(sumber gambar: www.orami.co.id)
*Rio Ambasan
Pendahuluan
Presiden Joko Widodo resmi meneken
Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 terkait tata cara pelaksanaan kebiri
kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Hemat saya, penekenan
peraturan tersebut lahir untuk merespons kegelisahan masyarakat terkait kasus
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang marak terjadi akhir-akhir
ini. Nahar, selaku Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwa sejak Januari hingga 31 Juli
2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia.
Nahar menambahkan bahwa dari angka tersebut yang paling banyak dialami ialah
kekerasan seksual.[1]
Ini merupakan fakta yang terjadi saat ini bahwasannya kasus tersebut sudah
memasuki taraf paling akut. Berdasarkan data di atas, kita harus kritis bahwa
kekerasan seksual yang dialami oleh para korban bukan lagi hal yang harus
disepelekan dan tabu untuk dibicarakan. Ini menjadi ancaman tersendiri bagi
peradaban, masa depan dan moralitas bangsa.
Saya
mencoba membayangan nasib anak-anak yang menjadi korban dari tindakan bejat
tersebut, mereka akan mengalami gangguan dalam proses pertumbuhan mereka. Jika
para korban tersebut tidak mendapatkan perhatian yang serius dalam upaya
penyembuhannya, maka mereka akan mengalami ‘pengerdilan’. Artinya, secara
psikologis, bayang-bayang tentang kekerasan yang dialami akan selalu
dimunculkan. Para korban akan mengalami trauma yang berkepanjangan dan masih
banyak lagi. Dalam lingkungan sosial, para korban akan tumbuh menjadi pribadi
yang tertutup, pendiam, merasa minder dan merasa tidak percaya diri. Jika hal
semacam ini terus-menerus dialami oleh para korban, maka tidak mengherankan
jika mereka akan sulit menggapai cita-cita. Cita-cita mereka seolah direnggut
oleh bejatnya nafsu pelaku.
Wacana pemberian pemberatan pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak lewat
kebiri di Indonesia pertama kali diusulkan secara resmi ke publik oleh KPAI dan
didukung oleh Menteri Sosial pada Mei 2015.[2]
Asrorun Niam Sholeh selaku ketua KPAI pada waktu itu mengafirmasi bahwa hukuman
tersebut dinilai layak dan tepat bagi para paedofil. Asrorun menambahkan bahwa
tindakan tersebut diharapkan dapat memutuskan mata rantai kekerasan seksual
terhadap anak.
(Baca juga: Ternyata Pohon Ansono Tua)
Diskursus Kebiri Kimia
Baru-baru
ini, pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur atas nama Aris,
seorang pemuda asal Mojokerto-Jawa Timur resmi mendapatkan hukuman kebiri
kimia. Nama Aris pun masuk sebagai orang pertama Indonesia yang akan dikebiri
secara kimia. Aris terbukti bersalah setelah diketahui melakukan tindakan
kekerasan seksual terhadap sembilan orang anak. Aris yang berprofesi sebagai
tukang las tersebut terbukti bersalah melakukan tindakan kekerasan seksual
terhadap anak sejak tahun 2015 kemarin. Sungguh ironis, tetapi itulah kenyataan
yang terjadi dalam realitas.[3]
Diskursus
mengenai kebiri kimia sendiri seyogianya merupakan suatu hal yang cukup menguras
energi. Pasalnya, dalam berdiskursus tentangnya, pro dan kontra selalu saja
bermunculan. Sebelum berbicara lebih jauh, kita perlu tahu apa itu kebiri
kimia. Dahulu, sebelum adanya penemuan dan kemajuan dalam dunia medis, kebiri
dilakukan dengan cara mutasi organ seks eksternal. Seiring berjalannya waktu,
dunia medis mengalami kemajuan yang begitu pesat dalam peralatannya. Kebiri
yang dulunya dilakukan seadanya, kini dilakukan secara kimia. Dalam pengertian
yang lebih integral, kebiri kimia merupakan tindakan memasukkan zat kimia
Anti-Androgen ke dalam tubuh manusia. Cara memasukkan zat Anti-Androgen
tersebut bisa dilakukan dengan cara menyuntikkannya atau secara oral dengan
meminumnya.
