TEMA BESAR: FILSAFAT
DAN SEPAK BOLA
Peran Sepak Bola dalam
Membentuk Peradaban Hidup Manusia[1]
Rikardus Mantero |
I.
Pendahuluan
Ada
banyak fenomena dunia yang dapat membantu manusia untuk berkembang dan maju.
Kita bisa menyebutkan beberapa contoh seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertumbuhan bisnis kreatif, kemajuan-kemajuan terkini di pelbagai
bidang olahraga, dan yang lainnya.
Fenomena-fenomena
itu dapat membantu manusia untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi
di tengah masyarakat kita. Sebab, pada dasarnya, masalah-masalah sosial itu
telah mengganggu dan meresahkan kehidupan masyarakat global. Bahkan, ada banyak
masyarakat yang menderita karena masalah-masalah sosial itu. Masalah-masalah
sosial itu di antaranya rasisme, intoleransi, kekerasan terhadap perempuan,
kemiskinan dan yang lainnya.
Ada
banyak cara dan upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah
sosial itu, baik itu cara dan upaya di bidang politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan, agama, seni, dan lain-lain. Cara dan upaya yang sudah dilakukan itu
telah membawa sejuta perubahan nyata bagi kehidupan masyarakat dengan tingkatan
dan level yang berbeda. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa segala cara dan
upaya itu belum maksimal karena masalah-masalah sosial itu masih eksis di
tengah kehidupan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada
khususnya.
Maka,
pada kesempatan ini, penulis akan berusaha mengatasi masalah-masalah sosial itu
dari sisi tilik bidang olahraga. Sebab, olahraga mempromosikan banyak
keunggulan melebihi kemenangan di papan skor: keterampilan fisik, kekuatan,
disiplin, pengorbanan diri, usaha, maksimalisasi potensi, strategi, kecerdasan,
penilaian, kelicikan, pemahaman, ketekunan, ketahanan, dan sejenisnya.[2]
Semua itu ada di setiap cabang olahraga.
Akan
tetapi, di dalam tulisan ini, penulis akan fokus pada cabang olahraga sepak
bola. Sebab, selama ini, ada banyak orang yang menganggap sepak
bola sebagai olahraga biasa tanpa makna. Padahal, sepak bola memiliki
nilai-nilai dan makna-makna penting bagi keberlangsungan hidup manusia,
termasuk dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang dialami oleh manusia. Di
samping itu, sepak bola menjadi olahraga yang paling fenomenal dan paling
disukai oleh warga dunia sejak beberapa abad lalu hingga detik ini. Sepak bola
telah menjadi “dewa baru” saat ini dalam kehidupan masyarakat dunia dari
kalangan bawah sampai kalangan atas, dari anak-anak sampai kaum lansia.
Nils
Havemann, sebagaimana yang ditulis oleh Reza A. A. Wattimena dalam artikel
berjudul “Sepak Bola dan Hidup Kita”, mengatakan bahwa sepak bola adalah sebuah
kultur. Dalam hal ini, kultur berarti cara hidup. Sepak bola sudah begitu
berkembang dan berurat akar sebagai bagian dari cara hidup banyak orang di awal
abad 21 ini. Ia bagaikan udara yang dihirup banyak orang; tak terasa, namun
memiliki arti yang amat penting.[3]
Dalam
kata pengantar buku Football and
Philosophy, Joe Posnanski mengatakan: “In
this fine book, they use football as an opportunity to discuss some of life’s
biggest topics, bold and important ideas that philosophers have
studied through the years (Dalam buku yang bagus ini, mereka menggunakan
sepak bola sebagai kesempatan untuk mendiskusikan beberapa topik terbesar dalam
hidup, ide-ide penting dan berani yang telah dipelajari oleh para filsuf selama
bertahun-tahun).”[4]
Dalam introduksi buku itu juga, Michael W. Austin menegaskan hal yang
disampaikan oleh Posnanski. Austin mengatakan: “One thing that football fans and philosophers have in common is that
they love to argue and often do so with great passion (Satu hal yang
sama-sama dimiliki oleh para penggemar sepak bola dan para filsuf adalah mereka
suka berdebat dan sering melakukannya dengan semangat yang tinggi).”[5]
Pada
titik ini, penulis bisa melihat bahwa kesadaran akan pentingnya peran sepak
bola dalam hidup sudah dirasakan oleh manusia di pelbagai belahan dunia. Bahkan
mereka menghubungkan sepak bola dengan ide dan gagasan filosofis dari para
filsuf besar seperti Marx dan Nietzsche. Hal ini menarik perhatian sekaligus
mendorong penulis untuk mendalami peran sepak bola dalam membentuk peradabaan
hidup manusia. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis
akan berusaha mengulas peran sepak bola dalam mengatasi masalah-masalah sosial
di dalam kehidupan masyarakat kita saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Black Eagle Fc VS Unit Gabriel FC |
II.
