp. 281–282.
Setiawan, J. (2019)
‘Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pluralisme Agama Dalam Konteks
Keindonesiaan’, Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 5(1), pp. 21–38.
Available at:
https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/zawiyah/article/view/1335.
Sopandi, D.A. and
Taofan, M. (2019) ‘Konsep Teologi Inklusif Nurcholish Madjid’, Jaqfi: Jurnal
Aqidah dan Filsafat Islam, 4(2), pp. 58–92. Available at:
https://doi.org/10.15575/jaqfi.v4i2.9399.
Suryadi (2017) ‘Teologi
Inklusif Nurcholish Madjid ( Pemikiran Tentang Pluralisme Dan Liberalisme Agama)’, Mantiq, 2, pp. 59–66.
Widiat Moko, C. (2017)
‘Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid’, Jurnal Intelektualita,
16(1), pp. 61–78. Available at: https://core.ac.uk/download/pdf/267946574.pdf.
0 Comments