Menggugat Hukum Kebiri Kimia dalam Terang Teori Falsifikasi Menurut Karl Popper || Opini Rio Ambasan

 


(sumber gambar: www.orami.co.id)

*Rio Ambasan

Pendahuluan

            Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 terkait tata cara pelaksanaan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hemat saya, penekenan peraturan tersebut lahir untuk merespons kegelisahan masyarakat terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang marak terjadi akhir-akhir ini. Nahar, selaku Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwa sejak Januari hingga 31 Juli 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia. Nahar menambahkan bahwa dari angka tersebut yang paling banyak dialami ialah kekerasan seksual.[1] Ini merupakan fakta yang terjadi saat ini bahwasannya kasus tersebut sudah memasuki taraf paling akut. Berdasarkan data di atas, kita harus kritis bahwa kekerasan seksual yang dialami oleh para korban bukan lagi hal yang harus disepelekan dan tabu untuk dibicarakan. Ini menjadi ancaman tersendiri bagi peradaban, masa depan dan moralitas bangsa.

Saya mencoba membayangan nasib anak-anak yang menjadi korban dari tindakan bejat tersebut, mereka akan mengalami gangguan dalam proses pertumbuhan mereka. Jika para korban tersebut tidak mendapatkan perhatian yang serius dalam upaya penyembuhannya, maka mereka akan mengalami ‘pengerdilan’. Artinya, secara psikologis, bayang-bayang tentang kekerasan yang dialami akan selalu dimunculkan. Para korban akan mengalami trauma yang berkepanjangan dan masih banyak lagi. Dalam lingkungan sosial, para korban akan tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, pendiam, merasa minder dan merasa tidak percaya diri. Jika hal semacam ini terus-menerus dialami oleh para korban, maka tidak mengherankan jika mereka akan sulit menggapai cita-cita. Cita-cita mereka seolah direnggut oleh bejatnya nafsu pelaku.

Wacana pemberian pemberatan pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak lewat kebiri di Indonesia pertama kali diusulkan secara resmi ke publik oleh KPAI dan didukung oleh Menteri Sosial pada Mei 2015.[2] Asrorun Niam Sholeh selaku ketua KPAI pada waktu itu mengafirmasi bahwa hukuman tersebut dinilai layak dan tepat bagi para paedofil. Asrorun menambahkan bahwa tindakan tersebut diharapkan dapat memutuskan mata rantai kekerasan seksual terhadap anak.

(Baca juga: Ternyata Pohon Ansono Tua)

Diskursus Kebiri Kimia

Baru-baru ini, pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur atas nama Aris, seorang pemuda asal Mojokerto-Jawa Timur resmi mendapatkan hukuman kebiri kimia. Nama Aris pun masuk sebagai orang pertama Indonesia yang akan dikebiri secara kimia. Aris terbukti bersalah setelah diketahui melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap sembilan orang anak. Aris yang berprofesi sebagai tukang las tersebut terbukti bersalah melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak sejak tahun 2015 kemarin. Sungguh ironis, tetapi itulah kenyataan yang terjadi dalam realitas.[3]

Diskursus mengenai kebiri kimia sendiri seyogianya merupakan suatu hal yang cukup menguras energi. Pasalnya, dalam berdiskursus tentangnya, pro dan kontra selalu saja bermunculan. Sebelum berbicara lebih jauh, kita perlu tahu apa itu kebiri kimia. Dahulu, sebelum adanya penemuan dan kemajuan dalam dunia medis, kebiri dilakukan dengan cara mutasi organ seks eksternal. Seiring berjalannya waktu, dunia medis mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam peralatannya. Kebiri yang dulunya dilakukan seadanya, kini dilakukan secara kimia. Dalam pengertian yang lebih integral, kebiri kimia merupakan tindakan memasukkan zat kimia Anti-Androgen ke dalam tubuh manusia. Cara memasukkan zat Anti-Androgen tersebut bisa dilakukan dengan cara menyuntikkannya atau secara oral dengan meminumnya.