Sekilas
tentang Sepak Bola
Ø Asal Muasal
Banyak
sumber yang menyebut asal muasal atau sejarah sepak bola. Di China, cikal bakal
sepak bola konon dimulai pada zaman Dinasti Han pada abad ke-2 dan ke-3 sebelum
masehi. Lalu, di Jepang dan Italia, sepak bola dimulai pada abad ke-16. Namun,
pada umumnya, kita mengakui bahwa Inggris menjadi negara pertama yang mengembangkan
sepak bola menjadi ‘modern’. Maka, pada tahun 1800-an, sepak bola makin
merambah ke berbagai negara di pelosok dunia seiring kedatangan tentara, para
pedagang, dan pelaut Inggris ke negara-negara lain.[6]
Setelah
pembentukan Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) pada tahun 1904, olahraga ini
makin maju dan digemari. Berbagai kompetisi dan turnamen digelar seiring
perbaikan peraturan-peraturan yang diterapkan dalam pertandingan.[7]
Sampai saat ini, pelbagai kompetisi dan turnamen masih terus berlangsung.
Kompetisi dan turnamen sepak bola sangat menarik dan mewarnai kehidupan
masyarakat dunia saat ini dan mungkin akan terus begitu di masa-masa yang akan
datang.
Ø
Pengertian
Secara
singkat, sepak bola merupakan olahraga yang mempertandingkan dua tim,
masing-masing berjumlah 11 pemain, dengan tujuan mencetak gol ke gawang lawan.
Tim paling banyak menjebol gawang lawan akan keluar sebagai pemenang.[8]
Secara internasional, pertandingan sepak bola dimainkan selama 90 menit (2 x 45
menit). Pertandingan itu dibagi ke dalam dua babak. Satu babak dimainkan selama
45 menit.
Selain
pemain, di dalam sepak bola, ada pelatih atau manajer tim, staf kepelatihan, wasit,
suporter,
federasi sepak bola, pemilik klub, dan lain-lain. Mereka bekerja keras di
bidang masing-masing untuk menyukseskan pertandingan sepak bola, baik dalam
bentuk turnamen selama satu musim penuh maupun turnamen yang dilaksanakan
selama satu sampai dua bulan. Kini, pertandingan sepak bola digelar setiap
tahun di seluruh dunia dalam pelbagai turnamen, baik itu dalam skala lokal,
nasional, kontinental maupun internasional.
Ø
Manfaat
Ada
banyak manfaat dari sepak bola. Mantan pelatih Liverpool, salah satu klub sepak
bola di Inggris, Bill Shankly, pernah mengatakan: “Some people believe football is a matter of life and death...it is
much, much more than that. ”[9] Di sini, Shankly menunjukkan kepada kita bahwa
sepak bola itu lebih dari hidup mati para pemain sepak bola. Sepak bola memiliki
nilai dan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar pertandingan. Dia memiliki
sumbangsih besar bagi kehidupan manusia, termasuk dalam memajukan nilai-nilai
kemanusiaan dan pengembangan peradaban. Misalnya, sepak bola melarang para
pemain untuk mengeluarkan kata-kata kasar di dalam dan di luar lapangan untuk
membentuk kebiasaan dan budaya saling menghormati dan menghargai satu sama lain
di dalam dan di luar lapangan.
Lebih
jauh, Vince Lombardi, sebagaimana yang ditulis Raymond Angelo Bellioti,
mengemukakan secara terperinci tujuh hal penting dari sepak bola yang dia sebut
sebagai Seven Blocks of Granite. Hal
itu juga merupakan tujuh tema atau tujuh konsep yang dikembangkan dari filosofinya
sendiri yang berbunyi: “Winning isn’t
everything, it’s the only thing (Menang bukanlah segala-galanya, tetapi hal
itulah satu-satunya yang terpenting).”[10]
Pertama, makna
sepak bola. Pada dasarnya, kontes ini penuh kekerasan dan menuntut tekad 100
persen. Para pemenang dihargai dengan kegembiraan dan kesenangan. Kemudian, permainan
membutuhkan pengorbanan, penyangkalan diri, dedikasi, dan keberanian. Di
samping itu, sepak bola juga melampaui hambatan sosial dan ras dari masyarakat
dunia.