Kita
harus tahu bahwa zat kimia Anti-Androgen sendiri berpotensi untuk mengurangi
produksi hormon testoteron. Tentunya hal ini dapat menimbulkan ketidak gairahan
seseorang dalam melakukan hubungan seksusal. Kebiri kimia bukanlah suatu
realitas tanpa cacat sebab kebiri kimia sendiri mempunyai efek samping yang
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia di antaranya, osteoporosis yang
menyerang tulang, anemia yang menyerang darah hingga kemandulan apabila dosis
yang diberikan melebihi standar. Pria yang disuntikkan zat Anti-Androgen ini pada
umumnya akan mengalami penuaan dini.
Di dunia, sudah ada beberapa negara yang telah mempraktikkan hukuman kebiri kimia yakni, Inggris pada 1950-an, Amerika Serikat pada 1966, Korea Selatan pada 2011, Kazakhstan pada 2018, Rusia pada 2011 dan Polandia pada 2009. Namun, sama halnya di Indonesia, hukuman kebiri kimia di negara-negara tersebut sering menuai kontroversi. Misalnya, Korea Selatan. Setelah hukuman ini disahkan, setidaknya terdapat dua pria yang menjalani hukuman tersebut namun sampai saat ini, hal tersebut masih menuai kritik dari banyak pihak.
Karl Popper dan Teori Falsifikasi
Karl
Popper merupakan seorang filsuf yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan modern. Pada 1934, Popper mengguncangkan dunia filsafat dan
sains dengan bukunya yang berjudul The
Logic of Scientifie Discovery. Dalam bukunya tersebut, Popper secara
terang-benderang mengkritik kecenderungan metodologi sains yang didominasi oleh
corak berpikir positivisme. Lantas, apa itu positivisme? Dalam pengertian yang
lebih integral, positivisme berarti suatu paham yang dalam pencapaian
kebenarannya bersumber dan berpangkal pada kejadian-kejadian yang benar-benar
terjadi. Melalui The Logic of Scientifie
Discovery, Popper mengajukan gagasannya yang cukup menarik yakni gagasan
tentang falsifikasi. Sebab, pada waktu itu dominasi positivisme sangat kental dalam
pencapaian kebenaran. Seperti yang sudah penulis katakan sebelumnya bahwa
dominasi positivisme yang cukup kuat ini membuat orang untuk melakukan
verifikasi. Hal ini berarti, untuk mencapai sebuah kebenaran orang tinggal
membuat pembuktian dengan fakta-fakta empiris untuk mendukung sebuah teori
sains.
Berbeda
dengan para penganut positivisme, Popper membuat sebuah teori yang bertentangan
dengan teori verifikasi. Teori ini disebutnya sebagai teori falsifikasi, yakni
untuk mencapai suatu kebenaran orang perlu membuat semacam pengguguran
teori-teori melalui fakta-fakta. Lebih lanjut, Popper menegaskan bahwa teori
verifikasi merupakan suatu teori yang sangat lemah karena menggunakan logika
induksi. Dalam logika induksi, orang pertama-tama perlu membuat observasi.
Setelah membuat observasi, orang harus perlu melakukan pengamatan yang
berulang-ulang untuk memperoleh ciri-ciri umum yang kemudian akan dijadikannya
sebagai sebuah hipotesa dan yang paling terakhir dalam logika induksi itu
sendiri yakni, menemukan bukti-bukti atau teori-teori yang mendukung hipotesa
tersebut.
Bertolak
dari realitas tersebut, Popper mengajukan teori yang disebutnya sebagai teori
falsifikasi. Teori falsifikasi sendiri bertujuan untuk mencari kekurangan atau
kesalahan dari suatu teori demi menegaskan bahwa teori tersebut benar-benar
salah. Lebih lanjut, dengan menggunakan teori ini, suatu teori dapat dipastikan
gugur dengan sendirinya dan akan membuat suatu pemahaman jauh lebih efisien.
Dengan menggunkan teori ini, Popper mengatakan bahwa suatu teori tidak bersifat
ilmiah hanya karena dibuktikan kebenarannya melainkan harus diuji dengan
percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Apabila suatu teori dapat
bertahan dalam segala penyangkalannya maka teori tersebut sudah pasti semakin
kokoh kebenarannya.
