Peran Sepak Bola dalam Membentuk Peradaban Hidup Manusia II Rikardus Mantero

 

TEMA BESAR: FILSAFAT DAN SEPAK BOLA

Peran Sepak Bola dalam Membentuk Peradaban Hidup Manusia[1]

Rikardus Mantero

I.          Pendahuluan

Ada banyak fenomena dunia yang dapat membantu manusia untuk berkembang dan maju. Kita bisa menyebutkan beberapa contoh seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan bisnis kreatif, kemajuan-kemajuan terkini di pelbagai bidang olahraga, dan yang lainnya.

Fenomena-fenomena itu dapat membantu manusia untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat kita. Sebab, pada dasarnya, masalah-masalah sosial itu telah mengganggu dan meresahkan kehidupan masyarakat global. Bahkan, ada banyak masyarakat yang menderita karena masalah-masalah sosial itu. Masalah-masalah sosial itu di antaranya rasisme, intoleransi, kekerasan terhadap perempuan, kemiskinan dan yang lainnya.

Ada banyak cara dan upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial itu, baik itu cara dan upaya di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, agama, seni, dan lain-lain. Cara dan upaya yang sudah dilakukan itu telah membawa sejuta perubahan nyata bagi kehidupan masyarakat dengan tingkatan dan level yang berbeda. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa segala cara dan upaya itu belum maksimal karena masalah-masalah sosial itu masih eksis di tengah kehidupan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya.

Maka, pada kesempatan ini, penulis akan berusaha mengatasi masalah-masalah sosial itu dari sisi tilik bidang olahraga. Sebab, olahraga mempromosikan banyak keunggulan melebihi kemenangan di papan skor: keterampilan fisik, kekuatan, disiplin, pengorbanan diri, usaha, maksimalisasi potensi, strategi, kecerdasan, penilaian, kelicikan, pemahaman, ketekunan, ketahanan, dan sejenisnya.[2] Semua itu ada di setiap cabang olahraga.

Akan tetapi, di dalam tulisan ini, penulis akan fokus pada cabang olahraga sepak bola. Sebab, selama ini, ada banyak orang yang menganggap sepak bola sebagai olahraga biasa tanpa makna. Padahal, sepak bola memiliki nilai-nilai dan makna-makna penting bagi keberlangsungan hidup manusia, termasuk dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang dialami oleh manusia. Di samping itu, sepak bola menjadi olahraga yang paling fenomenal dan paling disukai oleh warga dunia sejak beberapa abad lalu hingga detik ini. Sepak bola telah menjadi “dewa baru” saat ini dalam kehidupan masyarakat dunia dari kalangan bawah sampai kalangan atas, dari anak-anak sampai kaum lansia.

Nils Havemann, sebagaimana yang ditulis oleh Reza A. A. Wattimena dalam artikel berjudul “Sepak Bola dan Hidup Kita”, mengatakan bahwa sepak bola adalah sebuah kultur. Dalam hal ini, kultur berarti cara hidup. Sepak bola sudah begitu berkembang dan berurat akar sebagai bagian dari cara hidup banyak orang di awal abad 21 ini. Ia bagaikan udara yang dihirup banyak orang; tak terasa, namun memiliki arti yang amat penting.[3]

Dalam kata pengantar buku Football and Philosophy, Joe Posnanski mengatakan: “In this fine book, they use football as an opportunity to discuss some of life’s biggest  topics, bold  and important ideas that philosophers have studied through the years (Dalam buku yang bagus ini, mereka menggunakan sepak bola sebagai kesempatan untuk mendiskusikan beberapa topik terbesar dalam hidup, ide-ide penting dan berani yang telah dipelajari oleh para filsuf selama bertahun-tahun).”[4] Dalam introduksi buku itu juga, Michael W. Austin menegaskan hal yang disampaikan oleh Posnanski. Austin mengatakan: “One thing that football fans and philosophers have in common is that they love to argue and often do so with great passion (Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh para penggemar sepak bola dan para filsuf adalah mereka suka berdebat dan sering melakukannya dengan semangat yang tinggi).”[5]

Pada titik ini, penulis bisa melihat bahwa kesadaran akan pentingnya peran sepak bola dalam hidup sudah dirasakan oleh manusia di pelbagai belahan dunia. Bahkan mereka menghubungkan sepak bola dengan ide dan gagasan filosofis dari para filsuf besar seperti Marx dan Nietzsche. Hal ini menarik perhatian sekaligus mendorong penulis untuk mendalami peran sepak bola dalam membentuk peradabaan hidup manusia. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis akan berusaha mengulas peran sepak bola dalam mengatasi masalah-masalah sosial di dalam kehidupan masyarakat kita saat ini dan di masa-masa yang akan datang.