Kedua, nilai
persaingan. Ujian persaingan memacu kita untuk melakukan pengejaran terhadap
keunggulan pribadi. Hanya melalui persaingan, kita dapat memaksimalkan
kemampuan kita yang lebih tinggi. Kita harus menaklukkan diri kita sendiri
sebelum kita dapat menguasai orang lain. Konteks kompetitif ini adalah latihan
dalam penemuan dan penguasaan diri.
Ketiga,
mengejar kesempurnaan. Menang itu hanya bagian dari pencarian atau usaha.
Cita-cita yang lebih besar dari sepak bola ialah mengaktualisasikan bakat kita
sepenuhnya. Sering kali, kemenangan dapat diraih dengan gagalnya pengaktualisasian
bakat. Namun, pengejaran akan kesempurnaan (baca: meraih kemenangan sekaligus
mengaktulisasikan bakat) itulah yang menghidupkan karakter kita: “Semangat,
keinginan untuk unggul, dan keinginan untuk menang.” Ini adalah
kualitas-kualitas yang lebih besar dan lebih penting daripada setiap peristiwa
yang terjadi.
Keempat, menopang
keyakinan bahwa kebebasan individu telah berubah menjadi sesuatu yang salah. Dengan
merasakan perubahan sosial di tahun 1960-an, Lombardi mencurigai perjuangan
yang berabad-abad dari paham kebebasan individu melawan dogmatisme,
otoriterianisme, dan tradisi. Menurut Lombardi, perjuangan itu telah berjalan
terlalu jauh. Kebebasan individu yang tiada henti telah merusak otoritas yang
sah dalam keluarga, disiplin yang bermanfaat dalam pendidikan, dan kode
kesusilaan dalam berperilaku. Akibatnya, kebebasan individu menyebabkan
kekacauan.
Dalam
hal ini, Lombardi melihat potensi kebebasan individu yang mengacaukan itu masuk
ke pelbagai bidang kehidupan manusia, termasuk ke dalam sepak bola.
Bahwasannya, sepak bola akan hancur atau rusak jika kebebasan individu terlalu
mendominasi, tanpa memedulikan usaha bersama sebagai satu tim. Padahal, hal
yang diprioritaskan di dalam sepak bola ialah kerja sama tim, bukan hanya usaha
individu. Maka, sebagai seorang pelatih, Lombardi tidak menyukai dan mengecam
hal semacam itu.
Kelima, nilai
disiplin. Keresahan sosial sebagian besar masyarakat merupakan reaksi terhadap
kepemimpinan yang tidak efektif dalam menjalankan tugasnya. Hal itu dibahasakan
Lombardi dalam pernyataan berikut: “Sementara kebanyakan [orang] berteriak
untuk mandiri, [mereka] pada saat yang sama ingin bergantung kepada pihak-pihak
tertentu, dan sementara sebagian besar orang berteriak untuk menegaskan diri
mereka sendiri, [mereka] pada saat yang sama ingin diberitahu tentang sesuatu
yang harus dilakukan.” Maka, menurut Lombardi, pemimpin yang kuat (baca: yang
disiplin) harus muncul jika nilai kebebasan hancur menjadi sesuatu yang salah.
Pada
titik ini, Lombardi sesungguhnya mau mempromosikan nilai disiplin yang ada di
dalam sepak bola. Bahwasannya, nilai disiplin itu adalah salah satu nilai
terpenting di dalam sepak bola. Sebab, untuk mendapatkan kesuksesan di dalam
sepak bola, semua pihak yang berkaitan dengan sepak bola dituntut untuk disiplin
dalam menjalankan tugas mereka masing-masing. Hal itu akan berdampak pada
pengabaian kehendak pribadi yang tidak sesuai dengan kehendak bersama.
Keenam, keyakinan
bahwa pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan. Kerja keras sebagai dasar dari
semua pencapaian yang berharga sangat penting bagi kepemimpinan. Keseimbangan sebagai
pemimpin juga harus dicapai di dalam cinta dan ketangguhan mental. Ketangguhan
itu terdiri dari pengorbanan, penyangkalan diri, dedikasi, dan keberanian.
Kemudian, cinta mengalir dari ikatan yang terjalin dengan rekan satu tim:
“Cinta yang saya bicarakan ialah kesetiaan. Di samping itu, kerja tim dilihat
sebagai cinta yang dimiliki seseorang untuk orang lain dan bahwa dia
menghormati martabat orang lain. Cinta yang saya bicarakan adalah amal.
[Seorang pemimpin] harus berjalan di atas tali antara persetujuan yang harus
dia menangkan dan kendali yang harus dia gunakan.”