(Baca juga: Review Film Courageous)
Menggugat Hukum Kebiri Kimia dalam
Terang Teori Falsifikasi Menurut Karl Popper
Tesis
dasar dibuatnya peraturan tentang kebiri kimia ialah untuk merespon kegelisahan
masyarakat, terkait kasus pemerkosaan yang marak terjadi. Dalam kaitannya
dengan tindakan pelaku pemerkosaan, saya sama sekali menolak atau tidak
mendukung tindakan minus nurani tersebut. Tindakan pemerkosaan yang dibuat oleh
pelaku merupakan tindakan yang banal. Dikatakan banal karena para pelaku sama
sekali melenceng dari moralitas yang ada. Para pelaku kekerasan seksual sama
sekali tidak berpikir jauh tentang nasib para korban sesudah peristiwa ‘tragis’
tersebut terjadi.
Bagaimanapun
orang yang melakukan tindakan pemerkosaan adalah salah dan bejat. Namun, apakah
ganjaran berupa kebiri kimia tersebut benar, tepat, etis dan moralis? Apakah
dengan ditetapkan dan dipraktikannya hukum kebiri kimia, kasus pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur dapat turun secara signifikan? Dan apakah kebiri
kimia merupakan pilihan satu-satunya yang ada? Hemat saya, hukuman berupa
kebiri kimia merupakan hukuman yang sarat emosional. Pada titik ini, saya sependapat dengan
organisasi-organisasi HAM yang menolaknya dengan alasan: Pertama, Hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem pidana
nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, Hukuman kebiri kimia melanggar
HAM sebagaimana tertuang di berbagai konvensi internasional yang telah
diratifikasi. Ketiga, Segala bentuk
kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual pada dasarnya merupakan
manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi
terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar pada akar persoalan
yang ada.[4]
Penulis sekali-kali menegaskan bahwa
falsifikasi ala Popper dalam konteks ini bukan berarti penulis mengamini semua
tindakan pemerkosaan sebagai hal yang pantas. Sama sekali, penulis mengutuki
perbuatan tersebut. Hemat penulis, ada kekeliriuan terbesar yang dipahami para
penggagas, eksekutor dan peneken hukum kebiri kimia sendiri. Jika kita bertolak
lebih jauh dengan menggunakan metode falsifikasi ala Popper, maka hukum kebiri
kimia dengan sendirinya gugur dan tidak bisa diterapkan. Seperti yang sudah
penulis katakan sebelumnya bahwa Peraturan Presiden tentang hukuman kebiri
kimia ini sangatlah tendensius. Tesis dasar dari Perpres yang satu ini
mempunyai misi yang sangat mulia yakni ingin melindungi perempuan dan anak dari
bahaya pemerkosaan serta mengurangi bahkan menghilangkan kasus pemerkosaan yang
terjadi di Indonesia. Namun, apakah dengan menerapkan kebiri kimia dapat
menjamin tidak adanya kasus pemerkosaan lagi? Di sinilah letak kesalahan dari
hukum ini. Jika kita bandingkan dengan negara-negara yang sudah terlebih dahulu
menerapkan hukum kebiri kimia seperti Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan
dan beberapa negara lainnya kita dapat menemukan bahwa hukum kebiri kimia
sesungguhnya tidak efektif. Pernyataan ini cukup berdasar sebab meskipun
hukuman ini diterapkan toh kasus-kasus serupa tidak pernah mengenal kata tamat
dari negara tersebut. Secara radikal, penulis menegaskan bahwa hukum kebiri
kimia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Sesungguhnya akar persoalan
dari kebiri kimia bukan terletak pada selangkangan seseorang melainkan ada pada
isi kepala seseorang. Bagaimana mungkin kepala yang bermasalah sedangkan
selangkangan yang harus dirapikan. Ini suatu kesalahan terbesar yang dibuat
oleh pencetus dan peneken hukuman ini. Sekali lagi, hukum kebiri kimia gagal
atau gugur dengan sendirinya.
