(Sumber gambar: pxfuel.com)
Sore-sore aku tak punya lagi keringat
tapi seperti yang tak sepatutnya hilang adalah
ingatan,
tertunduk tubuh sehabis didera sesal teramat
asal saja temu tak padam di bawah kayu salib.
Ramalan-ramalan tepat menjemput aku dan ibu-Mu
sesekali kami menyaksikan di jalanan
seribu siksa, berulang-ulang pembunuhan
pedang itu memang tragis di penghujung air mata
tapi aku belajar diam dari ibu-Mu.
Di suatu hari yang mendung tanpa hujan sedikit pun,
kami berteduh di bawah kayu salib-Mu
dan kami melihat diriku yang terus menghilang pergi
tapi kudengar bisikan ibu-Mu:
“Nak,
pergimu hanyalah waktu yang berulang,
sedang
di bawah Salib ini aku menangis
sebab
aku kehilangan anak-anak.
mereka
pergi membunuh, mereka membenci,
lalu
siapa yang harus kutangisi?”
Ibu, di bawah Salib ini,
kusering pergi membunuh
aku malu sebab air mata-Mu jatuh dalam mohonku,
aku datang dengan tak sepantasnya:
“bersama
dengan Putera-Mu terkasih
aku
melantun sesal sebab aku ini rapuh”.
Ama Kole, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Saat ini penulis tinggal di Wisma St. Agustinus Ledalero.
0 Comments