Ketujuh,
keunggulan karakter dan kemauan yang kuat. Mengejar kemenangan dan tujuan yang
diinginkan mencerminkan dan mempertahankan karakter kita. Lombardi mengatakan:
“Meskipun benar bahwa perbedaan antara manusia ada di dalam energi, dalam
kemauan yang kuat, dalam ujian yang telah ditetapkan, dan dalam tekad yang tak
terkalahkan, kepemimpinan baru akan ada dalam pengorbanan seperti penyangkalan
diri, cinta dan kesetiaan, keberanian, kerendahan hati, dan dalam kemauan yang
didisiplinkan dengan sempurna.”
Semua
nilai itu ada di dalam sepak bola. Pada titik ini, Lombardi mengajak setiap orang
untuk mempelajari dan mengimplementasikan nilai-nilai itu di dalam kehidupan
nyata saat ini dan di masa-masa yang akan datang. Agar dengan demikian, hidup
kita menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Selain
itu, dari sisi bisnis, antara tahun 2011-2014, penghasilan FIFA dari setiap
aktivitas sepak bola mencapai sekitar 5,7 miliar dolar AS. Kemudian, pada tahun
2014, dari Piala Dunia, pemasukan untuk FIFA mencapai sekitar 2,4 miliar dolar
AS.[11]
Semuanya itu dikelola FIFA untuk keberlangsungan sepak bola dunia dan pelbagai
aktivitas kemanusiaan yang diprakarsai oleh FIFA sendiri.
Tim Black Eagle FC berpose berama P. Itho Dhogo, Prefek (Baju Putih) |
III.
Belajar
dari Sepak Bola
Untuk
membentuk hidup yang lebih baik, kita perlu belajar dari sepak bola. Paling
tidak, kita belajar untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti budaya patriarki
yang sangat dominatif di kalangan masyarakat kita, intoleransi, rasisme, dan
kemiskinan yang masih melilit kehidupan masyarakat kita hingga saat ini.
Pertama, budaya patriarki. Selama ini, budaya patriarki sangat
dominan di kalangan masyarakat kita. Ada banyak hal yang boleh dilakukan oleh
laki-laki, tetapi tidak boleh dilakukan oleh perempuan. Akibatnya, masyarakat
kita sering melihat posisi laki-laki lebih superior
dibandingkan posisi perempuan. Hal itu berdampak terhadap sikap, perilaku dan
tindakan laki-laki terhadap perempuan yang cenderung sewenang-wenang.
Bernard
Raho, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi, mengaitkan hal ini dengan stratifikasi sosial
berdasarkan jender. Bahwasannya, dalam stratifikasi sosial semacam itu, wanita
umumnya menempati posisi yang lebih rendah daripada pria, memperoleh
penghasilan yang lebih rendah daripada pria, mendapat kebebasan yang lebih
sedikit daripada pria, serta menempati status sosial yang lebih rendah daripada
pria.[12]
Maka,
untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Sebab, di
dalam sepak bola, khususnya di Eropa, Amerika, dan Jepang saat ini, kaum hawa
boleh terlibat, bahkan menjadi bagian penting dari sepak bola. Para pengurus
sepak bola di sana mengadakan pertandingan sepak bola perempuan, sehingga sepak
bola perempuan itu merambah ke seluruh dunia hingga saat ini. Di samping itu,
mereka juga mempercayakan perempuan untuk menjadi wasit utama atau hakim garis di
dalam pertandingan sepak bola pria. Kemudian, respon terhadap wasit atau hakim
garis perempuan sangat baik. Para pemain sepak bola pria sangat menghargai
wasit, termasuk wasit atau hakim garis perempuan. Mereka tidak melakukan
tindakan kekerasan terhadap wasit, termasuk wasit atau hakim garis perempuan.
Dalam
hal ini, sepak bola turut membentuk peradabaan yang layak dan pantas untuk perempuan
dan laki-laki. Artinya, perempuan dan laki-laki tidak diposisikan secara
vertikal, tetapi diposisikan secara horizontal. Perempuan dan laki-laki tidak berbeda
dalam kodrat dan derajat kemanusiaan, tetapi sama. Oleh karena itu, antara
laki-laki dan perempuan, sikap saling menghargai dan menghormati itu sangat
penting, tanpa memposisikan perempuan dan laki-laki secara berbeda.
Kedua, intoleransi. Selama ini,
persoalan intoleransi sering terjadi di tengah masyarakat kita. Ada banyak
orang yang saling membenci karena perbedaan agama. Bahkan, kebencian itu
berujung pada aksi-aksi kekerasan, pengrusakan dan pembakaran rumah ibadat,
serta pembunuhan terhadap umat-umat agama lain. Misalnya, beberapa waktu lalu,
aksi terorisme terjadi di depan gereja Katedral Makassar dan Surabaya.