Jalan Keluar
Setelah menyadari bahwa hukum kebiri kimia tidaklah tepat, kita perlu berpikir lebih jauh dalam menyikapi kasus pemerkosaan yang masif terjadi di Indonesia. Hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu diambil sebagai tindakan praksis perlawanan dan pencegahan kita terhadap tindakan minus moral dan nurani seperti pemerkosaan itu sendiri. Pertama, Pendidikan Seks yang baik. Diskursus tentang seks dan obrolan sekirarnya adalah hal yang masih dianggap tabu. Budaya ketimuran serta dominasi agama yang begitu kuat menjadikan diskursus tentang hal yang satu ini mengalami kemandegan. Sampai saat ini, masyarakat selalu menghindari diskursus tentang seks sebab bagi mereka orang yang berbicara tentang seks dan seksualitas selalu dipersepsikan dengan orang yang tidak berbudaya, orang yang berdosa karena tidak mengikuti perintah agama, subversif, dan berbagai pemahaman sempit lainnya. Padahal, jika kita kaji lebih lanjut peranan dari edukasi seks sejak usia dini memampukan anak-anak untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan olehnya. Pendidikan seks yang penulis maksudkan di sini tidak saja diperuntukan bagi anak perempuan yang sering mendapatkan perlakuan tersebut melainkan juga bagi anak laki-laki. Apabila anak-anak kita sudah mendapatkan pendidikan seks sejak usia dini, maka mereka juga secara perlahan akan menentukan arah keberpihakan mereka. Bercermin pada kasus-kasus pemerkosaan sebelumnya, para korbannya yang adalah anak usia dini, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sedang diperkosa dan dilecehkan. Yang mereka tahu bahwa mereka sedang mendapatkan rasa sakit dan perlakuan kasar. Sudah saatnya, pendidikan seks masif dijalankan.
Kedua,
memperkuat pendampingan dari orang tua. Kasus pemerkosaan yang sering terjadi
dalam realitas menunjukkan bahwa para korban pemerkosaan pada umumnya kurang
mendapatkan pengawasan yang baik oleh orang tuanya. Penulis meyakini bahwa para
pelaku sebelum melakukan tindakan kejahatan tersebut masih melakukan observasi
apakah tindakannya tersebut dapat dijalankan atau tidak. Apabila si pelaku
merasa sudah cukup aman, maka ia akan menjalankan aksi bejatnya tersebut. Di
sini, peran orang tua sangatlah penting. Orang tua pertama-tama harus menyadari
eksistensi dan tugas mereka sebagai pelindung yang baik. Apabila mereka kurang
menjalankan tugas dan fungsi pengawasan yang baik terhadap anak maka tidak
mengherankan bahwa anak-anak mereka akan jatuh dalam bahaya tindakan
pemerkosaan dan bahaya lainnya. Bercermin pada kasus-kasus pemerkosaan yang
terjadi di Indonesia lainnya, para orang tua menganggap lingkungannya aman dari
bahaya tersebut. Mereka lupa bahwa dalam situasi-situasi khusus tertentu,
anak-anak mereka bisa jatuh dalam bahaya pemerkosaan. Dalam proses
pendampingann tersebut, selain menjalankan fungsi pengawasan yang baik, orang tua
juga diharapkan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka.
Ini merupakan hal yang sangat penting karena dengan membangun komunikasi yang
baik dengan anak, orang tua dapat memahami kendala dan pergulatan yang dialami
oleh anak-anak mereka.
Ketiga,
memilih lingkaran pergaulan yang sehat. Memilih lingkaran pergaulan yang sehat
seyogianya lebih merujuk pada kaum remaja yang baru mengalami masa pubertas. Tidak
dapat disangkal bahwa selain anak-anak, kaum remaja sering kali menjadi sasaran
empuk dari tindakan pemerkosaan. Seperti yang kita ketahui bahwa kaum remaja
yang baru saja menginjak usia pubertas sering berperilaku lain dari usia
sebelumnya. Terkadang, karena didorong oleh rasa ingin tahu dan eksperimental
ini tidak seutuhnya didukung oleh relasi pertemanan yang ada. Ketika didorong
oleh rasa ingin tahu yang tinggi dan sikap eksperimental yang membabi buta
tidak didukung oleh lingkaran pertemanan pun pergaulan yang baik maka tak pelak
kaum remaja akan terjerumus dalam bahaya tindakan pemerkosaan. Lebih lanjut,
penulis menegaskan bahwa lingkaran pertemanan dan pergaulan sangatlah
menentukan arah pertumbuhan karakter dan kepribadian seseorang. Lingkungan
pertemanan dan pergaulan yang aman dan sehat dapat memungkinkan seseorang
tumbuh menjadi pribadi yang baik. Begitupun sebaliknya, apabila seseorang
tumbuh dalam lingkaran pertemanan dan pergaulan yang tidak sehat maka tidak
mengherankan bahwa kaum muda akan mengalami kemerosotan dan pengerdilan. Pada
tataran ini juga, peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Orang tua dapat
mengarahkan anaknya untuk memilih dan menentukan mana lingkaran dan pertemanan
dan pergaulan yang sehat.