Black Eagle Fc VS Unit Gabriel FC

II.          Sekilas tentang Sepak Bola

Ø Asal Muasal

Banyak sumber yang menyebut asal muasal atau sejarah sepak bola. Di China, cikal bakal sepak bola konon dimulai pada zaman Dinasti Han pada abad ke-2 dan ke-3 sebelum masehi. Lalu, di Jepang dan Italia, sepak bola dimulai pada abad ke-16. Namun, pada umumnya, kita mengakui bahwa Inggris menjadi negara pertama yang mengembangkan sepak bola menjadi ‘modern’. Maka, pada tahun 1800-an, sepak bola makin merambah ke berbagai negara di pelosok dunia seiring kedatangan tentara, para pedagang, dan pelaut Inggris ke negara-negara lain.[6]

Setelah pembentukan Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) pada tahun 1904, olahraga ini makin maju dan digemari. Berbagai kompetisi dan turnamen digelar seiring perbaikan peraturan-peraturan yang diterapkan dalam pertandingan.[7] Sampai saat ini, pelbagai kompetisi dan turnamen masih terus berlangsung. Kompetisi dan turnamen sepak bola sangat menarik dan mewarnai kehidupan masyarakat dunia saat ini dan mungkin akan terus begitu di masa-masa yang akan datang.

Ø Pengertian

Secara singkat, sepak bola merupakan olahraga yang mempertandingkan dua tim, masing-masing berjumlah 11 pemain, dengan tujuan mencetak gol ke gawang lawan. Tim paling banyak menjebol gawang lawan akan keluar sebagai pemenang.[8] Secara internasional, pertandingan sepak bola dimainkan selama 90 menit (2 x 45 menit). Pertandingan itu dibagi ke dalam dua babak. Satu babak dimainkan selama 45 menit.

Selain pemain, di dalam sepak bola, ada pelatih atau manajer tim, staf kepelatihan, wasit, suporter, federasi sepak bola, pemilik klub, dan lain-lain. Mereka bekerja keras di bidang masing-masing untuk menyukseskan pertandingan sepak bola, baik dalam bentuk turnamen selama satu musim penuh maupun turnamen yang dilaksanakan selama satu sampai dua bulan. Kini, pertandingan sepak bola digelar setiap tahun di seluruh dunia dalam pelbagai turnamen, baik itu dalam skala lokal, nasional, kontinental maupun internasional.

Ø Manfaat

Ada banyak manfaat dari sepak bola. Mantan pelatih Liverpool, salah satu klub sepak bola di Inggris, Bill Shankly, pernah mengatakan: “Some people believe football is a matter of life and death...it is much, much more than that. [9] Di sini, Shankly menunjukkan kepada kita bahwa sepak bola itu lebih dari hidup mati para pemain sepak bola. Sepak bola memiliki nilai dan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar pertandingan. Dia memiliki sumbangsih besar bagi kehidupan manusia, termasuk dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan dan pengembangan peradaban. Misalnya, sepak bola melarang para pemain untuk mengeluarkan kata-kata kasar di dalam dan di luar lapangan untuk membentuk kebiasaan dan budaya saling menghormati dan menghargai satu sama lain di dalam dan di luar lapangan.

Lebih jauh, Vince Lombardi, sebagaimana yang ditulis Raymond Angelo Bellioti, mengemukakan secara terperinci tujuh hal penting dari sepak bola yang dia sebut sebagai Seven Blocks of Granite. Hal itu juga merupakan tujuh tema atau tujuh konsep yang dikembangkan dari filosofinya sendiri yang berbunyi: “Winning isn’t everything, it’s the only thing (Menang bukanlah segala-galanya, tetapi hal itulah satu-satunya yang terpenting).”[10]

Pertama, makna sepak bola. Pada dasarnya, kontes ini penuh kekerasan dan menuntut tekad 100 persen. Para pemenang dihargai dengan kegembiraan dan kesenangan. Kemudian, permainan membutuhkan pengorbanan, penyangkalan diri, dedikasi, dan keberanian. Di samping itu, sepak bola juga melampaui hambatan sosial dan ras dari masyarakat dunia.

