CERPEN BD-CATILA: KISAH YANG HARUS SELESAI

Gambar pixabay.com

Catila; Kisah yang Harus Selesai

Jikalau benar jalan terakhir dari sebuah pertemuan adalah perpisahan. Mengapa kita diciptakan untuk bertemu. Jikalau pertemuan itu sebuah takdir, kita boleh sama-sama menyalahkan takdir. Mengapa harus kita bertemu. Bukankah kita sama-sama sadar bahwa pertemuan selalu diintimidasi oleh perpisahan.  Ada baiknya kita berpisah dengan cara yang terbaik. Tetapi sama saja. Setiap kali ada perpisahan pasti ada luka. Membungkus hati sedemikian mungkin agar tidak diketahui mata. Sebab jalan pintas dari luka adalah air mata.

Lima tahun yang lalu tepatnya tanggal empat Juni, kita pertama kali bertemu. Bertemu sebagai orang yang baru berkenalan. Sama-sama melempar senyum sambil berlangkah menghitung jarak, sampai kita tidak sadar kita sama-sama berada di seberang jalan. Tanganmu terus menggenggam erat, seakan engkau tak mau jauh-jauh dariku. Engkau pura-pura menghitung kendaraan yang lewat dan ekor matamu terus melirik ke arahku. Waktu terus bergegas, persimpangan jalan menjadi kisah sampai nanti. Entah, engkau masih seperti ini ataukah engkau turut berubah sesuai penambahan umurmu.

***

“Catila, coba engkau lihat ke sana (Sambil menunjuk motor tua yang laju begitu kencang)” Catila mulai bercanda dengan tangan mungilnya mulai memelukku. “Kaka Vino, bisa pelor seperti itu?” Pertanyaan itu memacu sarafku. Aku tidak mau terlihat cupu di hadapannya. “Nanti kita buat begitu berdua, tetapi sebelum itu kita lebih dulu kali kubur kita masing-masing,” kataku sambil mengelus kepalanya. Sore itu, semesta begitu adem. Tak seperti biasanya, udaranya juga sangat sejuk. Mungkin ini cara Tuhan menyatukan kami.

 Kisah itu tidak bertahan lama. Saat Catila lebih memilih kuliah di tanah Jawa. “Wajar saja, ia anak juragan cengkeh yang harta melimpah, mau kuliah apa dan di mana saja pasti bisa,” gumamku. Akhirnya kami berpisah. Ia mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliah sedangkan aku sibuk dengan kebun kopi peninggalan ayah. Sejak ayah pergi, tulang punggung keluarga menjadi tanggung jawabku. Apalagi penyakit ibu mulai kambuh sedangkan kedua adikku masih sangat ranum untuk mengenal dunia. Kedua adikku masih berusia 3 tahun, sedangkan aku berusia 25 tahun. Jarak yang begitu jauh membuat harapan untuk masa depan ada di tanganku.

***

Kami sudah bertahun-tahun dipisahkan oleh jarak, sehingga membuat kami menjadi orang asing yang sudah lupa bagaimana memeluk senyum. Dua belas Oktober, kami dipersatukan kembali di taman kota. Masih dengan suasana yang sama, tetapi ada sedikit berbeda dari perjumpaan yang pertama. Taman yang begitu indah serta ada sekian banyak orang yang lalu-lalang di hadapanku. Yang membuatku sakit hati melihat sepasang kekasih yang duduk di bawah pohon Ansono tua, mereka kelihatan begitu santai. Rasa-rasanya lelaki itu pandai bermain peran. Tangan dan kata-katanya seakan punya mistis magis. Wanita itu jadi nyaman, tanpa gerak yang ada hanya suara tawanya saja.

Sore itu kami sama-sama beradu janji mencari temu setelah bertahun-tahun harus berpisah. Berkali-kali berjumpa secara virtual tetapi rasanya tak puas. Kami bertemu disaksikan oleh sekian juta pasang mata. ini pertemuan yang terbaik sejak kita saling tatap lewat Videocall. Suaramu yang serak-serak basah merambat sampai ke indraku. Suara yang dulu aku sering dengar sampai ketiduran di ruang tamu. Kini aku mendengarnya secara langsung “Kak, sudah dari tadi? (suara Catila dari arah Timur)”. Aku menoleh ke arahnya dan ia pun tersenyum lebar. “Menatapmu adalah kerinduan yang paling tinggi. Sebab lesung pipimu memancarkan sekian juta panorama keindahan,” candaku.

***

Masih ingatkah engkau, saat kita duduk bersama tiba-tiba kawan dekatmu datang mengagetkan kita yang sedang berpeluk. Jujur, aku malu. Bagaimana aku harus memelukmu di hadapan sahabatmu, tetapi demi cinta dan rindu aku rela. Engkau cukup pandai memutilasikan sekujur saraf sadarku sehingga aku tidak malu dan canggung. Engkau hebat. Engkau orang pertama yang merubah cara pandangku tentang wanita. Aku yang dulu sering mengklaim wanita sebagai racun yang dapat mematikan hati. Kini aku mulai sadar, wanita adalah eden surga yang menumbuhkan hidupku.

Semuanya telah sirna. Kisah dan cerita yang penuh romantis harus berakhir dengan luka. Pertemuan yang indah harus dibayar dengan cap-cap yang tidak baik. Engkau wanita bangsat. Hanya suka dan pandai merawat pertemuan tetapi tak sanggup menghidupkan kisah. Betapa kejam dan sadisnya engkau. Rasa luka dan air mata tidak pernah engkau peduli. Engkau hanya ingin menang dan hidup bersama egomu.

Lagi-lagi, engkau suka menanam rindu, tetapi engkau tak mampu menuainya. Engkau payah dan konyol. Mungkin ceritanya tidak seperti ini, jika engkau pergi dengan cara yang baik. Berpamitan layaknya kita sudah berkenalan sejak lama, tetapi engkau pergi dengan caramu. Pergi dengan meninggalkan luka dan air mata. Pergi meninggalkan aku yang masih ingin membubung rindu. Kita bertemu dan menjadi sejoli belia empat Juni, dan kita akhirinya pada dua belas Oktober. Mungkin engkau mau menggenapkan lirik lagu dari Meggy Z, itu payah. Engkau sudah merancangnya sedemikian rupa. Pukul delapan malam aku melihat engkau berdua dengan yang lain.

Oleh; BD, nama pena dari Rian Tap. Saat ini tinggal di Pav Stanislaus dan ia juga Admin dari media nerapost.eu.org.

Post a Comment

0 Comments