Kita harus tahu bahwa zat kimia Anti-Androgen sendiri berpotensi untuk mengurangi produksi hormon testoteron. Tentunya hal ini dapat menimbulkan ketidak gairahan seseorang dalam melakukan hubungan seksusal. Kebiri kimia bukanlah suatu realitas tanpa cacat sebab kebiri kimia sendiri mempunyai efek samping yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia di antaranya, osteoporosis yang menyerang tulang, anemia yang menyerang darah hingga kemandulan apabila dosis yang diberikan melebihi standar. Pria yang disuntikkan zat Anti-Androgen ini pada umumnya akan mengalami penuaan dini.

Di dunia, sudah ada beberapa negara yang telah mempraktikkan hukuman kebiri kimia yakni, Inggris pada 1950-an, Amerika Serikat pada 1966, Korea Selatan pada 2011, Kazakhstan pada 2018, Rusia pada 2011 dan Polandia pada 2009. Namun, sama halnya di Indonesia, hukuman kebiri kimia di negara-negara tersebut sering menuai kontroversi. Misalnya, Korea Selatan. Setelah hukuman ini disahkan, setidaknya terdapat dua pria yang menjalani hukuman tersebut namun sampai saat ini, hal tersebut masih menuai kritik dari banyak pihak.

Karl Popper dan Teori Falsifikasi

Karl Popper merupakan seorang filsuf yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Pada 1934, Popper mengguncangkan dunia filsafat dan sains dengan bukunya yang berjudul The Logic of Scientifie Discovery. Dalam bukunya tersebut, Popper secara terang-benderang mengkritik kecenderungan metodologi sains yang didominasi oleh corak berpikir positivisme. Lantas, apa itu positivisme? Dalam pengertian yang lebih integral, positivisme berarti suatu paham yang dalam pencapaian kebenarannya bersumber dan berpangkal pada kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi. Melalui The Logic of Scientifie Discovery, Popper mengajukan gagasannya yang cukup menarik yakni gagasan tentang falsifikasi. Sebab, pada waktu itu dominasi positivisme sangat kental dalam pencapaian kebenaran. Seperti yang sudah penulis katakan sebelumnya bahwa dominasi positivisme yang cukup kuat ini membuat orang untuk melakukan verifikasi. Hal ini berarti, untuk mencapai sebuah kebenaran orang tinggal membuat pembuktian dengan fakta-fakta empiris untuk mendukung sebuah teori sains.

Berbeda dengan para penganut positivisme, Popper membuat sebuah teori yang bertentangan dengan teori verifikasi. Teori ini disebutnya sebagai teori falsifikasi, yakni untuk mencapai suatu kebenaran orang perlu membuat semacam pengguguran teori-teori melalui fakta-fakta. Lebih lanjut, Popper menegaskan bahwa teori verifikasi merupakan suatu teori yang sangat lemah karena menggunakan logika induksi. Dalam logika induksi, orang pertama-tama perlu membuat observasi. Setelah membuat observasi, orang harus perlu melakukan pengamatan yang berulang-ulang untuk memperoleh ciri-ciri umum yang kemudian akan dijadikannya sebagai sebuah hipotesa dan yang paling terakhir dalam logika induksi itu sendiri yakni, menemukan bukti-bukti atau teori-teori yang mendukung hipotesa tersebut.

Bertolak dari realitas tersebut, Popper mengajukan teori yang disebutnya sebagai teori falsifikasi. Teori falsifikasi sendiri bertujuan untuk mencari kekurangan atau kesalahan dari suatu teori demi menegaskan bahwa teori tersebut benar-benar salah. Lebih lanjut, dengan menggunakan teori ini, suatu teori dapat dipastikan gugur dengan sendirinya dan akan membuat suatu pemahaman jauh lebih efisien. Dengan menggunkan teori ini, Popper mengatakan bahwa suatu teori tidak bersifat ilmiah hanya karena dibuktikan kebenarannya melainkan harus diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Apabila suatu teori dapat bertahan dalam segala penyangkalannya maka teori tersebut sudah pasti semakin kokoh kebenarannya.