Kedua, nilai persaingan. Ujian persaingan memacu kita untuk melakukan pengejaran terhadap keunggulan pribadi. Hanya melalui persaingan, kita dapat memaksimalkan kemampuan kita yang lebih tinggi. Kita harus menaklukkan diri kita sendiri sebelum kita dapat menguasai orang lain. Konteks kompetitif ini adalah latihan dalam penemuan dan penguasaan diri.

Ketiga, mengejar kesempurnaan. Menang itu hanya bagian dari pencarian atau usaha. Cita-cita yang lebih besar dari sepak bola ialah mengaktualisasikan bakat kita sepenuhnya. Sering kali, kemenangan dapat diraih dengan gagalnya pengaktualisasian bakat. Namun, pengejaran akan kesempurnaan (baca: meraih kemenangan sekaligus mengaktulisasikan bakat) itulah yang menghidupkan karakter kita: “Semangat, keinginan untuk unggul, dan keinginan untuk menang.” Ini adalah kualitas-kualitas yang lebih besar dan lebih penting daripada setiap peristiwa yang terjadi.

Keempat, menopang keyakinan bahwa kebebasan individu telah berubah menjadi sesuatu yang salah. Dengan merasakan perubahan sosial di tahun 1960-an, Lombardi mencurigai perjuangan yang berabad-abad dari paham kebebasan individu melawan dogmatisme, otoriterianisme, dan tradisi. Menurut Lombardi, perjuangan itu telah berjalan terlalu jauh. Kebebasan individu yang tiada henti telah merusak otoritas yang sah dalam keluarga, disiplin yang bermanfaat dalam pendidikan, dan kode kesusilaan dalam berperilaku. Akibatnya, kebebasan individu menyebabkan kekacauan.

Dalam hal ini, Lombardi melihat potensi kebebasan individu yang mengacaukan itu masuk ke pelbagai bidang kehidupan manusia, termasuk ke dalam sepak bola. Bahwasannya, sepak bola akan hancur atau rusak jika kebebasan individu terlalu mendominasi, tanpa memedulikan usaha bersama sebagai satu tim. Padahal, hal yang diprioritaskan di dalam sepak bola ialah kerja sama tim, bukan hanya usaha individu. Maka, sebagai seorang pelatih, Lombardi tidak menyukai dan mengecam hal semacam itu.

Kelima, nilai disiplin. Keresahan sosial sebagian besar masyarakat merupakan reaksi terhadap kepemimpinan yang tidak efektif dalam menjalankan tugasnya. Hal itu dibahasakan Lombardi dalam pernyataan berikut: “Sementara kebanyakan [orang] berteriak untuk mandiri, [mereka] pada saat yang sama ingin bergantung kepada pihak-pihak tertentu, dan sementara sebagian besar orang berteriak untuk menegaskan diri mereka sendiri, [mereka] pada saat yang sama ingin diberitahu tentang sesuatu yang harus dilakukan.” Maka, menurut Lombardi, pemimpin yang kuat (baca: yang disiplin) harus muncul jika nilai kebebasan hancur menjadi sesuatu yang salah.

Pada titik ini, Lombardi sesungguhnya mau mempromosikan nilai disiplin yang ada di dalam sepak bola. Bahwasannya, nilai disiplin itu adalah salah satu nilai terpenting di dalam sepak bola. Sebab, untuk mendapatkan kesuksesan di dalam sepak bola, semua pihak yang berkaitan dengan sepak bola dituntut untuk disiplin dalam menjalankan tugas mereka masing-masing. Hal itu akan berdampak pada pengabaian kehendak pribadi yang tidak sesuai dengan kehendak bersama.

Keenam, keyakinan bahwa pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan. Kerja keras sebagai dasar dari semua pencapaian yang berharga sangat penting bagi kepemimpinan. Keseimbangan sebagai pemimpin juga harus dicapai di dalam cinta dan ketangguhan mental. Ketangguhan itu terdiri dari pengorbanan, penyangkalan diri, dedikasi, dan keberanian. Kemudian, cinta mengalir dari ikatan yang terjalin dengan rekan satu tim: “Cinta yang saya bicarakan ialah kesetiaan. Di samping itu, kerja tim dilihat sebagai cinta yang dimiliki seseorang untuk orang lain dan bahwa dia menghormati martabat orang lain. Cinta yang saya bicarakan adalah amal. [Seorang pemimpin] harus berjalan di atas tali antara persetujuan yang harus dia menangkan dan kendali yang harus dia gunakan.”

