Rekonsiliasi Politik Sebagai Refleksi Politik Indonesia II Opini Ando Sola

 

Rekonsiliasi Politik Sebagai Refleksi Politik Indonesia

Ando Sola, Mahasiswa STFK Ledalero-Flores-NTT

Menyadari realitas demokrasi Indonesia yang kaya, bangsa ini selalu mengarahkan dirinya pada tujuan dan mimpi yang menjanjikan. Perwujudan cita-cita bangsa ini selalu bertolak pada filosofi bangsa yaitu Pancasila. Itu berarti segala aktifitas bangsa ini selalu kembali kepada Pancasila sebagai tujuan dan pandangan hidup bangsa. Sejalan dengan tujuan dan cita-cita bangsa, Indonesia menjalankan sistem politik demokrasi.

Pelaksanaan sistem politik yang dimaksudkan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek dalam politik. Keterlibatan masyarakat dan elit politik yang aktif dan transparan menjadi kunci pelaksanaan sistem politik demokrasi secara kredibilitas. Meskipun demikian cita-cita ini tidak berjalan secara mulus sesuai dengan harapan bangsa ini. Bahwasannya bangsa ini adalah bangsa kesatuan, berdaulat, dan berbudi menjadi gelar kebanggan yang dimiliki secara internal oleh bangsa Indonesia. Praktik sistem politik di Indonesia secara transparan menunjukan suatu harapan palsu bagi masyarakat. Perilaku elit politik tampaknya masih menempatkan kepentingan pribadi sebagai tujuan awal berjalannya suatu sistem politik. Polemik elit politik yang disiarkan secara lansung oleh media selalu menjunjung tinggi nilai-nilai politik yang ideal, dan menempatkan visi kebangsaan sebagai ranking pertama tanpa praktik yang sejalan, dengan demikian masyarakat Indonesia seperti penonton aktor sinetron sandiwara para elit politik.

Sejak tahun 1999, peranan partai politik mendapat kebebasannya yang mutlak. Peran partai politik tidak lagi bersembunyi di balik masa keperkasaan Orde Baru, tetapi lebih dari itu partai poilitik memainkan peran secara penuh di setiap aspek kehidupan masyarakat. Keberadaan partai politik ini pada dasarnya muncul di atas iming-iming kedalautan ala elit politik. Kenyatan menunjukan, setelah lima kali Pemilu dijalankan terhitung sejak tahun 1999, partai politik belum bisa menunjukan performanya sebagai perwakilan suara rakyat. Partai politik bahkan dinilai sebagai media atau pintu masuk praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pertanyaannya, apakah sistem politik yang mendelegasikan partai politik masih sangup menjamin kedalautan rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “kedalautan adalah di tangan rakyat dan dilakukan melalui Undang-Undang Dasar”?

Berdasarkan realiatas politik demokrai yang mencemaskan ini, Indonesia perlu dihadapakan pada rekonsiliasi politik. Kehadiran rekonsiliasi politik mengahantar kembali bangsa ini akan kesadaran reflektif. Indonesia secara kasar diperintahkan untuk berefleksi tentang perjalanan politiknya. “Masih pantaskah sistem politik ini diberlakukan di negara berdaulat ini?”. Jawabannya YA, sistem politik demokrasi masih pantas dan relevan diberlakukan di negara ini. Persoalan yang menjadi landasan refleksi adalah elemen-elemen yang terlibat aktif dalam sistem poltik demokrasi Indonesia. Perbaikan elemen politik ini meliputi elit politik: dari lini eksekutif sampai yudikatif, dari perangakat perwakilan rakyat sampai rakyat Indonesia sendiri. Indonesia mesti membuktikan dan mengapliksikan paham demokrasi dalam kehidupan nyata, “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.    

Rekonsiliasi politik menciptakan karakter Indonesia yang peka terhadap kedalutan, kesejahteraan bersama, dan kesamaan hak di hadapan publik. Adanya rekonsiliasi politik, bangsa Indonesia sebenarnya sedang menjalankan refleksi komunal. Hal ini menunjukan keterlibatan yang menyeluruh dari semua lapisan masyarakat Indonesia. Rekonsiliasi politik mengandaikan keterlibatan masyarakat dalam memberikan kritik dan pendapat, kebijaksanaa lini yudikatif menyusun keputusan dan kebijakan, dan tanggungjawab lini eksekutif dalam melaksanakan undang-undang dan pencapaian harapan bangsa. Indonesia harus bangkit dari keterpurukannya, dan kembali menjadi bangsa yang demokratis, dan menjujung tinggi legalitas dan moralitas.

Bahwasannya Indonesia pernah mengalami trauma besar pada keganasan duka 1965, menjadi pertimbangan moral politik dalam pelaksanaan kebijakan dan keputusan. Pada intinya keputusan atau kebijakan yang diambil, tidak menguntungkan pihak yang kuat dan memberikan beban yang berat kepada pihak yang lemah. Masing-masing individu hendaknya mempunyai rasa tanggung jawab akan kesejahteraan bersama, dan menjadi promotor menuju bangsa yang berbudi luhur.










Post a Comment

0 Comments