Maka,
untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Sebab, dalam
sepak bola, perbedaan agama dari para pemain tidak menjadi persoalan bagi para
pemain, tim-tim sepak bola, dan para pengurus sepak bola di berbagai negara.
Mereka sangat menghargai dan menghormati kepercayaan atau iman dari rekan-rekan
setim dan semua orang yang terlibat dalam aktivitas sepak bola.
Dalam
hal ini, sepak bola menunjukkan cara hidup beragama yang baik dan benar.
Bahwasannya, sebagai umat beragama, kita mestinya saling menghormati dan
menghargai iman atau kepercayaan dari sesama kita. Sebab, kita beriman dan
percaya kepada Allah yang sama, walaupun diungkapkan dengan cara yang berbeda.
Ketiga, rasisme. Selama ini, rasisme
sering terjadi di tengah masyarakat kita. Ada banyak orang yang tidak
menghormati dan menghargai perbedaan ras satu sama lain. Bentuk konkret dari
hal semacam itu tampak dalam genosida, bullying,
penolakan terhadap orang yang memiliki warna kulit berbeda, dan yang lainnya.
Biasanya,
orang yang berkulit hitam dan berambut keriting dinilai lebih inferior daripada
orang yang berkulit putih dan berambut lurus. Hal itu pernah terjadi di Afrika
Selatan dalam politik Apartheid. Orang Eropa yang berkulit putih dan berambut
lurus dianggap lebih unggul dalam segala hal daripada penduduk asli Afrika
Selatan yang berkulit hitam dan berambut keriting. Akibatnya, sikap, perilaku
dan tindakan diskriminatif terjadi di pelbagai bidang kehidupan seperti bidang
sosial-politik, ekonomi, hukum, budaya, seni, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain.[13]
Maka,
untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Menurut
Handoko, sepak bola menjadi cabang olahraga yang paling multikultural di antara
cabang olahraga yang lain. Sepak bola menjadi salah satu olahraga yang berhasil
mendobrak sekat sosial, kultural, etnis, agama, ideologi, dan negara.
Sportivitas sepak bola dimaknai dengan sikap inklusif oleh seluruh pihak yang
berhubungan dengan sepak bola seperti pemain, pelatih, suporter, wasit, dan
lain-lain. Dalam hal ini, sepak bola adalah medan belajar untuk menghilangkan
etnosentrisme, fanatisme dan eksklusivisme sempit.[14]
Hal
yang sama disampaikan juga oleh Reza Wattimena. Secara gamblang, dia
mengatakan:
Sepak bola
adalah kegiatan sosial. Ia melibatkan banyak orang. Ia mengandaikan adanya
komunitas, dan kemudian mengembangkan ikatan komunitas tersebut. Ia kerap
menjadi jembatan yang menghubungkan orang-orang yang berbeda, tepat ketika
ikatan-ikatan lama, seperti agama, negara dan ras, sudah tidak lagi berfungsi. Dalam
arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, bahwa sepak bola adalah bahasa
universal. Sepak bola adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang,
walaupun mereka berasal dari budaya dan agama yang berbeda. Sepak bola memiliki
peran besar untuk membentuk dan mempertahankan komunitas. Di tingkat politik,
sepak bola juga memiliki kemungkinan besar untuk menciptakan perdamaian.[15]
Tak
heran, rasisme itu ditolak di dalam sepak bola. Para pemain, tim-tim sepak
bola, maupun federasi-federasi sepak bola di berbagai negara bersikap tegas
terhadap rasisme. Mereka benci rasisme. Bila terjadi sikap, perilaku dan
tindakan rasis di dalam pertandingan, pertandingan itu akan dibatalkan atau diberhentikan.
Kemudian, pihak yang melakukan tindakan rasis akan menerima sanksi yang setimpal
dengan perbuatannya.
Dalam
hal ini, sepak bola menunjukkan sikap tegas untuk menolak hal-hal yang tidak
baik di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Bahwasannya, hal-hal yang tidak
baik seperti rasisme itu tidak pantas dan layak ada di dalam hidup kita sebagai
manusia yang bermartabat. Oleh karena itu, kita hendaknya saling menghormati
dan menghargai satu sama lain, apapun bentuk dan model ras kita.