Ketujuh, keunggulan karakter dan kemauan yang kuat. Mengejar kemenangan dan tujuan yang diinginkan mencerminkan dan mempertahankan karakter kita. Lombardi mengatakan: “Meskipun benar bahwa perbedaan antara manusia ada di dalam energi, dalam kemauan yang kuat, dalam ujian yang telah ditetapkan, dan dalam tekad yang tak terkalahkan, kepemimpinan baru akan ada dalam pengorbanan seperti penyangkalan diri, cinta dan kesetiaan, keberanian, kerendahan hati, dan dalam kemauan yang didisiplinkan dengan sempurna.”

Semua nilai itu ada di dalam sepak bola. Pada titik ini, Lombardi mengajak setiap orang untuk mempelajari dan mengimplementasikan nilai-nilai itu di dalam kehidupan nyata saat ini dan di masa-masa yang akan datang. Agar dengan demikian, hidup kita menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Selain itu, dari sisi bisnis, antara tahun 2011-2014, penghasilan FIFA dari setiap aktivitas sepak bola mencapai sekitar 5,7 miliar dolar AS. Kemudian, pada tahun 2014, dari Piala Dunia, pemasukan untuk FIFA mencapai sekitar 2,4 miliar dolar AS.[11] Semuanya itu dikelola FIFA untuk keberlangsungan sepak bola dunia dan pelbagai aktivitas kemanusiaan yang diprakarsai oleh FIFA sendiri.

 

 

Tim Black Eagle FC berpose berama P. Itho Dhogo, Prefek (Baju Putih) 

III.          Belajar dari Sepak Bola

Untuk membentuk hidup yang lebih baik, kita perlu belajar dari sepak bola. Paling tidak, kita belajar untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti budaya patriarki yang sangat dominatif di kalangan masyarakat kita, intoleransi, rasisme, dan kemiskinan yang masih melilit kehidupan masyarakat kita hingga saat ini.

Pertama, budaya patriarki. Selama ini, budaya patriarki sangat dominan di kalangan masyarakat kita. Ada banyak hal yang boleh dilakukan oleh laki-laki, tetapi tidak boleh dilakukan oleh perempuan. Akibatnya, masyarakat kita sering melihat posisi laki-laki lebih superior dibandingkan posisi perempuan. Hal itu berdampak terhadap sikap, perilaku dan tindakan laki-laki terhadap perempuan yang cenderung sewenang-wenang.

Bernard Raho, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi,  mengaitkan hal ini dengan stratifikasi sosial berdasarkan jender. Bahwasannya, dalam stratifikasi sosial semacam itu, wanita umumnya menempati posisi yang lebih rendah daripada pria, memperoleh penghasilan yang lebih rendah daripada pria, mendapat kebebasan yang lebih sedikit daripada pria, serta menempati status sosial yang lebih rendah daripada pria.[12]

Maka, untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Sebab, di dalam sepak bola, khususnya di Eropa, Amerika, dan Jepang saat ini, kaum hawa boleh terlibat, bahkan menjadi bagian penting dari sepak bola. Para pengurus sepak bola di sana mengadakan pertandingan sepak bola perempuan, sehingga sepak bola perempuan itu merambah ke seluruh dunia hingga saat ini. Di samping itu, mereka juga mempercayakan perempuan untuk menjadi wasit utama atau hakim garis di dalam pertandingan sepak bola pria. Kemudian, respon terhadap wasit atau hakim garis perempuan sangat baik. Para pemain sepak bola pria sangat menghargai wasit, termasuk wasit atau hakim garis perempuan. Mereka tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap wasit, termasuk wasit atau hakim garis perempuan.

Dalam hal ini, sepak bola turut membentuk peradabaan yang layak dan pantas untuk perempuan dan laki-laki. Artinya, perempuan dan laki-laki tidak diposisikan secara vertikal, tetapi diposisikan secara horizontal. Perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam kodrat dan derajat kemanusiaan, tetapi sama. Oleh karena itu, antara laki-laki dan perempuan, sikap saling menghargai dan menghormati itu sangat penting, tanpa memposisikan perempuan dan laki-laki secara berbeda.

Kedua, intoleransi. Selama ini, persoalan intoleransi sering terjadi di tengah masyarakat kita. Ada banyak orang yang saling membenci karena perbedaan agama. Bahkan, kebencian itu berujung pada aksi-aksi kekerasan, pengrusakan dan pembakaran rumah ibadat, serta pembunuhan terhadap umat-umat agama lain. Misalnya, beberapa waktu lalu, aksi terorisme terjadi di depan gereja Katedral Makassar dan Surabaya.