(Baca juga: Review Film Courageous)

Menggugat Hukum Kebiri Kimia dalam Terang Teori Falsifikasi Menurut Karl Popper

Tesis dasar dibuatnya peraturan tentang kebiri kimia ialah untuk merespon kegelisahan masyarakat, terkait kasus pemerkosaan yang marak terjadi. Dalam kaitannya dengan tindakan pelaku pemerkosaan, saya sama sekali menolak atau tidak mendukung tindakan minus nurani tersebut. Tindakan pemerkosaan yang dibuat oleh pelaku merupakan tindakan yang banal. Dikatakan banal karena para pelaku sama sekali melenceng dari moralitas yang ada. Para pelaku kekerasan seksual sama sekali tidak berpikir jauh tentang nasib para korban sesudah peristiwa ‘tragis’ tersebut terjadi.

Bagaimanapun orang yang melakukan tindakan pemerkosaan adalah salah dan bejat. Namun, apakah ganjaran berupa kebiri kimia tersebut benar, tepat, etis dan moralis? Apakah dengan ditetapkan dan dipraktikannya hukum kebiri kimia, kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat turun secara signifikan? Dan apakah kebiri kimia merupakan pilihan satu-satunya yang ada? Hemat saya, hukuman berupa kebiri kimia merupakan hukuman yang sarat emosional.  Pada titik ini, saya sependapat dengan organisasi-organisasi HAM yang menolaknya dengan alasan: Pertama, Hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, Hukuman kebiri kimia melanggar HAM sebagaimana tertuang di berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi. Ketiga, Segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar pada akar persoalan yang ada.[4]

            Penulis sekali-kali menegaskan bahwa falsifikasi ala Popper dalam konteks ini bukan berarti penulis mengamini semua tindakan pemerkosaan sebagai hal yang pantas. Sama sekali, penulis mengutuki perbuatan tersebut. Hemat penulis, ada kekeliriuan terbesar yang dipahami para penggagas, eksekutor dan peneken hukum kebiri kimia sendiri. Jika kita bertolak lebih jauh dengan menggunakan metode falsifikasi ala Popper, maka hukum kebiri kimia dengan sendirinya gugur dan tidak bisa diterapkan. Seperti yang sudah penulis katakan sebelumnya bahwa Peraturan Presiden tentang hukuman kebiri kimia ini sangatlah tendensius. Tesis dasar dari Perpres yang satu ini mempunyai misi yang sangat mulia yakni ingin melindungi perempuan dan anak dari bahaya pemerkosaan serta mengurangi bahkan menghilangkan kasus pemerkosaan yang terjadi di Indonesia. Namun, apakah dengan menerapkan kebiri kimia dapat menjamin tidak adanya kasus pemerkosaan lagi? Di sinilah letak kesalahan dari hukum ini. Jika kita bandingkan dengan negara-negara yang sudah terlebih dahulu menerapkan hukum kebiri kimia seperti Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan dan beberapa negara lainnya kita dapat menemukan bahwa hukum kebiri kimia sesungguhnya tidak efektif. Pernyataan ini cukup berdasar sebab meskipun hukuman ini diterapkan toh kasus-kasus serupa tidak pernah mengenal kata tamat dari negara tersebut. Secara radikal, penulis menegaskan bahwa hukum kebiri kimia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Sesungguhnya akar persoalan dari kebiri kimia bukan terletak pada selangkangan seseorang melainkan ada pada isi kepala seseorang. Bagaimana mungkin kepala yang bermasalah sedangkan selangkangan yang harus dirapikan. Ini suatu kesalahan terbesar yang dibuat oleh pencetus dan peneken hukuman ini. Sekali lagi, hukum kebiri kimia gagal atau gugur dengan sendirinya.