Keempat, kemiskinan. Persoalan
kemiskinan masih melilit kehidupan masyarakat kita. Selain disebabkan oleh
struktur sosial yang tidak adil, kemiskinan juga disebabkan oleh sikap malas
dan mental instan dari masyarakat kita. Akibatnya, ada banyak masyarakat kita
yang hidup tidak layak di bawah garis kemiskinan.
Maka,
untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Sebab, dalam
sepak bola, para pemain sepak bola sangat disiplin dalam menjalani kehidupan
mereka. Mereka bekerja keras dan berlatih dengan tekun. Alhasil, sepak bola
mampu melahirkan nama-nama besar seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Pele,
Diego Maradona, Ronaldo Nazario, dan lain-lain.
Cristiano
Ronaldo sendiri pernah berkata: “Bumbu utama untuk menjadi pesepak bola hebat
ialah bakat. Tanpa itu, Anda tidak akan bisa berbuat banyak. Namun, bakat tidak
akan berguna tanpa kerja keras. Tidak ada sesuatu yang jatuh dari langit. Saya
tidak akan meraih semua ini tanpa kerja keras.” [16]
Pada
titik ini, Ronaldo menunjukkan kepada kita bahwa kerja keras itu sangat penting
untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Sebab, Ronaldo yang secara historis
adalah anak orang miskin di Madeira-Portugal, mampu menjadi orang hebat dan
sukses karena kerja keras dan disiplin dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, kerja
keras Ronaldo menjadi contoh konkret bagi kita saat ini. Bahwasannya, kita
mesti disiplin dan bekerja keras dalam menjalankan kehidupan supaya bisa sukses.
Hal ini disetujui
Friedrich Nietzsche (1844-1900). Nietzsche, seperti Marx, memandang pengarahan
tenaga, energi, antusiasme, dan kerja keras sebagai sesuatu yang berharga.[17]
Sebab, kerja keras adalah sesuatu yang positif dan diterima secara sosial
kemasyarakatan dalam mengusahakan dan mengupayakan segala sesuatu yang hendak
digapai.
IV.
Hal-Hal
yang Memprihatinkan dari Sepak Bola
Selain
beberapa hal positif di atas, ada juga hal-hal yang memprihatinkan dari sepak
bola. Di dalam tulisan ini, penulis akan menyebutkan dan menjelaskan
sekurang-kurangnya dua hal negatif yang masih melekat di dalam dunia sepak
bola, di antaranya korupsi dan budaya konsumerisme.
Pertama, korupsi.
Beberapa waktu lalu, publik dunia, khususnya para pencinta sepak bola, sempat
dihebohkan atau digemparkan oleh isu penyelenggaraan turnamen European Super League (Liga Super Eropa)[18]
di Eropa. Setelah ditinjau lebih jauh, salah satu alasan diadakannya turnamen
ini ialah kecurigaan terhadap Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA). UEFA dicurigai tidak
transparan dan melakukan korupsi terhadap dana yang dikumpulkan oleh semua tim
pengikut kompetisi. Tiga klub besar Eropa, Barcelona, Juventus, dan Real
Madrid, menegaskan bahwa mereka punya tugas menyikapi isu serius sepak bola.
UEFA sudah menjadi pengatur tunggal, pelaksana, dan pemilik kompetisi sepak
bola Eropa. Posisi demikian adalah konflik kepentingan yang merusak sepak bola
dan keseimbangan kompetisi.[19]
Meskipun
ada pembelaan dari UEFA yang diwakili oleh Presiden UEFA, Aleksander ÄŒeferin,
indikasi korupsi itu tetap ada. Ronald Koeman, pelatih FC Barcelona, mengatakan
bahwa semua orang bicara soal Liga Super atau Liga Champions [dengan format
baru] atau cara lain bermain di Eropa. UEFA berbicara banyak, tetapi tidak
melakukan atau mendukung orang-orang sepak bola, bukan manajer atau pelatih,
tentang jumlah permainan. Yang terpenting bagi mereka adalah uang.[20]
Untuk
konteks Indonesia, Reza Wattimena mengatakan bahwa Federasi Sepak Bola
Indonesia yang biasa disebut sebagai Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia
(PSSI) sering macet karena korupsi di dalam tubuh PSSI sendiri.[21]
Akibatnya, penyelenggaraan turnamen Liga Indonesia yang sekarang disebut Liga 1
sering tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Kedua, budaya
konsumerisme. Selain korupsi, salah satu hal yang memprihatinkan dari dunia
sepak bola ialah lahirnya budaya konsumerisme. Sebab, sebagaimana yang sudah
penulis sampaikan di bagian terdahulu, bahwasannya sepak bola melibatkan banyak
orang yang mengandaikan adanya komunitas. Tentunya, keterlibatan komunitas ini
melahirkan beragam bentuk sikap dan perilaku sosial yang menjadi ciri khas dari
komunitas itu, termasuk budaya konsumerisme.