Maka, untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Sebab, dalam sepak bola, perbedaan agama dari para pemain tidak menjadi persoalan bagi para pemain, tim-tim sepak bola, dan para pengurus sepak bola di berbagai negara. Mereka sangat menghargai dan menghormati kepercayaan atau iman dari rekan-rekan setim dan semua orang yang terlibat dalam aktivitas sepak bola.

Dalam hal ini, sepak bola menunjukkan cara hidup beragama yang baik dan benar. Bahwasannya, sebagai umat beragama, kita mestinya saling menghormati dan menghargai iman atau kepercayaan dari sesama kita. Sebab, kita beriman dan percaya kepada Allah yang sama, walaupun diungkapkan dengan cara yang berbeda.

Ketiga, rasisme. Selama ini, rasisme sering terjadi di tengah masyarakat kita. Ada banyak orang yang tidak menghormati dan menghargai perbedaan ras satu sama lain. Bentuk konkret dari hal semacam itu tampak dalam genosida, bullying, penolakan terhadap orang yang memiliki warna kulit berbeda, dan yang lainnya.

Biasanya, orang yang berkulit hitam dan berambut keriting dinilai lebih inferior daripada orang yang berkulit putih dan berambut lurus. Hal itu pernah terjadi di Afrika Selatan dalam politik Apartheid. Orang Eropa yang berkulit putih dan berambut lurus dianggap lebih unggul dalam segala hal daripada penduduk asli Afrika Selatan yang berkulit hitam dan berambut keriting. Akibatnya, sikap, perilaku dan tindakan diskriminatif terjadi di pelbagai bidang kehidupan seperti bidang sosial-politik, ekonomi, hukum, budaya, seni, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.[13]

Maka, untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Menurut Handoko, sepak bola menjadi cabang olahraga yang paling multikultural di antara cabang olahraga yang lain. Sepak bola menjadi salah satu olahraga yang berhasil mendobrak sekat sosial, kultural, etnis, agama, ideologi, dan negara. Sportivitas sepak bola dimaknai dengan sikap inklusif oleh seluruh pihak yang berhubungan dengan sepak bola seperti pemain, pelatih, suporter, wasit, dan lain-lain. Dalam hal ini, sepak bola adalah medan belajar untuk menghilangkan etnosentrisme, fanatisme dan eksklusivisme sempit.[14]

Hal yang sama disampaikan juga oleh Reza Wattimena. Secara gamblang, dia mengatakan:

Sepak bola adalah kegiatan sosial. Ia melibatkan banyak orang. Ia mengandaikan adanya komunitas, dan kemudian mengembangkan ikatan komunitas tersebut. Ia kerap menjadi jembatan yang menghubungkan orang-orang yang berbeda, tepat ketika ikatan-ikatan lama, seperti agama, negara dan ras, sudah tidak lagi berfungsi. Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, bahwa sepak bola adalah bahasa universal. Sepak bola adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang, walaupun mereka berasal dari budaya dan agama yang berbeda. Sepak bola memiliki peran besar untuk membentuk dan mempertahankan komunitas. Di tingkat politik, sepak bola juga memiliki kemungkinan besar untuk menciptakan perdamaian.[15]

Tak heran, rasisme itu ditolak di dalam sepak bola. Para pemain, tim-tim sepak bola, maupun federasi-federasi sepak bola di berbagai negara bersikap tegas terhadap rasisme. Mereka benci rasisme. Bila terjadi sikap, perilaku dan tindakan rasis di dalam pertandingan, pertandingan itu akan dibatalkan atau diberhentikan. Kemudian, pihak yang melakukan tindakan rasis akan menerima sanksi yang setimpal dengan perbuatannya.

Dalam hal ini, sepak bola menunjukkan sikap tegas untuk menolak hal-hal yang tidak baik di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Bahwasannya, hal-hal yang tidak baik seperti rasisme itu tidak pantas dan layak ada di dalam hidup kita sebagai manusia yang bermartabat. Oleh karena itu, kita hendaknya saling menghormati dan menghargai satu sama lain, apapun bentuk dan model ras kita.

Keempat, kemiskinan. Persoalan kemiskinan masih melilit kehidupan masyarakat kita. Selain disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil, kemiskinan juga disebabkan oleh sikap malas dan mental instan dari masyarakat kita. Akibatnya, ada banyak masyarakat kita yang hidup tidak layak di bawah garis kemiskinan. 