 Jalan Keluar

            Setelah menyadari bahwa hukum kebiri kimia tidaklah tepat, kita perlu berpikir lebih jauh dalam menyikapi kasus pemerkosaan yang masif terjadi di Indonesia. Hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu diambil sebagai tindakan praksis perlawanan dan pencegahan kita terhadap tindakan minus moral dan nurani seperti pemerkosaan itu sendiri. Pertama, Pendidikan Seks yang baik. Diskursus tentang seks dan obrolan sekirarnya adalah hal yang masih dianggap tabu. Budaya ketimuran serta dominasi agama yang begitu kuat menjadikan diskursus tentang hal yang satu ini mengalami kemandegan. Sampai saat ini, masyarakat selalu menghindari diskursus tentang seks sebab bagi mereka orang yang berbicara tentang seks dan seksualitas selalu dipersepsikan dengan orang yang tidak berbudaya, orang yang berdosa karena tidak mengikuti perintah agama, subversif, dan berbagai pemahaman sempit lainnya. Padahal, jika kita kaji lebih lanjut peranan dari edukasi seks sejak usia dini memampukan anak-anak untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan olehnya. Pendidikan seks yang penulis maksudkan di sini tidak saja diperuntukan bagi anak perempuan yang sering mendapatkan perlakuan tersebut melainkan juga bagi anak laki-laki. Apabila anak-anak kita sudah mendapatkan pendidikan seks sejak usia dini, maka mereka juga secara perlahan akan menentukan arah keberpihakan mereka. Bercermin pada kasus-kasus pemerkosaan sebelumnya, para korbannya yang adalah anak usia dini, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sedang diperkosa dan dilecehkan. Yang mereka tahu bahwa mereka sedang mendapatkan rasa sakit dan perlakuan kasar. Sudah saatnya, pendidikan seks masif dijalankan.

            Kedua, memperkuat pendampingan dari orang tua. Kasus pemerkosaan yang sering terjadi dalam realitas menunjukkan bahwa para korban pemerkosaan pada umumnya kurang mendapatkan pengawasan yang baik oleh orang tuanya. Penulis meyakini bahwa para pelaku sebelum melakukan tindakan kejahatan tersebut masih melakukan observasi apakah tindakannya tersebut dapat dijalankan atau tidak. Apabila si pelaku merasa sudah cukup aman, maka ia akan menjalankan aksi bejatnya tersebut. Di sini, peran orang tua sangatlah penting. Orang tua pertama-tama harus menyadari eksistensi dan tugas mereka sebagai pelindung yang baik. Apabila mereka kurang menjalankan tugas dan fungsi pengawasan yang baik terhadap anak maka tidak mengherankan bahwa anak-anak mereka akan jatuh dalam bahaya tindakan pemerkosaan dan bahaya lainnya. Bercermin pada kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi di Indonesia lainnya, para orang tua menganggap lingkungannya aman dari bahaya tersebut. Mereka lupa bahwa dalam situasi-situasi khusus tertentu, anak-anak mereka bisa jatuh dalam bahaya pemerkosaan. Dalam proses pendampingann tersebut, selain menjalankan fungsi pengawasan yang baik, orang tua juga diharapkan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka. Ini merupakan hal yang sangat penting karena dengan membangun komunikasi yang baik dengan anak, orang tua dapat memahami kendala dan pergulatan yang dialami oleh anak-anak mereka.

            Ketiga, memilih lingkaran pergaulan yang sehat. Memilih lingkaran pergaulan yang sehat seyogianya lebih merujuk pada kaum remaja yang baru mengalami masa pubertas. Tidak dapat disangkal bahwa selain anak-anak, kaum remaja sering kali menjadi sasaran empuk dari tindakan pemerkosaan. Seperti yang kita ketahui bahwa kaum remaja yang baru saja menginjak usia pubertas sering berperilaku lain dari usia sebelumnya. Terkadang, karena didorong oleh rasa ingin tahu dan eksperimental ini tidak seutuhnya didukung oleh relasi pertemanan yang ada. Ketika didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi dan sikap eksperimental yang membabi buta tidak didukung oleh lingkaran pertemanan pun pergaulan yang baik maka tak pelak kaum remaja akan terjerumus dalam bahaya tindakan pemerkosaan. Lebih lanjut, penulis menegaskan bahwa lingkaran pertemanan dan pergaulan sangatlah menentukan arah pertumbuhan karakter dan kepribadian seseorang. Lingkungan pertemanan dan pergaulan yang aman dan sehat dapat memungkinkan seseorang tumbuh menjadi pribadi yang baik. Begitupun sebaliknya, apabila seseorang tumbuh dalam lingkaran pertemanan dan pergaulan yang tidak sehat maka tidak mengherankan bahwa kaum muda akan mengalami kemerosotan dan pengerdilan. Pada tataran ini juga, peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Orang tua dapat mengarahkan anaknya untuk memilih dan menentukan mana lingkaran dan pertemanan dan pergaulan yang sehat.