Keempat,
dominasi budaya patriarki. Patriarki menurut Alfian Rokhmansyah pada bukunya
yang bertajuk Pengantar Gender dan
Feminisme berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai posisi
tunggal, sentral dan segala-galanya. Implikasi logis dari budaya patriarki ini
sendiri sesungguhnya merujuk pada dominasi laki-laki sehingga mengakibatkan
jurang kesenjagan yang lebar antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks
kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia, dominasi patriatki sangatlah
kental. Perempuan secara umum dianggap sebagai tambahan, bukan rekan yang
setara. Eksistensi perempuan dalam kehidupan bersama sering kali dipersepsikan
sebagai manusia kelas dua. Pernyataan ini cukup berdasar sebab banyak hal
penting sering diambil alih oleh laki-laki. Jika kita kaji lebih lanjut, kasus
pekerkosaan yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini lebih menyasar pada
anak dan perempuan sebagai korbannya. Kita jarang bahkan tidak pernah mendegar
kasus pemerkosaan yang melibatkan perempuan sebagai subjek atas tindakan
tersebut. Tindakan pemerkosaan sesungguhnya mengandung relasi kuasa kaum
laki-laki yang sangat kuat. Sebab, mereka hanya bisa menjalankan tindakan
tersebut pada orang-orang yang lemah seperti perempuan dan anak. Menyitir
Martin Buber, relasi yang melihat orang lain sebagai objek semata adalah sebuah
relasi yang berpola Ich-Es atau I-It di mana dalam relasi ini selalu ada
upaya untuk memiliki, memonopoli, mengalami pihak lain sebagai barang atau
benda.[5]
Lebih lanjut, Erich Formm, membahasakan ini sebagai modus memiliki (having) di mana perempuan belum menjadi
dirinya sendiri (being). Ia justru baru
menjadi berada ketika ditentukan oleh pihak lain atau oleh kepemilikan orang
lain. Corak berpikir menguasai yang ada dalam budaya patriarkat di Indonesia
seyogianya perlu dijernihkan. Perempuan sudah seharusnya dipandang sama atau
sepadan dengan laki-laki. Jika hasrat untuk menguasai itu masih tetap ada maka
tidak mengherankan jika kasus-kasus berat seperti pemerkosaan yang ada masih
tetap terjadi.
Hemat
penulis, beberapa hal di atas seperti, pendidikan seks yang baik, memperkuat
pendampingan orang tua, memilih pergaulan yang sehat dan dominasi budaya
patriarki adalah jalan langkah yang tepat dalam mengatasi kasus pemerkosaan
yang ada saat ini. Lebih lanjut, langkah-langkah solutif yang penulis tawarkan
di atas lebih tepat sebab dibandingkan kebiri kimia.
Hukum Kebiri Kimia sebagai Tindakan
Koersif
Dalam
dunia sosiologi, kita tentu mengenal berbagai bentuk pengendalian sosial.
Pengendalian sosial sendiri merupakan proses kolektif yang direncanakan atau
tidak direncanakan untuk mengajak, membujuk, membimbing atau memaksa individu
supaya mematuhi nilai-nilai atau kaidah-kaidah dalam kehidupan bersama. Secara
spsifik, bentuk pengendalian sosial dibagi atas dua bagian besar, yakni
pengendalian sosial preventif dan pengendalian sosial koersif. Pengendalian
sosial preventif merupakan pencegahan sebelum terjadi penyimpangan terhadap
norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Misalnya, orang tua melarang anaknya
untuk tidak bermain judi karena berjudi adalah tindakan yang salah dan lain
sebagainya. Sedangkan pengendalian sosisal koersif yaitu pencegahan
penyimpangan melalui ancaman atau kekerasan fisik. Pengendalian model ini
biasanya terjadi setelah suatu tindakan dibuat. Tujuannya ialah agar hal serupa
tidak lagi terjadi.