Maka, untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu belajar dari sepak bola. Sebab, dalam sepak bola, para pemain sepak bola sangat disiplin dalam menjalani kehidupan mereka. Mereka bekerja keras dan berlatih dengan tekun. Alhasil, sepak bola mampu melahirkan nama-nama besar seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Pele, Diego Maradona, Ronaldo Nazario, dan lain-lain.

Cristiano Ronaldo sendiri pernah berkata: “Bumbu utama untuk menjadi pesepak bola hebat ialah bakat. Tanpa itu, Anda tidak akan bisa berbuat banyak. Namun, bakat tidak akan berguna tanpa kerja keras. Tidak ada sesuatu yang jatuh dari langit. Saya tidak akan meraih semua ini tanpa kerja keras.” [16]

Pada titik ini, Ronaldo menunjukkan kepada kita bahwa kerja keras itu sangat penting untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Sebab, Ronaldo yang secara historis adalah anak orang miskin di Madeira-Portugal, mampu menjadi orang hebat dan sukses karena kerja keras dan disiplin dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, kerja keras Ronaldo menjadi contoh konkret bagi kita saat ini. Bahwasannya, kita mesti disiplin dan bekerja keras dalam menjalankan kehidupan supaya bisa sukses.

Hal ini disetujui Friedrich Nietzsche (1844-1900). Nietzsche, seperti Marx, memandang pengarahan tenaga, energi, antusiasme, dan kerja keras sebagai sesuatu yang berharga.[17] Sebab, kerja keras adalah sesuatu yang positif dan diterima secara sosial kemasyarakatan dalam mengusahakan dan mengupayakan segala sesuatu yang hendak digapai.



IV.          Hal-Hal yang Memprihatinkan dari Sepak Bola

Selain beberapa hal positif di atas, ada juga hal-hal yang memprihatinkan dari sepak bola. Di dalam tulisan ini, penulis akan menyebutkan dan menjelaskan sekurang-kurangnya dua hal negatif yang masih melekat di dalam dunia sepak bola, di antaranya korupsi dan budaya konsumerisme.

Pertama, korupsi. Beberapa waktu lalu, publik dunia, khususnya para pencinta sepak bola, sempat dihebohkan atau digemparkan oleh isu penyelenggaraan turnamen European Super League (Liga Super Eropa)[18] di Eropa. Setelah ditinjau lebih jauh, salah satu alasan diadakannya turnamen ini ialah kecurigaan terhadap Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA). UEFA dicurigai tidak transparan dan melakukan korupsi terhadap dana yang dikumpulkan oleh semua tim pengikut kompetisi. Tiga klub besar Eropa, Barcelona, Juventus, dan Real Madrid, menegaskan bahwa mereka punya tugas menyikapi isu serius sepak bola. UEFA sudah menjadi pengatur tunggal, pelaksana, dan pemilik kompetisi sepak bola Eropa. Posisi demikian adalah konflik kepentingan yang merusak sepak bola dan keseimbangan kompetisi.[19]

Meskipun ada pembelaan dari UEFA yang diwakili oleh Presiden UEFA, Aleksander ÄŒeferin, indikasi korupsi itu tetap ada. Ronald Koeman, pelatih FC Barcelona, mengatakan bahwa semua orang bicara soal Liga Super atau Liga Champions [dengan format baru] atau cara lain bermain di Eropa. UEFA berbicara banyak, tetapi tidak melakukan atau mendukung orang-orang sepak bola, bukan manajer atau pelatih, tentang jumlah permainan. Yang terpenting bagi mereka adalah uang.[20]

Untuk konteks Indonesia, Reza Wattimena mengatakan bahwa Federasi Sepak Bola Indonesia yang biasa disebut sebagai Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sering macet karena korupsi di dalam tubuh PSSI sendiri.[21] Akibatnya, penyelenggaraan turnamen Liga Indonesia yang sekarang disebut Liga 1 sering tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Kedua, budaya konsumerisme. Selain korupsi, salah satu hal yang memprihatinkan dari dunia sepak bola ialah lahirnya budaya konsumerisme. Sebab, sebagaimana yang sudah penulis sampaikan di bagian terdahulu, bahwasannya sepak bola melibatkan banyak orang yang mengandaikan adanya komunitas. Tentunya, keterlibatan komunitas ini melahirkan beragam bentuk sikap dan perilaku sosial yang menjadi ciri khas dari komunitas itu, termasuk budaya konsumerisme.