Keempat, dominasi budaya patriarki. Patriarki menurut Alfian Rokhmansyah pada bukunya yang bertajuk Pengantar Gender dan Feminisme berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai posisi tunggal, sentral dan segala-galanya. Implikasi logis dari budaya patriarki ini sendiri sesungguhnya merujuk pada dominasi laki-laki sehingga mengakibatkan jurang kesenjagan yang lebar antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia, dominasi patriatki sangatlah kental. Perempuan secara umum dianggap sebagai tambahan, bukan rekan yang setara. Eksistensi perempuan dalam kehidupan bersama sering kali dipersepsikan sebagai manusia kelas dua. Pernyataan ini cukup berdasar sebab banyak hal penting sering diambil alih oleh laki-laki. Jika kita kaji lebih lanjut, kasus pekerkosaan yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini lebih menyasar pada anak dan perempuan sebagai korbannya. Kita jarang bahkan tidak pernah mendegar kasus pemerkosaan yang melibatkan perempuan sebagai subjek atas tindakan tersebut. Tindakan pemerkosaan sesungguhnya mengandung relasi kuasa kaum laki-laki yang sangat kuat. Sebab, mereka hanya bisa menjalankan tindakan tersebut pada orang-orang yang lemah seperti perempuan dan anak. Menyitir Martin Buber, relasi yang melihat orang lain sebagai objek semata adalah sebuah relasi yang berpola Ich-Es atau I-It di mana dalam relasi ini selalu ada upaya untuk memiliki, memonopoli, mengalami pihak lain sebagai barang atau benda.[5] Lebih lanjut, Erich Formm, membahasakan ini sebagai modus memiliki (having) di mana perempuan belum menjadi dirinya sendiri (being). Ia justru baru menjadi berada ketika ditentukan oleh pihak lain atau oleh kepemilikan orang lain. Corak berpikir menguasai yang ada dalam budaya patriarkat di Indonesia seyogianya perlu dijernihkan. Perempuan sudah seharusnya dipandang sama atau sepadan dengan laki-laki. Jika hasrat untuk menguasai itu masih tetap ada maka tidak mengherankan jika kasus-kasus berat seperti pemerkosaan yang ada masih tetap terjadi. 

Hemat penulis, beberapa hal di atas seperti, pendidikan seks yang baik, memperkuat pendampingan orang tua, memilih pergaulan yang sehat dan dominasi budaya patriarki adalah jalan langkah yang tepat dalam mengatasi kasus pemerkosaan yang ada saat ini. Lebih lanjut, langkah-langkah solutif yang penulis tawarkan di atas lebih tepat sebab dibandingkan kebiri kimia.

(Baca juga: Di Betlehem)

Hukum Kebiri Kimia sebagai Tindakan Koersif

Dalam dunia sosiologi, kita tentu mengenal berbagai bentuk pengendalian sosial. Pengendalian sosial sendiri merupakan proses kolektif yang direncanakan atau tidak direncanakan untuk mengajak, membujuk, membimbing atau memaksa individu supaya mematuhi nilai-nilai atau kaidah-kaidah dalam kehidupan bersama. Secara spsifik, bentuk pengendalian sosial dibagi atas dua bagian besar, yakni pengendalian sosial preventif dan pengendalian sosial koersif. Pengendalian sosial preventif merupakan pencegahan sebelum terjadi penyimpangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Misalnya, orang tua melarang anaknya untuk tidak bermain judi karena berjudi adalah tindakan yang salah dan lain sebagainya. Sedangkan pengendalian sosisal koersif yaitu pencegahan penyimpangan melalui ancaman atau kekerasan fisik. Pengendalian model ini biasanya terjadi setelah suatu tindakan dibuat. Tujuannya ialah agar hal serupa tidak lagi terjadi.