Hemat
penulis, alangkah baiknya semua pihak melakukan tindakan preventif ketimbang
melakukan tindakan koersif. Tindakan preventif dinilai lebih efektif karena ia
dibuat untuk mencegah ketimbang memperbaiki (pra-kejadian). Kita semua harus
sadar bahwa hukum kebiri kimia yang sudah terlanjur diteken oleh presiden
Jokowi kali lalu merupakan tindakan koersif (pasca-kejadian). Tentunya hal
semacam ini kurang tepat karena ia tidak menyentuh akar persoalan yang ada.
Jika langkah-langkah yang kita ambil masih sebatas pada tataran koersif, maka
pada saat yang bersamaan itu pula praktik-praktik kejahatan seperti pemerkosaan
tidak akan pernah mengenal kata tamat.
Penutup
Hukum kebiri kimia yang sudah
terlanjur diteken oleh presiden beberapa waktu yang lalu seyogianya perlu
dievaluasi atau dikaji kembali, mengingat hukum tersebut sama sekali tidak
menyentuh akar persoalan yang ada. Hukum kebiri kimia hanya berkutat pada bagian
luar dari tindakan pemerkosaan itu sendiri sedangkan inti terdalam dari
tindakan tersebut tidak berhasil dibongkar. Kita semua sepakat bahwasannya
tindakan kejahatan apapun termasuk tindakan pemerkosaan terhadap anak di bawah
umur adalah praktik yang harus dilawan. Namun, sebagai makhluk yang dimampukan
oleh kepemilikan akal budi, kita semestinya berpikir dua kali dalam
menghasilkan suatu ketetapan pun kebenaran yang dipaksakan secara universal,
Hukum kebiri kimia dalam dirinya
sendiri mengandung banyak kekurangan sehingga ia tidak bisa dipaksakan untuk
ditaati secara universal dalam konteks Indonesia. Pemerintah selaku pembuat
kebijakan perlu menghidupkan nalar mereka secara utuh agar setiap kebijkan
ataupun hukuman yang ada dapat menciptakan suatu tatanan kehidupan yang baik,
bukan semakin memperkeruh suasana. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk
pemerintah perlu memperhatikan beberapa langkah solutif yang penulis tawarkan.
Kita perlu menata dan melihat kembali pentingnya pendidikan seks yang baik, memperkuat
pendampingan orang tua, mengarahkan kaum muda untuk memilih lingkungan
pergaulan yang sehat serta berupaya sebisa mungkin untuk meyelaraskan dominasi
budaya patriarki yang saban hari semakin kuat mengakar dalam diri masyarakat
Indonesia. Menyelaraskan dominasi patriarkat sama sekali tidak berarti
melenyapkan nilai-nilai budaya.
Bercermin pada teori falsifikasi ala
Popper, kita semua diajak untuk tidak menerima suatu kebenaran begitu saja
melainkan mencari titik-titik lemahnya demi menghasilkan suatu kebenaran yang
asali. Jika pola pikir kita masih berkutat pada pragmatisme dan positivime maka
secara tidak langsung kita membiarkan diri pada suatu kebenaran yang keliru. Apabila
kita masih membiarkan diri digiring pada kebenaran yang palsu maka sadar atau
tidak sadar kita sedang dibodohkan. Lantas, apakah hukum kebiri kimia yang
diteken oleh presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu adalah suatu pembodohan
yang dilakukan oleh penguasa? Mari berpikir!
[1] Shania Mashabi, “Kementerian
PPPA: Sejak Januari hingga Juli 2020 Ada 2.556 Anak Korban Kekerasan Seksual”,
dalam Kompas.com, https://nasional.kompas.com/kementerian-pppa-sejak-januari-hingga-juli-2020-ada-2.556-anak-korban?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sticky_Mobile, diakses pada 5 Desember 2021.
[2] Supriyadi Widodo Eddyono, Ahmad
Sofian dan Anugerah Rizki Akbari, Menguji
Euforia Kebiri (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2016), hlm.
4.
[3] Enggran Eko Budianto, “Melihat
Lagi Kasus Orang Pertama di Indonesia yang Divonis Kebiri Kimia”, dalam
detiknews.com, https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5321635/melihat-lagi-kasus-orang-pertama-di-indonesia-yang-divonis-kebiri-kimia, diakses pada 5 Desember 2021.
[4] Ibid., hlm. 6.
[5] Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media dan Politik (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 34.
0 Comments