Menurut Havemann, sebagaimana yang dikutip Reza
Wattimena, hal itu disebabkan oleh daya tarik sepak bola yang membantu orang
untuk merasa menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut sebagai proses
identifikasi (Identifizierungsprozess).[22]
Para pencinta sepak bola mengidentifikasikan diri mereka dengan para pemain
sepak bola. Sebab, para pemain sepak bola juga menjadi bintang dari berbagai
iklan barang-barang konsumsi, mulai dari celana dalam sampai pesawat terbang.
Mereka menjadi panutan masyarakat, terutama dalam hal penampilan dan gaya
hidup. Mereka mengubah tata nilai masyarakat; menumbangkan nilai lama, dan
melahirkan nilai-nilai baru yang tak terpikirkan sebelumnya.[23]
Konkretnya, ada banyak football lovers yang mengikuti gaya hidup dari pemain sepak bola
untuk memiliki sepatu, baju, celana, bahkan kendaraan seperti yang dimiliki
para pemain sepak bola. Padahal, ada banyak football
lovers yang memiliki pendapatan rendah dan tidak seperti para pemain sepak
bola yang notabene memiliki
pendapatan tinggi. Akibatnya, ada
banyak football lovers yang jatuh
dalam “favoritisme” yang konyol.
V.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sepak bola memiliki peran penting dalam membentuk peradaban dunia. Sebab, sepak bola tidak hanya mempertontonkan pertandingan yang sengit dan alot, tetapi juga mempromosikan nilai-nilai yang urgen, aktual, relevan, dan menantang bagi hidup manusia zaman now. Oleh karena itu, penulis berharap agar sepak bola dapat memberi pelajaran dan menginspirasi kita semua untuk membentuk hidup kita menjadi lebih baik. Salam olahraga!
Daftar Pustaka
Adisty, Lariza Oky.
“Menang atas UEFA di Pengadilan, Real Madrid, Barcelona, dan Juventus Ngotot
Teruskan European Super League”. Bolasport.com, 31 Juli 2021. <https://www.bolasport.com/amp/read/312815038/menang-atas-uefa-di-pengadilan-real-madrid-barcelona-dan-juventus-ngotot-teruskan-european-super-league>, diakses pada 3 September
2021.
Austin, Michael W.
(ed.). Football and Philosophy.
Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008.
Jati, Aning. “40 Kata-Kata Motivasi dan Inspirasi
Sepak Bola, Lebih dari Sekadar Olahraga”. Bola.com,
30 November 2020. <https://www.bola.com/ragam/read/4421133/40-kata-kata-motivasi-dan-inspirasi-sepak-bola-lebih-dari-sekadar-olahraga>,
diakses pada 7 April 2021.
Mantero, Rikardus. “Say No to Racism”. The Collumnist, 3 Februari 2021.
Mirza, Muhammad. “Cristiano
Ronaldo: Bakat Tidak Ada Gunanya Tanpa Kerja Keras”. Sindonews.com,
30 Oktober 2019. <https://sports.sindonews.com/berita/1453568/11/cristiano-ronaldo-bakat-tidak-ada-gunanya-tanpa-kerja-keras>, diakses pada 7 April 2021.
Raho, Bernard. Sosiologi.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2016.
Satria, Mas Yongky,
dkk. “Bonek Tionghoa: Menolak Rasisme melalui Komunikasi Simbolik”. Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 9,
No. 1, September 2020.
Simandjuntak, Fritz E. “Makna Sepak
Bola”. Www.pssi.org,
1 Juni 2015. <https://www.pssi.org/news/makna-sepak-bola>, diakses pada 7 April 2021.
[t.p]. “Liga Super
Eropa (European Super League)”. Wikipedia.org,
16 Mei 2021. <https://id.m.wikipedia.org/wiki/Liga_Super_Eropa>, diakses pada 3
September 2021.
[t.p]. “Kisruh European
Super League, Koeman Kritik UEFA Mata Duitan”. Cnnindonesia.com, 21 April 2021. <https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210421213041-142-633086/kisruh-european-super-league-koeman-kritik-uefa-mata-duitan>, diakses pada 3
September 2021.
Wattimena, Reza A. A.
“Sepak Bola dan Hidup Kita”. Rumah
Filsafat.com, 31 Maret 2014. <https://rumahfilsafat.com/2014/03/31/sepak-bola-dan-hidup-kita/>,
diakses pada 3 September 2021.
