Dalam mitologi Yunani suatu hubungan terlarang dilakukan
oleh Oedipus terhadap ibunya yang bernama Lokaste. Saking jatuh cintanya
Oedipus terhadap ibunya, ia pun nekat menikahi Ibunya. Perkawinan Oedipus dan
Lokaste pun berlangsung puluhan tahun dan membuat para dewa marah, karena
hubungan yang mereka lakukan adalah aib dan buruk di mata semesta.
Di Indonesia ada juga kisah Sangkuriang. Ketika Sangkuriang melihat
kecantikan Dayang Sumbing,
ibunya, ia
pun nekat menikahi ibunya. Bagi
kita di Indonesia hal seperti ini pemali,
juga buruk sekali di mata adat
dan agama.
Baca juga: Kentut Pacarku
Oedipus maupun Sangkuriang,
entahlah mereka punya pemikiran dan rasa cinta seperti apa yang mengakibatkan mereka
berani jatuh cinta terhadap ibu kandung sendiri. Barangkali mereka terjebak dalam kerangkeng libido
inses. Ketika saya sedang
terbengong-bengong dengan kedua orang ini, saya sempatkan waktu untuk membuka verbiagustinus.blogspot.com.
Verbiagustinus.blogspot.com adalah sebuah blog yang
menampung karya tulis anak-anak Wisma Agustinus Ledalero. Saya bertemu dengan
puisi Melki Deni. Saya tertawa sampai tertidur dilantai sambil membayang
seseorang kentut di hadapan kekasihnya. Saya berpikir baik, kalau bunyi
kentutnya tidak menggema sampai ke telinga banyak orang atau jangan sampai
celananya sampai terobek akibat bunyi letusan gunung Ineria di dalam celana.
Jangan sampai juga kentutnya berbau telur busuk di dalam celana. Apa
yang Anda bayangkan kalau hal ini terjadi pada diri Anda?
Puisi Menikahi Imajinasi dan Pengalaman Pribadi
Menurut saya, seorang penulis puisi ketika ia melahirkan
puisi-puisinya, ia harus berani “menikahi” imajinasi dengan pengalaman pribadi
penulis—entah
pengalaman membaca buku, pengalaman bercerita, pengalaman makan, termasuk
pengalaman mendengar dan mencium bau kentut orang. Melki Deni berani menikahi
sesuatu yang dipandang memalukan. Dan bagi Indonesia bagian timur yang
berkaitan dengan kentut itu menjijikkan atau jorok, jadi
malu kalau gas alami di bokong itu dirudalkan ke banyak
orang. Tetapi Melki Deni berani membongkar aib itu dengan puisi naratifnya
seperti ini.
KENTUT PACARKU
Teman saya sering
kentut di kampus tiap kali kuliah berlangsung. Tiap kali mau kentut, ia celingukan
dulu, sebentar cengar-cengir sendiri, sebentar atur strategi yang rapi.
Sebentar dosen berbicara di depan,—uuukkk—kentutnya mulai dari nada dasar C. Ia
tutup hidung, sebentar celingukan bareng cengar-cengir; dia pertama kali
menuduh teman-teman di samping. Tapi celananya rutin menangkap bau kentutnya.
Di indekos, ia bolak-balik ke toilet.
Tiap kali adik saya
kentut di rumah, kaki/tangan selalu mengiringi kentutnya itu dalam sekejap.
Terakhir kali adikku kentut, lantas ia babak belur. Lalu masuk rumah sakit;
tulang patah, memar, dan gegar otak. Kentut membuat adik saya kentutfobia.
Memohon ampun hanya mendulang sesal.
Di mana saja pacar saya
kentut, selalu wangi. Semua parfum mahal kalah bersaing. Tiap kali ia kentut
entah dimulai dari nada dasar apa saja; saya minta tambah tiga kali. Kentutnya
mengundang selera; mengandung cinta. Apalagi ketika kentut sambil senyum
simpul, serasa sedang memainkan sebuah peran sentral dalam drama Korea; bikin
baper—maniak.
Kentut pacar saya
hangat, rasa coklat dan nikmat takkan tamat.
Melki Deni berhasil mempersunting imajinasi pembaca karena di
dalam puisinya ia mengangkat sesuatu yang aib menjadi indah. Meski mendengar
kata kentut kita merasa jorok tetapi di balik itu pembaca
diundang untuk tertawa terbahak-bahak.
Di dalam puisinya ada tiga tokoh: 1.Teman kentut; latar
tempatnya di kampus, di indekos dan toilet. 2. Adik Kentut; latar
tempat di rumah dan rumah sakit. Dan yang ke 3. Pacar Kentut; berlatar suasana gembira (mengandung cinta bdk bait 3).
Semacam ada perbandingan jelas antara kentut siapa yang
baik dan disukai, dan kentut siapa yang tidak disukai. Di sini Melki Deni
menggambarkan kalau kentut sang pacar lebih menyenangkan daripada
kentut adik dan teman. Mengapa ia lebih menyukai kentut sang Pacar?
Jawabannya: misteri cinta tak bisa dipecahkan begitu saja. Sama
halnya dengan Oedipus dan Sangkuriang.
Kritikan Pedas Sebuah Puisi
Menurut saya, Melki Deni
tidak hanya mengawinkan puisi dengan imajinasi dan pengalaman hidup tetapi
serentak memberi makna kritik terhadap kaum milenial zaman sekarang. Dari puisi
ini Melki Deni mengkritik soal relasi sosial. Sudah sejauh mana
kita mencintai teman, saudara kita dengan memperhatikan mereka, mengenal
mereka, dan mengasihi mereka.
Dalam tokoh teman, Melki Deni mengambarkan seseorang yang suka menguntik-guntik kawannya. Dalam tokoh adik, Melki Deni menampilkan sikap ketidaksukaan seseorang terhadap adiknya. Sementara itu dalam tokoh pacar, Melki Deni menggambarkan betapa kekasih lebih berharga dari semua, bahkan kentutnya sang pacar dikira parvum. Apakah pacar lebih berharga daripada adik dan teman?
Catatan Akhir
Jika Oedipus berani melawan larangan dewa dewi dan Sangkuriang
yang berani melawan hukum adat. Maka kali ini dalam puisi Melki Deni
ia melukiskan seseorang yang juga serakah terdapat persahabatannya dan juga
persaudaraannya sebab ia lebih memilih
untuk “mengawinkan” kentut pacarnya. Hati-hati mencium kentut pacar jangan sampai
baunya itu milik mantan selingkuhannya.
0 Comments