FILSAFAT DAN BOLA—SEBUAH KOMENTAR ATAS ARTIKEL BERJUDUL PERAN SEPAK BOLA DALAM MEMBENTUK PERADABAN HIDUP MANUSIA

(Fr. Oscar Be'i, SVD)


Baca Artikel Fr. Ricky Mantero, SVD: Peran Sepak Bola dalam Membentuk Peradaban Manusia

Aristoteles, seorang filsuf klasik yang hidup sekitar 384-322 SM secara jelas mengatakan bahwa manusia adalah zoom politicon. Zoom politicon yang dimaksudkan adalah manusia yang selalu senantiasa berelasi dengan manusia lainnya (manusia makhluk sosial). Setiap individu mampu merealisasikan potensi dirinya ketika ada kehadiran individu lainnya. Pemikiran Aristoteles ini senada dengan isi artikel yang membahas tentang peran sepak bola dalam peradaban hidup manusia.

Kehadiran diri orang lain bisa menunjukkan potensi diri kita. Kita bisa menjadi seorang pemain sepak bola yang hebat ketika ada kehadiran orang lain yang bisa membentuk segala karekter diri menjadi seorang yang tangguh, memiliki daya saing sehingga melahirkan ketekunan, disiplin diri, dan percaya diri. Karakter-karakter yang terbentuk itulah yang membuat orang tampil menjadi hebat. Permainan sepak bola adalah salah satu instrumen pembentukan karakter diri dari sekian banyak jenis permainan yang di dalamnya menerapkan peraturan yang ketat, yang masing-masing individu harus menaati peraturan tersebut. Peraturan hadir untuk memberikan batasan bagi kebebasan individu yang tiada batas sehingga menyebabkan kekacauan.

Penulis artikel memilih permainan sepak bola sebagai bahan kajian utamanya dengan dasar atau alasan bahwa permainan sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang cukup fenomenal, dikenal luas oleh semua lapisan masyarakat dan menjadi sebuah kultur. Cukup menarik untuk dibahas bersama bahwa ketika permainan sepak bola dijadikan sebagai sebuah kultur atau cara hidup, berarti ada hal besar yang ingin dikupas lebih mendalam seperti disajikan dalam buku Football and Philoshopy. (artikel hlm. 2)

Saya sependapat dengan penulis bahwa permainan sepak bola bola tidak sekadar aksi menyepak bola atau mengejar bola di dalam lapangan, sepak bola juga bukan olah tubuh untuk mengucurkan keringat, atau tidak hanya suatu deskripsi tentang pertandingan dua tim untuk merebutkan piala, tetapi sepak bola telah memberi pelajaran terhadap masalah-masalah sosial yang sedang dihadapi manusia sekarang ini.  Penulis dengan gamblang memaparkan beberapa poin penting manfaat dari permainan sepak bola. “Untuk membentuk hidup yang lebih baik, kita perlu belajar dari sepak bola” (artikel hlm. 8). Oleh karena itu baiklah saya juga  menjelaskan lebih jauh beberapa hal tentang ini. Pertama,  tentang budaya patriarki. Saya setuju dengan penulis bahwa budaya patriarki sangat dominan dalam kehidupan masyarakat. Berbagai praktik patriarki terjadi dalam kehidupan masyarakat, seperti stigma kalau perempuan itu lemah, perempuan hanya cocok bekerja di dapur dan melayani laki-laki. Tentu praktik seperti ini sangatlah tidak adil. wanita mendapat posisi lebih rendah dari laki-laki. Oleh karena itu, layaklah kita bercermin dari sepak bola. Dalam sepak bola kita bisa melihat keterlibatan perempuan, mulai dari menjadi penonton,  menjadi pengurus sepak bola ( manajer, asisten, wasit) serta mengadakan pertandingan atau liga perempuan sama seperti laki-laki pada umumnya. Di sinilah peran penting sepak bola yang mesti kita refleksikan dan harus kita wujudkan juga dalam segala aspek kehidupan kita terkhususnya relasi kita dengan perempuan. Kedua, Sepak bola dan rasisme. Tidak bisa dipelak bahwa rasisme sering terjadi dalam kehidupan kita. Banyak orang yang tidak menghargai perbedaan ras atau suku. Akibatnya terjadi jarak. Satu sama lain  akan saling mengasingkan.  Oleh karena itu, mari kita bercermin pada sepak bola. Melalui sepak bola kita belajar bahwa perbedaan ras atau suku bukanlah suatu ancaman. Justru menjadi modal untuk saling memperkaya sebuah tim. Setiap orang dari entitas kultural, ras dan agama berbeda tentu mempunyai pola pikir dan cara hidup yang berbeda. akan tetapi, karena perbedaan itulah semua saling tahu tempatnya masing-masing dan saling menghormati.