[1] Tulisan ini pernah
dipublikasikan di Svdlaatnatas.blogspot.com
dengan judul “Belajar dari Sepak Bola” pada tanggal 10 Januari 2021. Namun,
pada kesempatan ini, penulis mengubah judul tulisan itu, sekaligus memperdalam materi
tulisan ini dengan menambahkan beberapa hal yang perlu dan penting,
terisitimewa untuk menambah refrensi dalam makalah yang akan dipresentasikan di
Unit Agustinus pada tanggal 10 April 2021.
[2] Raymond Angelo
Belliotti, “Vince Lombardi and The
Philosophy of Winning”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky,
2008), hlm. 13.
[3] Reza A. A. Wattimena,
“Sepak Bola dan Hidup Kita”, dalam https://rumahfilsafat.com/2014/03/31/sepak-bola-dan-hidup-kita/, diakses pada 3
September 2021.
[4]Joe Posnanski,
“Foreword”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football
and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008), hlm. vii-vii.
[5] Michael W. Austin,
“Introduction: The Pregame Warm-up”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football and Philosophy (Kentucky: The
University Press of Kentucky, 2008), hlm. 2.
[6] Aning
Jati, “40 Kata-Kata Motivasi dan Inspirasi Sepak Bola, Lebih dari Sekadar
Olahraga”, dalam https://www.bola.com/ragam/read/4421133/40-kata-kata-motivasi-dan-inspirasi-sepak-bola-lebih-dari-sekadar-olahraga,
diakses pada 7 April 2021.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Fritz E. Simandjuntak, “Makna Sepak Bola”, dalam https://www.pssi.org/news/makna-sepak-bola, diakses pada 7 April 2021.
[10] Pada bagian ini,
sebagian besar penulis mengambil ulasan dari Raymond Angelo Belliotti, “Vince Lombardi and The Philosophy of Winning”,
dalam Michael W. Austin (ed.), Football
and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008), hlm.
7-8. Namun, penulis juga menambahkan beberapa hal yang perlu untuk memperjelas
maksud dari Lombardi, sebagaimana yang ditulis oleh Belliotti.
[11] Fritz E Simandjuntak, loc.cit.
[12] Bernard Raho, SVD, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero,
2016), hlm. 220.
[13] Rikardus Mantero, “Say No to Racism”, The Collumnist, 3 Februari 2021.
[14] Mas Yongky Satria, dkk.,
“Bonek Tionghoa: Menolak Rasisme melalui Komunikasi Simbolik”, Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, 9:1
(Surabaya: September 2020), hlm. 4-5.
[15] Reza A. A. Wattimena, loc.cit.
[16] Muhammad Mirza, “Cristiano Ronaldo: Bakat Tidak Ada
Gunanya Tanpa Kerja Keras”, dalam https://sports.sindonews.com/berita/1453568/11/cristiano-ronaldo-bakat-tidak-ada-gunanya-tanpa-kerja-keras, diakses pada 7 April 2021.
[17] Raymond Angelo
Belliotti, op.cit., hlm. 15.
[18] Liga Super Eropa adalah
sebuah bakal kompetisi sepak bola antarklub internasional yang mempertemukan
klub-klub besar Eropa sebagai “tandingan” dari Liga Champions UEFA. Setelah
beragam spekulasi terkait pembentukan kompetisi “Liga Super Eropa”, kompetisi
ini didirikan oleh dua belas papan atas Eropa (Arsenal, Chelsea, Liverpool,
Manchester City, Manchester United, Tottenham Hotspur, Inter Milan, Juventus,
Ac Milan, Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid) dan diperkenalkan secara
resmi pada bulan April 2021. Presiden klub sepak bola Spanyol, Real Madrid,
adalah direktur utama dari organisasi ini (Bdk. [t.p], “Liga Super Eropa
(European Super League)”, dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Liga_Super_Eropa, diakses pada 3
September 2021).
[19] Lariza Oky Adisty,
“Menang atas UEFA di Pengadilan, Real Madrid, Barcelona, dan Juventus Ngotot
Teruskan European Super League”, dalam https://www.bolasport.com/amp/read/312815038/menang-atas-uefa-di-pengadilan-real-madrid-barcelona-dan-juventus-ngotot-teruskan-european-super-league, diakses pada 3
September 2021.
[20] [t.p], “Kisruh European
Super League, Koeman Kritik UEFA Mata Duitan”, dalam https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210421213041-142-633086/kisruh-european-super-league-koeman-kritik-uefa-mata-duitan, diakses pada 3
September 2021.
[21] Reza A. A. Wattimena, loc.cit.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
0 Comments