PLURALITAS PARTAI POLITIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP WAJAH PERPOLITIKAN INDONESIA II Alvianus Tay

PLURALITAS PARTAI POLITIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP WAJAH PERPOLITIKAN INDONESIA

Alvianus Tay, Mahasiswa STFK Ledalero-Flores-NTT

PROLOG

Fredy Sebho, dalam bukunya, Arkeologi Kebisuan secara heneng in pamrih menggambarkan realitas mencari. Mencari yang dimaksudkan dalam risalah Fredy adalah mencari entitas absolut-Tuhan, yang diungkapkan lewat penggalan kalimat :”....antara “menemukan” dan “menemukan kembali”.[1] Perihal “menemukan” dan atau “menemukan kembali” akan penulis gunakan sebagai pisau bedah guna meneropong sejauh mana geliat partai-partai politik di tengah lanskap perpolitikan Indonesia.

 

PlURALITAS PARTAI POLITIK , “KEBANYAKAN?”

Salah satu fakta empiris model negara demokrasi adalah kemultipartaiannya. Setiap partai memiliki hak yang sama untuk dapat berpolitik. Tidak bisa dibenarkan bahwa partai yang satu memiliki hak yang lebih terhadap partai yang lain, atau partai PKB yang didirikan oleh Abdurahman Wahid lebih superior daripada partai PDIP. Superioritas partai terhadap partai yang lainnya hemat penulis adalah sebentuk penolakan terhadap model demokrasi Pancasila. Roland Rich sebagiamana dikutip oleh Ikhsan Darmawan menegaskan, “political parties necessary components of a functioning democracy”.[2] Dengan demikian sikap saling menerima dan menghargai antar partai adalah mutlak perlu. Hemat penulis model penghargaan terhadap multisitas partai seperti ini adalah wujud penghargaan terhadap demokrasi. Setiap angota partai dalam partai tertentu memiliki hak untuk memperjuangkan kebertahanan partainya di hadapan partai lain sembari tidak mengabaiakan keberadaan partai lain. Maka dari  itu, partai dan anggota dalam partai memiliki kewajiban untuk saling menghargai wilayah partai lain. Penghargaan itu dapat berupa pemberian “kado selamat” ketika partai tertentu bisa menghasilkan seorang pemimpin besar (presiden) dan atau paling tidak bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas. Karena itu Felix Baghi mengutip Maurice Blanchot sebagaimana sudah diterjemahkan oleh Elizabeth Rottenberg, mengafirmasi:

“Kita harus berhenti untuk berusaha mengenal orang yang memiliki relasi dengan kita hanya karen satu hal yang essensial (penting). Yang saya maksudkan di sini, kita juga harus menyalami atau mengucapkan selamat datang kepada mereka yang tidak kita ketahui dalam relasi itu; di mana, dalam cara yang sama, mereka juga menyalami kita sebagai yang lain (yang asing bagi mereka).”[3]

Mainstream yang dikonstruksikan Maurice di atas menelorkan sebuah keterbukaan dan kesiapsediaan manusia untuk dapat saling memberi tempat bagi yang lain untuk bisa “berumah tangga” dalam kancah perpolitikan. Tidak bisa tidak warga politik tertentu menolak atau pun merasa kehadiran partai lain dan atau usaha yang dicapai oleh partai tertentu merupakan ancaman bagi kebebasan ekspansi rumah tangga partainya. Pembentukan partai-partai bukan tanpa tujuan. Substansi penting yang ingin dicapai oleh partai-partai politik adalah, menghubungkan pemilih dengan institusi pemerintah. Selain itu, partai politik juga berurusan dengan keberlanjutan dari masyarakat dan memfokuskan diri pada perilaku dan pilihan pemilih, serta memainkan peranan utama seperti penominasian calon untuk jabatan politk tertentu dan mengorganisasikan dan mandanai kampanye pemilu.[4]

Namun sebelum itu, kita juga harus memahami arti dari partai politik. Partai politik adalah sekelompok orang yang diorganisasikan untuk tujuan mendapatkan kekuasaan memerintah melalui jalan pemilihan umum atau cara lainnya. [5] Pengorganisasian sekelompok orang dalam legalitas kelompok partai memiliki tujuan untuk bisa memerintah karena itu merupakan haknya sebagai warga negara. Warga negara (termaksud anggota partai) adalah anggota negara yang memiliki hak dan kewajiban. Hak-hakanya termanifestasi dalam kebebasannya untuk dapat berpolitik (menjadi pemimpin) tetapi berkewajiban untuk mengikuti segala tata aturan resmi negara. Singkat kata, warga negara adalah ia yang pada aras tertentu bisa memerintah (agent politk) tetapi pada garis lain ia juga diperintah (warga politik).