 Namun di sisi lain, Permainan sepak bola bisa menjadi salah satu pemicu retaknya persatuan. Ibaratnya seperti pedang bermata dua. Satu sisi permaianan sepak bola memberikan kita sajian hiburan dan juga memberikan makna hidup dari permainan tersebut, di sisi lain justru mendatangkan petaka ketika permainan sepak bola dijadikan ajang untuk menunjukan popularitas diri atau popularitas team. Di sini lah letak kebebasan manusia sebagai sang subjek yang mau mempergunakan kehendak bebasnya (free will).

Mari kita bahas dari sudut pandang para pemain sepak bolanya sendiri. Keinginan untuk memenangkan suatu pertandingan pasti ada dalam diri dan dalam sebuah tim. Setiap team tidak menginginkan teamnya kalah. Ketika keinginan atau kehendak untuk menang tidak dibarengi dengan sportifitas, yang terjadi adalah kekacauan.  Hal ini akan merambat sampai ke para pendukung atau fans. Seorang fans yang fanatik terhadap teamnya sendiri bisa dengan beraninya menyampaikan ujaran yang tidak pantas diucapkan terhadap team lain misalnya melalui media sosial. Kehendak diri untuk mengekang segala hal yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memenangkan suatu pertandingan harus ada dalam diri para pendukung/fans atau dari para pemain sepak bola itu sendiri. Seorang pemain sepak bola yang hebat akan dilihat bukan hanya dari mengumpulkan jumlah di papan skor tetapi juga kehendak untuk menahan diri ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan, seperti tidak mudah tersulut emosi.

Selain dari sudut pandang pemain sendiri, hal pemicu retaknya persatuan datang juga dari unsur-unsur non-olahraga seperti masuknya unsur politik dalam sepak bola. Baudrillard mengatakan “Politik is no Longer restricted to the political sphere, but infects every sphere-economics, science, art, sport....” (Politik tidak lagi terbatas pada bidang politik, tetapi menjangkiti setiap bidang-ekonomi, ilmu pengetahuan, seni, olahraga). (Baudrillard, 1993:8). Hal ini sangat relevan dengan kenyataan saat ini,  bahwa sepak bola telah menjadi ruang masuknya politik demi mendapatkan kekuasaan. Ambil contoh di Indonesia,  banyak para calon pemimpin berusaha mendekati kelompok suporter untuk meraih dukungan massa.  Seorang calon pejabat yang tidak suka sepak bola dan tidak paham akan bola, tiba-tiba bertransformasi menjadi pendukung suatu kesebelasan dengan ambisi memperoleh kekuasaan. Akibatnya pengelola-pengelola bukan dari dunia sepak bola akhirnya mengelola klub bukan dengan dasar pembinaan tetapi atas dasar prestasi semata.  Paling parahnya lagi, adalah bahwa banyaknya birokrat yang menduduki jabatan ketua umum klub sepak bola ini memiliki tujuan agar klub tersebut mudah memperoleh  dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN) (Anung Handoko, 2012: 26). Hal ini saya kira yang kemudian memunculkan korupsi dalam dunia sepak bola. Alhasil citra sepak bola sebagai ikon persatuan dan kesatuan dicoreng dan dicap habis-habisan.  

 Akhirnya artikel ini cukup menarik untuk dibaca dan dicerna karena sangat relefan dengan kehidupan dunia dewasa ini yang kadang mempergunakan perbedaan sebagai alat untuk merusak tatanan kehidupan manusia yang sudah sejak lama hidup saling berdampingan dan harmonis. Mari belajar dari filosofi peraminan sepak bola, dari sanalah kita menemukan beribu makna dan arti hidup bersama. Sebagai makhluk sosial, kita butuh orang lain. Maka jadikan kehadiran orang lain sebagai sang subjek yang senantiasa memberikan arti dari keberagaman.

 

Salam olahraga.

 

Post a Comment

0 Comments