Gambar pixabay.com |
Di puncak sebuah bukit, aku meresah akan kini, esok dan nanti sembari juga mengadu dan menegadah pada teduhnya harap, cita dan ujud tentang kemarin, hari ini serta kelak. Kata orang, di bukit ini banyak orang berbondong-bondong kemari menenun kisah, mengukir sejarah dan melakukan ziarah di dalam bahtera Sang Sabda bersama yang lain menuju suara di padang Gurun yang tandus dan kering itu. Melewati padang Gurun yang tandus dan kering adalah menghidupi sejarah, membangkitkan ingatan, sembari mengobarkan api cinta kasih di dalam diri sesama cipta. Padang Gurun masa kini tidak lain tidak bukan adalah diri sendiri berbalutkan nuansa kekinian di mana hidup hanyalah suatu ziarah euphoria bagi diri sendiri. Aku hanyalah aku dan bukan kamu. Sementara aku bagi yang lain adalah aku yang sama, sejalan, searah. Di luar itu, aku bukanlah siapa-siapa begitu pun kamu bukan apa-apa bagi aku. Di sinilah kepenuhan jiwa mati terlalu dini, api cinta kasih padam terlalu cepat. kenikmatan akan kekinian adalah sesuatu yang cepat berlalu sehingga kadang kala kita bagai seorang anak kecil rindu akan pelukan hangat dari sang Ibunda yang sudah lama ditinggal pergi entah ke mana.
Aku mencoba menelusuk masuk mengakrabi diriku pada Dia setelah sekian lama aku merunduk berpaling dari-Nya. Aku merasa asing karena terkesan asik di saat dunia jadi arena konsumeristis. Persaudaraan kian terkikis oleh anggapan bahwa dunia sebagai ladang subur untuk saling berkompetisi. Dunia tempat di mana manusia mereproduksi kehidupan mengalami dekontruksi moral akibat lajunya arus globalisasi pada sendi-sendi kehidupan modern. Abad yang disebut sebagai zaman modern telah memoderisasi lini kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Pola komunikasi, interaksi sosial, dan konsumsi umat manusia mengalami suatu revolusi yang tak terbayangkan pun nanti tak terpadamkan.
Waktu ini membawa setitik rindu akan situasi kehidupan
masa lalu yang kaya akan nilai-nilai positif. Ya dahulu, ke-aku-anku dapat
menjadi di dalam yang lain. Dia, kamu, mereka adalah aku yang lain. Namun ini sekadar
menenun kembali ingatan itu yang masih terekam baik dalam memori. Ruang dan
waktu seakan-akan berhembus kencang tak terbendung tatkala derasnya rinai-rinai
kenangan semerbak pada kelamnya rasa. Aku masih di sini terpaku dengan aneka
ragam rasa pada Dia yang pernah kupuja. Tiada kata yang indah untuk kukisahkan
tentang kita. Mungkin keindahan yang kita ciptakan bersama itu tidak dapat
dimengerti oleh bahasa manusia sehingga ketika waktu mengajakku untuk bersua, diri
enggan untuk berbicara.
Aku seorang diri berdiri menatap bangunan tua peninggalan
para misionaris Eropa itu yang masih kokoh berdiri mesti sudah senja ditelan waktu.
Sunyi terus mencekam. Malam makin gelap penuh lengang yang kian lekang. Di
sudut kiri bangunan tua itu aku berdiri. Diam. Membisu.
Gemuruh angin malam berhembus meluruh dinding-dinding
kenangan pada rumah tua yang sudah kusut tak terurus itu sementara aku mengusut
jejak langkah demi langkah yang susut diterpa gelora gelombang kekinian. Aku
yang dulu ingin menjadi nanti meski kini aku meresah tentang kelak yang tak
pasti. Terlalu lamakah aku berkelana bersama waktu sehingga pada detik ini aku
masih di sini? Ya aku harus dan mesti di sini bukan di sana. Barangkali untuk
meresapi Tubuh dan Darah-Nya kelak, aku mesti melewati arus kehidupan di Padang
Gurun yang kering dan tandus. Lalu bagaimana dengan raga ini yang kadang ragu
dengan rasa? Ketika raga dan rasa tercerai-berai gugur pula tatapan akan
harapan masa depan.
Di luar sana suara-suara kehidupan yang selalu terdengar
tanpa henti kini terhenti sedangkan aku masih mencoba untuk berdamai dengan
raga dan rasa tentangmu yang telah kupungut dari sejuta kisah dan kasih yang
tiada pernah surut. Kau dan aku pernah jadi kita. Kita bercerita tentang nanti
tetapi bukan janji sebab kita masih dini. Bagimu “janji itu suci” sehingga kau
tidak ingin berjanji tentang hati yang tak pasti. Adakalanya janji itu adalah
sebuah solusi kadang kala juga merupakan sebuah ilusi. Barangkali inilah yang
buat aku dan kamu untuk tidak saling mengikat janji. Cerita kita kemarin belum usai. Canda
tawa yang pernah kita rawat pada kali pertama perjumpaan kita kala itu masih
terawat dan akan tetap hidup. Di saat sepi dan sunyi menganyam kebisingan
malam, aku kembali teringat akan senyum manjamu itu. Ya barangkali senyum manismu
itu yang selalu melunglai-lunglai keadaanku kini. Senyum itulah yang menjadikan
ada sebagai yang sekarang.
Barangkali
pulangku adalah ruang bagi hatimu yang tak bertuang itu? entahlah. Atau hadirku
adalah utang yang tak mampu kubayar sehingga diammu itu adalah cara kamu untuk
menyadariku? Aku sadar kalau jarak dan waktu adalah sebuah ziarah perjalanan
yang Panjang dengan pandang yang tak berujung. Adalah mungkin bagi kamu kalau
jarak itu memisahkan sekaligus memusnahkan. Namun bukankah ini cara kita untuk saling merindu dalam sujud dan doa, tempat kita bersua.
Mungkin bagi kamu ini adalah sebuah cita-cita utopia yang membuat kamu
berpaling. Namun harus aku akui bahwa kini aku sudah menghidupi senyum itu di
sini yang barangkali pun aku tak tahu sampai kapan? Ingatlah bahwa suatu
hari kita akan bersatu dalam suasana yang berbeda dalam satu atap yang sama
yakni: Di Rumah-Nya.
_________________________
Tentang penulis Roni Tlaan adalah Putera Atoin Meto, aleu nekaf.
0 Comments