Lockdown
Menurut Post-Strukturalisme Derrida
Akhir-akhir
ini situasi perekonomian Indonesia di tengah mewabahnya Covid-19 sangat
menyesakkan dan mengkhawatrikan. Dampak penyebaran Covid-19 akan membebani
aktivitas ekonomi dalam jangka pendek sehingga menimbulkan risiko terhadap
prospek ke depannya.
Baru-baru
ini Federal Reserves kembali
memangkas suku bunganya 100 basis poin, melanjutkan pemangkasan 50 basis poin
awal Maret 2020. Namun jauh sebelum itu,sejak Desember 2008 lalu Federal Reserves memangkas besar-besaran
dengan suku bunga The Fed yang jadi
acuan global kini tinggal 0-0,25%. Tahun 2015, The Fed mengaktifkan kembali
program quantitative easing senilai
US$700 miliar. Pemangkasan tersebut dilakukan untuk melindungi perekonomian dari
dampak negatif Covid-19. Setelah pemangkasan itu, para investor asing
ramai-ramai melepas portofolionya di emerging
market. Kemudian mereka mengubahnya seperti obligasi gaya Amerika Serikat.
Di
berbagai negara pandemi itu telah mengancam perekonomian. Untuk mencegah
semakin banyaknya korban Covid-19 ini, beberapa negara telah menetapkan
kebijakan lockdown di negaranya.
Indonesia pun mengikuti kebijakan lockdown seperti di negara-negara lain. Namun
bagaimana masyarakat menanggapi dan menindaklanjuti kebijakan tersebut dalam
terang logika post-strukturalisme?
Tokoh
utama pendekatan post-strukturalisme, Jacques Derrida, melihat bahasa tidak
stabil dan tidak teratur. Derrida juga melihat bahwa lembaga-lembaga sosial hanya
sekadar tulisan, karena itu tidak mampu memaksa penggunanya. Setiap konteks
berbeda memberikan arti kata-kata yang berbeda juga. Menurut Derrida sangat
tidak mungkin para ilmuwan menemukan hukum umum yang mendasari bahasa.
Selanjutnya Deridda mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh
logosentrisme.
Post-strukturalisme
menolak ide struktur stabil pada strukturalime. Jika strukturalisme melihat
makna sebagai hasil struktur atau teratur, maka post-strukturalisme memuat
pengertian penyerapan dan kritik. Post-strukturalisme menyerap perlbagai aspek
linguistik struktural, kemudian menjadikannya sebagai kritik. Kritik
post-strukturalisme itu dianggap mampu melampaui strukturalisme. Menurut Chris
Barker (2004:20), keduanya bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan
subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil. Namun
Derrida menekankan bahwa makna itu sesuatu yang tidak stabil. Makna selalu
tergelincir dalam proses pembentukkannya dan ia tidak boleh hanya dibatasi pada
kata, kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal. Sebaliknya makna adalah
hasil hubungan antara teks. Jadi, post-strukturalisme tidak melihat adanya
kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa.
Di
sini Derrida berusaha untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Derrida
ingin memandang masyarakat terbebas dari gagasan semua dominasi intelektual tertentu,
yang telah berhasil memebentuk pemikiran dominan. Di sisi lain, dalam Archeology of Knowledge, sebagai seorang
post-strukturalis Michael Foucoult mengutarakan tujuan dari studinya mencari
struktur pengetahuan, ide-ide dan modus diskursus.
Foucoult
mempertentangkan arekeologinya dengan sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu,
Foucoult menekuni ungkapan-ungkapan lisan dan tulisan. Tujuannya ialah agar dia
dapat menemukan kondisi-kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus dapat berjalan
dengan lancar. Singkatnya, Foucoult mengemukakan pandangannya tentang
pengetahuan dan kekuasaan. Menurut Foucoult, pengetahuan dan kekuasaan itu
selalu saling berkaitan. Siapa yang berpengetahuan, dia akan berkuasa.
Wuhan
(China), Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Irlandia, Denmark, Prancis,
Filipina, Malaysia sudah memutuskan lockdown.
Namun di Indonesia kebijakan lockdown
menuai perdebatan antar kelompok pro dan kelompok kontra. Di sinilah
persoalannya. Hari-hari ini ramai silang pendapat di berbagai media, tentang
kebijakan lockdown: dampak positif
dan dampak negatifnya.
Indonesia
terutama di Jakarta sudah menerapkan semi lockdown.
