Urgensi Etika dalam Politik II Ricky Mantero

 

Urgensi Etika dalam Politik

Ricky Mantero, Mahasiswa STFK Ledalero-Flores-NTT


Prolog

Selama ini, citra politik itu sangat buruk di mata masyarakat. Banyak masyarakat yang anti terhadap politik karena ada begitu banyak masalah yang terjadi di dalam aktivitas politik, seperti persoalan-persoalan politik yang mengarah kepada pertarungan kepentingan dan ‘pertikaian’ sekelompok elite untuk merebut kekuasaan. Masyarakat juga kian muak ketika melihat dan menemukan bahwa politik itu hanya dimiliki oleh segelintir orang seperti para oligark. Mereka hanya berorientasi pada profit. Mereka mau meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari setiap aktivitas politik yang mereka lakukan.

Di samping itu, para politikus menjadi sangat picik dan tak bermoral ketika mereka sudah menjadi bagian dari partai politik tertentu. Partai politik menjebak mereka ke dalam sistem yang mengabdi kepada kepentingan pemilik partai. Partai politik tidak lagi menjadi wadah bagi pendidikan politik, tetapi menjadi ladang yang subur untuk menumbuhkembangkan sikap dan perilaku serakah. Misalnya, ketika sudah menjadi anggota dari partai politik tertentu, ada banyak politikus yang berperilaku egois dengan menciptakan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), khususnya politikus yang hanya mementingkan diri sendiri dan golongan, tanpa peduli dengan penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Padahal, sebelum terpilih menjadi pemimpin atau wakil rakyat, khususnya pada saat kampanye, mereka berkeliling atau blusukan dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, menunjukkan rasa simpati dan empati pada penderitaan rakyat, sembari menebarkan janji-janji manis kepada rakyat. Bahwasannya, mereka akan berjuang demi dan hanya untuk kepentingan rakyat jika mereka terpilih. Akan tetapi, setelah mereka terpilih dan duduk di kursi empuk, rakyat dan semua aspirasi rakyat terpinggirkan. Mereka malah bersenang-senang dan menghambur-hamburkan uang di atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang kian memburuk.

Jika memang demikian kondisi perpolitikan kita, pertanyaan fundamentalnya ialah ‘mengapa politik dan para politikus menjadi seburuk dan sepicik itu?’ Hemat penulis, salah satu hal yang membuat dan menjadikan politik seperti itu ialah ketiadaan etika dalam politik. Sebab, selama ini politik dan para politikus telah menjauhkan dan meminggirkan etika dari dunia politik. Mereka juga mengerdilkan etika itu dari dalam keseharian hidup mereka sebagai pelaku dan pegiat politik. Mereka telah memisahkan etika dari politik, sehingga mereka dapat menjadikan politik sebagai satu-satunya “lahan basah” untuk mengekspresikan keegoisan, ketamakan dan kebrutalan mereka. Alhasil, di dalam aktivitas politik, mereka lebih memprioritaskan kepentingan mereka sendiri dan menanggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Ironis, bukan?

Dalam hal ini, mereka lebih mengimplementasikan konsep politik dari Nicollo Machiavelli yang notabene telah meminggirkan etika dari aktivitas politik, hanya untuk dan demi mempertahankan jabatan dan kekuasaan.[1] Akan tetapi, semestinya mereka memahami bahwa konsep politik dari Machiavelli sudah tidak sesuai dengan konteks politik pada zaman sekarang. Konsep politik dari Machiavelli hanya sesuai dengan konteks politik pada zamannya. Mengapa? Sebab, pada zaman sekarang, etika tidak dapat diabaikan dari percaturan politik karena etika memiliki peran penting untuk membangun dan menciptakan atmosfer politik yang mengarah kepada kebaikan bersama (bonum commune).

Etika

Untuk mengetahui dan memahami peran etika di dalam aktivitas politik, terlebih dahulu, penulis akan menjelaskan substansi dari etika itu sendiri. Secara umum, etika dapat dipahami dengan tiga pengertian berikut ini. Pertama, kata “etika” bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok untuk mengatur tingkah lakunya. Kedua, “etika” juga berarti sebagai kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, “etika” mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (baca: asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian yang sistematis dan metodis.[2]

Maka, berdasarkan beberapa pengertian etika di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa etika itu adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang dapat membantu manusia untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Etika dapat mengantar manusia kepada ruang permenungan atau ruang reflektif tentang yang baik dan buruk, sehingga dapat membawa setiap insan dunia kepada tindakan atau aksi yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai dan norma-norma moral. Dengan harapan bahwa perilaku dan tindakan yang tercipta dalam kehidupan sehari-hari ialah perilaku dan tindakan yang baik, bukan yang buruk.