Model demokrasi tidak langsung (demokrasi representatif) di Indonesia memberikan peluang kepada masing-masing orang untuk bisa menjadi penguasa. Kekuasaan adalah sesuatu yang kekal dimiliki oleh manusia. Hannah Arendt sebagaimana dikutip oleh Hardiman, memahami kekuasaan bukan sesuatu yang dapat dimaterialkan, melainkan sebagai sesuatu yang dapat diaktualkan di dalam kebersamaan manusia.[6] Arendt dalam konteks tertentu hanya ingin menafikan model kekuasaan monastik, yang mana hak kepemimpinan diturunkan dari generasi sedarah, di luar itu tidak memiliki hak untuk menguasai. Maka dalam Vitae Activa, Arendt menegaskan;

“Kekuasaan selalu merupakan potensi kekuasaan, dan bukanlah sesuatu yang tetap, terukur dan pasti seperti daya ataupun kekuatan. Kekuatan adalah apa yang dalam ukuran tertentu dipunyai oleh setiap manusia secara alamiah dan sungguh dapat dianggap sebagai miliknya; namun kekuasaan sesungguhnaya tidak dimiliki oleh seorang pun. Kekuasaan terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama-sama, dan dia lenyap, begitu manusia-manusia itu bubar”.[7]

Pemahaman yang dibangun Arendt, hemat penulis melahirkan sebuah kesadaran murni (natural awarness) bawasannya dalam diri manusia sudah tertananm potensi kekuasaan. Setiap manusia bisa menyalurkan potensinya untuk menguasi manusia lain, tetapi tetap dalam wilayah kemanusiaannya. Oleh karena itu, apakah multi partai yang bercokol di Indonesia saat ini, ‘kebanyakan’? Pertanyaan dapat penulis gali berdasarkan pendapat Arendt yang menghubungkan antara kekuasaan dengan solidaritas antarmanusia, sehingga eksistensi kekuasaan manusia itu tergantung sepenuhnya pada kehendak kolektif yang kurang lebih bersifat spontan dan terbentuk melaui praksis komunikasi. Karena itu dia menulis, “ Seorang individu tidak pernah menggunakan kekuasaan; kekuasaan adalah milik sebuah kelompok dan tetap ada, hanya selama kelompok itu utuh”.[8] Dengan demikian secara kasat mata dapat kita pahami ternyata afirmasi kekuasaan seseorang harus lahir dari wilayah yuridis kelompok. Sehingga multi partai adalah bukan kebanyakan, melainkan peluang di mana seorang individu bisa mengaktualisasikan kekuasaanya dalam hal memimpin rakyat banyak. Dalam partai juga perlu adanya kekuasaan komunikatif sebagai kedaulatan sebuah kesatuan sosial yang akan meningkat melalui berbicara-dan-bertindak-satu-sama-lain.[9] Hemat penulis, model komunikatif dalam hal penerimaan kehadiran partai politik lainya akan sangat berpengaruh terhadap mobilitas politik bangsa Indonesia ke arah pembangunan bangsa.

 

PARTAI POLITIK DAN KEGAGALAN YANG KASAT MATA

Partai politik hadir memberi warna pada demokrasi sehingga kedaulatan rakyat semakin niscaya. Namun apakah semuanya itu benar? Apakah partai politik sudah hadir berdasarkan tujuan kehadirannya di arena perebutan kekuasaan?

Bergerilianya partai politik di panggug perpolitikan Indonesia ternyata memiliki “bercak hitam”, atau memiliki kegagalan yang sulit dihindarkan. Paling tidak, tidak separah model politik partai politik a la Soeharto yang mengedepankan satu partai (PKI) sebagai partai superior dari yang lain. Penulis juga tidak sedang meragukan kinerja kerja dari partai politik saat ini, terutama dalam urusan perebutan kekuasaan. Namun apakah partai-partai politik bangsa kita juga memberi ruang dan peluang kepada semua masyarakat untuk bisa menyalurkan kekuasaannya? Apakah patai politik hanya diperuntukan bagi mereka yang memiliki modal maupun kedekatan dengan orang penting dalam partai. Atau dalam bahasa Liberman, seorang demokrat liberal Amerika, bahwa untuk bergabung dalam partai harusalah kaum cendekiawan dan bukan kawanan pandir? Hemat penulis, kegagalan terbesar partai-partai di Indonesia adalah bahwa penerimaan anggota partai ke dalam partai, haruslah orang-orang yang memiliki modal dan popularitas yang mumpuni. Bukanlah perkara gampang bagi setiap orang untuk mengambil bagaian dalam partai tertentu. Karena itu, tidak heran jika tujuan yang digapai oleh partai sebagai tiang negara kehilangan arah dan aurah pembangunan jangka panjang. Pada level ini, bagi warga negara yang memiliki hak yang sama untuk berpolitik (berkuasa) tidak mendapat tempat lagi jika minus modal. Konsekuensi lanjutannya adalah  terabaikannya hak politik warga kecil. Mereka akan hanya menjadi penonton dari tahun ke tahun, walaupaun mereka memiliki kompetensi politis yang jauh lebih baik. Partai politik bukan lagi hadir sebagi ayah yang merangkul, melainkan hadir sebagai pengkhianat.