Menurut Havemann, sebagaimana yang dikutip Reza Wattimena, hal itu disebabkan oleh daya tarik sepak bola yang membantu orang untuk merasa menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut sebagai proses identifikasi (Identifizierungsprozess).[22] Para pencinta sepak bola mengidentifikasikan diri mereka dengan para pemain sepak bola. Sebab, para pemain sepak bola juga menjadi bintang dari berbagai iklan barang-barang konsumsi, mulai dari celana dalam sampai pesawat terbang. Mereka menjadi panutan masyarakat, terutama dalam hal penampilan dan gaya hidup. Mereka mengubah tata nilai masyarakat; menumbangkan nilai lama, dan melahirkan nilai-nilai baru yang tak terpikirkan sebelumnya.[23]

Konkretnya, ada banyak football lovers yang mengikuti gaya hidup dari pemain sepak bola untuk memiliki sepatu, baju, celana, bahkan kendaraan seperti yang dimiliki para pemain sepak bola. Padahal, ada banyak football lovers yang memiliki pendapatan rendah dan tidak seperti para pemain sepak bola yang notabene memiliki pendapatan tinggi. Akibatnya, ada banyak football lovers yang jatuh dalam “favoritisme” yang konyol.

V.          Penutup

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sepak bola memiliki peran penting dalam membentuk peradaban dunia. Sebab, sepak bola tidak hanya mempertontonkan pertandingan yang sengit dan alot, tetapi juga mempromosikan nilai-nilai yang urgen, aktual, relevan, dan menantang bagi hidup manusia zaman now. Oleh karena itu, penulis berharap agar sepak bola dapat memberi pelajaran dan menginspirasi kita semua untuk membentuk hidup kita menjadi lebih baik. Salam olahraga!

 

  

Daftar Pustaka

Adisty, Lariza Oky. “Menang atas UEFA di Pengadilan, Real Madrid, Barcelona, dan Juventus Ngotot Teruskan European Super League”. Bolasport.com, 31 Juli 2021. <https://www.bolasport.com/amp/read/312815038/menang-atas-uefa-di-pengadilan-real-madrid-barcelona-dan-juventus-ngotot-teruskan-european-super-league>, diakses pada 3 September 2021.

Austin, Michael W. (ed.). Football and Philosophy. Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008.

Jati, Aning. “40 Kata-Kata Motivasi dan Inspirasi Sepak Bola, Lebih dari Sekadar Olahraga”. Bola.com, 30 November 2020. <https://www.bola.com/ragam/read/4421133/40-kata-kata-motivasi-dan-inspirasi-sepak-bola-lebih-dari-sekadar-olahraga>, diakses pada 7 April 2021.

Mantero, Rikardus. “Say No to Racism”. The Collumnist, 3 Februari 2021.

Mirza, Muhammad. “Cristiano Ronaldo: Bakat Tidak Ada Gunanya Tanpa Kerja Keras”. Sindonews.com, 30 Oktober 2019. <https://sports.sindonews.com/berita/1453568/11/cristiano-ronaldo-bakat-tidak-ada-gunanya-tanpa-kerja-keras>, diakses pada 7 April 2021.

Raho, Bernard. Sosiologi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2016.

Satria, Mas Yongky, dkk. “Bonek Tionghoa: Menolak Rasisme melalui Komunikasi Simbolik”. Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 9, No. 1, September 2020.

 

Simandjuntak, Fritz E. “Makna Sepak Bola”. Www.pssi.org, 1 Juni 2015. <https://www.pssi.org/news/makna-sepak-bola>, diakses pada 7 April 2021.

[t.p]. “Liga Super Eropa (European Super League)”. Wikipedia.org, 16 Mei 2021. <https://id.m.wikipedia.org/wiki/Liga_Super_Eropa>, diakses pada 3 September 2021.

[t.p]. “Kisruh European Super League, Koeman Kritik UEFA Mata Duitan”. Cnnindonesia.com, 21 April 2021. <https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210421213041-142-633086/kisruh-european-super-league-koeman-kritik-uefa-mata-duitan>, diakses pada 3 September 2021.

Wattimena, Reza A. A. “Sepak Bola dan Hidup Kita”. Rumah Filsafat.com, 31 Maret 2014. <https://rumahfilsafat.com/2014/03/31/sepak-bola-dan-hidup-kita/>, diakses pada 3 September 2021.