Dalam konteks dunia politik, etika dapat membantu para politikus dan semua orang yang berkecimpung di dalam percaturan politik untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan hal-hal yang buruk. Eksistensi etika dalam politik dapat membantu pemerintah dan para politikus lainnya untuk menciptakan program, kebijakan dan keputusan yang pro rakyat dengan mengutamakan kepentingan bersama demi kesejahteraan seluruh rakyat. Alhasil, etika dalam politik bertujuan untuk menghindari pemerintah dan para politikus lainnya dari sikap ingat diri dan golongan.

Etika dalam Politik

Menurut Aristoteles, politik adalah sistem hidup bersama dalam polis yang hendak merengkuh kebaikan. Politik hanya mungkin ada karena kebaikan dan ia hanyalah konsekuensi logis dari kehendak bersama para warga yang terarah kepada kebaikan.[3] Maka, berdasarkan pendapat dari Aristoteles itu, penulis dapat berasumsi bahwa politik sesungguhnya mulia dan suci. Sebab, politik itu berorientasi pada kebaikan, yakni kebaikan bersama. Artinya bahwa di dalam politik, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan bersama itu didiskusikan, dibicarakan, dipertimbangkan dan diatur sedemikian rupa agar kebutuhan dan kepentingan bersama itu terpenuhi sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, dengan maksud demikian, Aristoteles berpendapat bahwa etika adalah pendasaran dari politik atau politik menemukan dasar kodratinya pada etika.[4] Dalam hal ini, Aristoteles hendak mengafirmasi bahwa politik dapat menemukan arti dan makna yang sesungguhnya, sebagai medan dan proses yang mulia nan suci untuk mendiskusikan, mempertimbangkan dan memutuskan kebijakan, program dan keputusan yang berorientasi pada kemaslahatan hidup atau kebaikan bersama, jikalau politik itu sendiri berada dalam pijakan, pedoman dan tuntunan etika. Etika yang mengatur ritme dan pergerakan politik, sehingga politik itu dapat berjalan dalam koridor nilai-nilai dan norma-norma moral, serta terbebas dari cengkeraman hal-hal buruk. Di sinilah letak urgensi etika di dalam aktivitas politik.

Penulis juga yakin bahwa politik yang menyertakan etika dalam keseluruhan aktivitasnya ialah politik yang beradab dan bermartabat. Sebab, politik yang merangkul etika adalah politik yang sungguh-sungguh berorientasi pada eksistensi dan esensi dari dirinya sendiri, yaitu kebaikan bersama, bukan hanya kebaikan atau kesejahteraan sekelompok orang seperti para oligark dan kroni-kroninya. Maka, pemerintah dan para politikus, sebagai pelaku atau pegiat politik di dalam kehidupan sehari-hari, harus selalu sadar untuk menggandeng etika di dalam aktivitas-aktivitas politik yang mereka jalankan. Agar dengan demikian, semua citra atau stigma buruk tentang politik di ruang publik, khususnya di mata masyarakat, dapat diperbaiki secara perlahan, sehingga citra politik yang mulia dan suci itu dapat terbentuk lagi sesuai dengan eksistensi dan esensinya.

Epilog

Politik yang merangkul etika merupakan cita-cita politik masa depan yang harus diupayakan sejak sekarang. Sebab, jika kita menghendaki situasi politik yang beradab dan bermartabat, kita tidak boleh membiarkan politik itu berjalan sendirian. Politik harus menggandeng etika untuk menjadi “sahabat” yang selalu memberikan pertimbangan moral di dalam aktivitas-aktivitas politik. Agar dengan demikian, politik tidak hanya menjadi rutinitas di dalam kehidupan bersama, tetapi dapat menjadi sajian istimewa yang sungguh-sungguh memberikan kenikmatan sejati bagi semua orang di dunia ini.  

 



[1] Bagi Nicollo Machiavelli, politik tidak masuk dalam ruang lingkup etika keutamaan manusiawi seperti yang digagas oleh para filosof tradisional atau klasik (Socrates, Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas). Dengan demikian, politik dilepas dari gandengannya dengan etika. Politik memiliki jalur keutamaannya sendiri, yaitu berkaitan dengan keutuhan negara. Politik harus dijalankan dengan tujuan untuk menjaga kestabilan takhta dan keutuhan negara dari aneka ancaman. (Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.HUM., Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia (Yogyakarta: PT Kanisius, 2017), hlm. 74)

[2] K. Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993 ), hlm. 6.

[3] Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.HUM., op.cit., hlm. 79.

[4] Ibid., hlm 73.

Post a Comment

0 Comments