Selain itu jika partai politik hanya menerima orang-orang bermodal maka penolakan terhadap realitas demokrasi adalah benar. Partai politik dibentuk dengan tujuan supaya masyarakat bisa menyalurakan potensi-potensi memimpin dalam dirinya. Arendt sudah dengan sangat jelas menegaskan bahwasannya kekuasaan masyarakat demokrasi disalurkan lewat organisasi legal semisal partai. Jika penerimaan anggota untuk bergabung bersama partai haruslah orang-orang yang memiliki modal dan atau popularitasnya (artis) maka tujuan “pencerahan wajah” politik kehilangan arti. Dalam bukunya, Negara Agama, dan Hak-Hak Asasi Manusia, Otto Gusti Madung menekankan bawasannya, para artis dipilih pada tataran pertama bukan karena kompetensi politisnya, melainkan karena kemolekan tubuh dan atau polpularitasnya.[10] Dengan demikian praktik politik partai seperti ini adalah praktik politik partai yang sedang “sakit”. Sakitnya akan jauh lebih parah lagi jika tokoh yang dicalonkan adalah orang-orang yang mengorientasi diri untuk memperkaya diri yang tidak memiliki rasionalitas politik yang baik guna memoles wajah pecah bangsa kita menuju wajah cerah. Tidak sedikit anggota parlemen (lahir dari partai) yang didaulatkan rakyat untuk memimpin dengan harapan agar aspirasi tersalurkan, malah menjadi penonton yang setia pada saat debat dan atau jajah pendapat seputaran dana pembangunan. Asalkan habis bulan dana mengalir. Mentalitas seperti inilah yang mesti diperhatikan secara serius dan tajam oleh partai. Jangan menghancurkan demokrasi dengan mengirimkan orang-orang yang menghidupi model 5D (datang, duduk, diam, dengar, duit). “Spiritualitas” memperkaya diri tidak bisa dihindarkan lagi. Partai-partai bukannya bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berdedikasi pada kepentingan rakyat malah lebih menekankan popularitas anggotanya (artis) atau partai lebih menekankan kuantitas anggotanya dan bukannya kualitas. Karena semakin banyak anggota partai dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan organisasi partai politik dalam konteks tertentu, seperti menggalangkan dukungan masa pada saat kampanye.[11] Praktik semacam ini sungguh mengaibaikan kualitas anggota partainya dan lebih mengedepankan kuantitas warga partainya.

Beberapa hal yang dipaparkan penulis di atas adalah kegagalan dari kinerja partai-partai politik kita yang sulit dihindarkan. Jika hal ini terus dipraktikan oleh partai politik, maka perarakan menuju kehancuran perpolitikan kita tidak bisa disangkal lagi. Karena itu penulis memberikan beberapa solusi. Pertama, perlu adanya “kembali ke tujuan”. Kembali ke tujuan diperlukan agar partai-partai yang didirikan bisa memiliki elan vita untuk dapat membangun model perpolitikan di Indonesia. Sebab, cerah tidaknya wajah politik Indonesia terletak dalam kinerja partai politik. Kedua, membuat komitmen. Komitmen juga diperlukan agar partai politik tetap berdiri kokoh sebagai partai politik. Hemat penulis jika partai politik berkomitmen untuk bisa menghasilkan pemimpin yang berkulitas daripada kuantitas, maka realiatas ‘asal terima yang penting banyak’ dapat dihindarkan. Ketiga, ketatkan pencalonan anggota partai. Dalam hal ini pengedepanan kulitas anggota partai lebih diutamakan daripada kuantitas. Angggota partai yang memiliki kinerja baik, terpercaya di panggung perpolitikkan hemat penulis akan menciptakan citra baik bagi partai bersangkutan. Namun sangat disayangkan jika partai politik mengirim anngotanya yang tidak kreatif, “dungu” dan berorientasi in se, maka partai politik akan kehilangan citranya dan demokrasi akan mengalami keburaman.


Epilog

Partai-partai politik adalah wujud konkrit dari model demokrasi Pancasila bangsa kita. Demokrasilah yang memungkinkan kemunculan partai-partai itu. Namun kehadiran multipartai juga mampu mempertegas inti terdalam demokrasi, memberi makna demokrasi dan memperkokoh demokrasi, bukannya menghancurkan demokrasi. Singkat kata multipartai harus “menemukan kembali” makna hakiki dari demokrasi. Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi yang jika partai-partai politiknya dapat bergandengan tangan untuk “mendandani” perpolitikan bangsa Indonesia.

 

 



[1] Fredy Sebho, Arkeologi Kebisuan- Saat Kata Butuh Istirahat (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 23.

[2] Ikhsan Darmawan,  Mengenal Ilmu Politik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), hlm. 127.

[3] Felix Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas dan  Persahabatan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 1.

[4] Ikhsan Darmawan, Op.cit., hlm. 128.

[5] Ibid., hlm 128.

[6] F. Budi Hadiman,  Demokrasi Deliberatif  (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 94.

[7] Ibid., hlm. 95.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Otto Gusti Madung, Negara, Agama, dan Hak-hak Asasi Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 132.

[11] Ikhsan Darmawan., Op.cit., 135.

Post a Comment

0 Comments