Hemat penulis, alangkah baiknya semua pihak melakukan tindakan preventif ketimbang melakukan tindakan koersif. Tindakan preventif dinilai lebih efektif karena ia dibuat untuk mencegah ketimbang memperbaiki (pra-kejadian). Kita semua harus sadar bahwa hukum kebiri kimia yang sudah terlanjur diteken oleh presiden Jokowi kali lalu merupakan tindakan koersif (pasca-kejadian). Tentunya hal semacam ini kurang tepat karena ia tidak menyentuh akar persoalan yang ada. Jika langkah-langkah yang kita ambil masih sebatas pada tataran koersif, maka pada saat yang bersamaan itu pula praktik-praktik kejahatan seperti pemerkosaan tidak akan pernah mengenal kata tamat.

Penutup

            Hukum kebiri kimia yang sudah terlanjur diteken oleh presiden beberapa waktu yang lalu seyogianya perlu dievaluasi atau dikaji kembali, mengingat hukum tersebut sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang ada. Hukum kebiri kimia hanya berkutat pada bagian luar dari tindakan pemerkosaan itu sendiri sedangkan inti terdalam dari tindakan tersebut tidak berhasil dibongkar. Kita semua sepakat bahwasannya tindakan kejahatan apapun termasuk tindakan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur adalah praktik yang harus dilawan. Namun, sebagai makhluk yang dimampukan oleh kepemilikan akal budi, kita semestinya berpikir dua kali dalam menghasilkan suatu ketetapan pun kebenaran yang dipaksakan secara universal,

            Hukum kebiri kimia dalam dirinya sendiri mengandung banyak kekurangan sehingga ia tidak bisa dipaksakan untuk ditaati secara universal dalam konteks Indonesia. Pemerintah selaku pembuat kebijakan perlu menghidupkan nalar mereka secara utuh agar setiap kebijkan ataupun hukuman yang ada dapat menciptakan suatu tatanan kehidupan yang baik, bukan semakin memperkeruh suasana. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk pemerintah perlu memperhatikan beberapa langkah solutif yang penulis tawarkan. Kita perlu menata dan melihat kembali pentingnya pendidikan seks yang baik, memperkuat pendampingan orang tua, mengarahkan kaum muda untuk memilih lingkungan pergaulan yang sehat serta berupaya sebisa mungkin untuk meyelaraskan dominasi budaya patriarki yang saban hari semakin kuat mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Menyelaraskan dominasi patriarkat sama sekali tidak berarti melenyapkan nilai-nilai budaya.

            Bercermin pada teori falsifikasi ala Popper, kita semua diajak untuk tidak menerima suatu kebenaran begitu saja melainkan mencari titik-titik lemahnya demi menghasilkan suatu kebenaran yang asali. Jika pola pikir kita masih berkutat pada pragmatisme dan positivime maka secara tidak langsung kita membiarkan diri pada suatu kebenaran yang keliru. Apabila kita masih membiarkan diri digiring pada kebenaran yang palsu maka sadar atau tidak sadar kita sedang dibodohkan. Lantas, apakah hukum kebiri kimia yang diteken oleh presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu adalah suatu pembodohan yang dilakukan oleh penguasa? Mari berpikir!

           

*Rio Ambasan lahir di Atambua, 15 Agustus 1998. Saat ini penulis tinggal di Wisma St. Agustinus Ledalero dan sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. 

 



[1] Shania Mashabi, “Kementerian PPPA: Sejak Januari hingga Juli 2020 Ada 2.556 Anak Korban Kekerasan Seksual”, dalam Kompas.com, https://nasional.kompas.com/kementerian-pppa-sejak-januari-hingga-juli-2020-ada-2.556-anak-korban?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sticky_Mobile, diakses pada 5 Desember 2021.

[2] Supriyadi Widodo Eddyono, Ahmad Sofian dan Anugerah Rizki Akbari, Menguji Euforia Kebiri (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm. 4.

[3] Enggran Eko Budianto, “Melihat Lagi Kasus Orang Pertama di Indonesia yang Divonis Kebiri Kimia”, dalam detiknews.com, https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5321635/melihat-lagi-kasus-orang-pertama-di-indonesia-yang-divonis-kebiri-kimia, diakses pada 5 Desember 2021.

[4] Ibid., hlm. 6.

[5] Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media dan Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 34.

Post a Comment

0 Comments