[1] Tulisan ini pernah dipublikasikan di Svdlaatnatas.blogspot.com dengan judul “Belajar dari Sepak Bola” pada tanggal 10 Januari 2021. Namun, pada kesempatan ini, penulis mengubah judul tulisan itu, sekaligus memperdalam materi tulisan ini dengan menambahkan beberapa hal yang perlu dan penting, terisitimewa untuk menambah refrensi dalam makalah yang akan dipresentasikan di Unit Agustinus pada tanggal 10 April 2021.

[2] Raymond Angelo Belliotti, “Vince Lombardi and The Philosophy of Winning”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008), hlm. 13.

[3] Reza A. A. Wattimena, “Sepak Bola dan Hidup Kita”, dalam https://rumahfilsafat.com/2014/03/31/sepak-bola-dan-hidup-kita/, diakses pada 3 September 2021.

[4]Joe Posnanski, “Foreword”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008), hlm.  vii-vii.

[5] Michael W. Austin, “Introduction: The Pregame Warm-up”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008), hlm. 2.        

[6] Aning Jati, “40 Kata-Kata Motivasi dan Inspirasi Sepak Bola, Lebih dari Sekadar Olahraga”, dalam https://www.bola.com/ragam/read/4421133/40-kata-kata-motivasi-dan-inspirasi-sepak-bola-lebih-dari-sekadar-olahraga, diakses pada 7 April 2021.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Fritz E. Simandjuntak, “Makna Sepak Bola”, dalam https://www.pssi.org/news/makna-sepak-bola, diakses pada 7 April 2021.

[10] Pada bagian ini, sebagian besar penulis mengambil ulasan dari Raymond Angelo Belliotti, “Vince Lombardi and The Philosophy of Winning”, dalam Michael W. Austin (ed.), Football and Philosophy (Kentucky: The University Press of Kentucky, 2008), hlm. 7-8. Namun, penulis juga menambahkan beberapa hal yang perlu untuk memperjelas maksud dari Lombardi, sebagaimana yang ditulis oleh Belliotti.

[11] Fritz E Simandjuntak, loc.cit.

[12] Bernard Raho, SVD, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), hlm. 220.

[13] Rikardus Mantero, “Say No to Racism”, The Collumnist, 3 Februari 2021.

[14] Mas Yongky Satria, dkk., “Bonek Tionghoa: Menolak Rasisme melalui Komunikasi Simbolik”, Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, 9:1 (Surabaya: September 2020), hlm. 4-5.

[15] Reza A. A. Wattimena, loc.cit.

[16] Muhammad Mirza, “Cristiano Ronaldo: Bakat Tidak Ada Gunanya Tanpa Kerja Keras”, dalam https://sports.sindonews.com/berita/1453568/11/cristiano-ronaldo-bakat-tidak-ada-gunanya-tanpa-kerja-keras, diakses pada 7 April 2021.

[17] Raymond Angelo Belliotti, op.cit., hlm. 15.

[18] Liga Super Eropa adalah sebuah bakal kompetisi sepak bola antarklub internasional yang mempertemukan klub-klub besar Eropa sebagai “tandingan” dari Liga Champions UEFA. Setelah beragam spekulasi terkait pembentukan kompetisi “Liga Super Eropa”, kompetisi ini didirikan oleh dua belas papan atas Eropa (Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, Tottenham Hotspur, Inter Milan, Juventus, Ac Milan, Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid) dan diperkenalkan secara resmi pada bulan April 2021. Presiden klub sepak bola Spanyol, Real Madrid, adalah direktur utama dari organisasi ini (Bdk. [t.p], “Liga Super Eropa (European Super League)”, dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Liga_Super_Eropa, diakses pada 3 September 2021).

[19] Lariza Oky Adisty, “Menang atas UEFA di Pengadilan, Real Madrid, Barcelona, dan Juventus Ngotot Teruskan European Super League”, dalam https://www.bolasport.com/amp/read/312815038/menang-atas-uefa-di-pengadilan-real-madrid-barcelona-dan-juventus-ngotot-teruskan-european-super-league, diakses pada 3 September 2021.

[20] [t.p], “Kisruh European Super League, Koeman Kritik UEFA Mata Duitan”, dalam https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210421213041-142-633086/kisruh-european-super-league-koeman-kritik-uefa-mata-duitan, diakses pada 3 September 2021.

[21] Reza A. A. Wattimena, loc.cit.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

Post a Comment

0 Comments