Sejumlah kantor pemerintah atau swasta, sekolah sudah tutup karena pekerjaan
dan kegiatan belajar dilakukan dari rumah. Lalu lintas di jalan menjadi sepi. Mal
dan pasar sepi. Terminal-terminal pun sepi. Semua tempat wisata juga ditutup. Nyaris
seluruh kegiatan pembelajaran, ekonomi, perayaan keagamaan dan perpolitikan
terpengaruh Covid-19 ini. Pegawai Ditjen Pajak hanya 20% yang berkantor sampai
5 April 2020, sisanya bekerja dari rumah. Pemeriksaan, pengawasan wilayah, dan
penyuluhan langsung dihentikan. Pengadilan Pajak tutup sampai 31 Maret 2020.
Situasi isolasi terbatas atau semi
lockdown seperti ini tentu buruk untuk perekonomian. Apalagi bila
diterapkan lockdown, yang berarti
isolasi menyeluruh. Misalnya dengan melarang orang bepergian ke luar kota atau
melarang orang menaiki transportasi antarkota. Dan memang lockdown total inilah
yang sedang dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Di
Indonesia dominasi sektor perekonomian informal masih sangat besar. Saya
berpendapat bahwa seluruh masyarakat kelas ekonomi rendah akan mengalami
kerugian paling besar bahkan mati kelaparan apabila lockdown diterapkan di Indonesia. Di sini pendekatan strukturalis
melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kebijakan lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah dan kebijakan itu berlaku
universal. Kata lockdown dimaknai
secara strukturalis sebagai cara mudah termudah mengindar dan mengurangi dampak
Cocid-19. Namun post-strukturalis melihat kebijakan lockdown tersebut kurang atau tidak bermanfaat bagi masyarakat
kelas ekonomi rendah.
Kebijakan
lockdown yang dimaknai sebagai cara
pencegahan dan pengurangan dampak Covid-19 justru dimaknai oleh post-strukturalis
sebagai menciptakan masalah baru dalam perekonomian negara. Di sini kita
melihat adanya unsur ketidakmerataan (kaum post-strukturalisme melihat sebagai ketidakstabilan)
pendapatan setiap masyarakat. Di sini juga, lockdown
dimaknai secara berbeda poleh pemakai kelas-kelas masyarakat. Hal ini terjadi
oleh karena rendahnya pendapatan, tanggungan yang banyak atau juga letak
gegorgrafis yang berbeda, di mana dampak Covid-19 belum (tidak akan) menyebar. Jika
kebijakan lockdown yang harus dilakukan oleh seluruh
masyarakat Indonesia untuk mencegah dan mengurangi dampak Covid-19 dilaksanakan
maka pemerintah harus menjamin dan mendistribusikan secara merata segala
bantuan kepada seluruh masyarakat.
Jika
dilihat dari sudut pandang pengetahuan dan kekuasaan ala Michael Foucoult, maka
mereka (elite, investor, koruptor, dan kelas atas lainnya) yang mengetahui dampak
positif dan negative dari lockdown akan
“menguasai” dan memanfaatkan sebaik-sabaiknya kesempatan tersebut demi
kepentingan mereka sendiri. Mereka akan mempelajari kemungkinan-kemungkinan
terhadap peningkatan dan kemajuan bisnis mereka selama masa lockdown, berapa kerugiannya, bagaimana
mereka membeberkan alasan yang rasional jika ditangkap oleh pihak keamanan,
bagaimana mereka mengantisipasi kerurgian, bagaimana caranya agar barang
berlaku cepat dan dipercayai oleh para konsumen, dan berapa jumlah uang yang
harus dikeluarkan bila didapati pelanggaran. Menurut Foucoult, pengetahuan semacam
inilah sangat berkaitan dengan kekuasaan.
Apabila
masyarakat (pebisnis, wirausaha, penanam saham, politkus, ASN, petani dll) memiliki pengetahuan, maka masyarakat itu
akan berkuasa. Dalam artian bagi yang berpengetahuan, lockdown tersebut sangat bermanfaat. Akan tetapi, apabila kurang
atau tidak berpengatahuan maka lockdown tersebut
jusru menciptakan dan mungkin memperparah persoalan yang ada.
*Opini ini ditulis Mei 2021, diterbitkan untuk kepentingan pendidikan. Laporan data terpapar Covid-19 tidak diubah.
0 Comments