CERPEN RONY TLAAN-MERENUNG


Gambar pixabay.com








MERENUNG


Jam dinding yang sedari dulu kuletakan di pojok tempat tidurku itu menunjukkan pukul 06:00. Aku sadar malam sudah beranjak pergi berganti dengan sebilah cahaya yang merobos masuk di celah-celah pelepah bambu dan menusuk mataku. Aku terbangun dan melihat di timur fajar telah menyingsing tanda kehidupan baru dimulai.

Di rumah tua berdinding  bambu dan beratapkan alang-alang itu tempatku bertarung dengan hidup. Aku dan keluargaku hidup dari dari olahan tanah  sang ayah yang kadang kala kurang cukup bagi kami. Di lingkungan tempat kami tinggal, banyak orang-orang merasa asing di antara yang lain. Tetapi Ayah selalu mengingatkan komitmen kami untuk bekerja.

"Nak, bangunlah dan kerjakan pekerjaanmu."

Demi itu, ayah tidak pernah berserah pada waktu walau gelembur tanda telah menua. Walau badai datang silih berganti ia tetap kuat memampukan kami untuk bisa mendapat sesuap nafkah. 

Pergi pagi pulang malam, keringat di kekar tubuhnya membuatku  selalu terperangkap pada pesonanya. Pesonanya membuatku merenung setiap malam yang kelam lebam. Saat aku masih berasyik merenung tentang hari baru yang akan segera tiba pada esok hari nanti. Malam beranjak pergi begitu sunyi mengisahkan bunyi yang mencekam yang mesti diutarakan pada waktu fajar menyingsing. Malam itu sunyi yang indah bagi diri yang meresah akan desas-desus waktu silam, saat kini dan masa depan. Begitulah malam yang meski kelam namun tak pernah padam. Malam selalu membawa saya ingin berlari sejauh mungkin untuk mewujud nyatakan cerita masa silam, mimpi-mimpi masa kini serta membangun harapan akan nanti.

Di puncak sebuah bukit, aku meresah akan kini, esok dan nanti sembari juga mengadu dan menegadah pada teduhnya harap, cita dan ujud tentang kemarin, hari ini serta kelak. Kata orang, di bukit ini banyak orang berbondong-bondong kemari menenun kisah, mengukir sejarah dan melakukan ziarah di dalam bahtera Sang Sabda bersama yang lain menuju suara di padang Gurun yang tandus dan kering itu. Melewati padang Gurun yang tandus dan kering adalah menghidupi sejarah, membangkitkan ingatan, sembari mengobarkan api cinta kasih di dalam diri sesama cipta. Padang Gurun masa kini tidak lain tidak bukan adalah diri sendiri berbalutkan nuansa kekinian di mana hidup hanyalah suatu ziarah euphoria bagi diri sendiri. Aku hanyalah aku dan bukan kamu. Sementara aku bagi yang lain adalah aku yang sama, sejalan, searah. Di luar itu, aku bukanlah siapa-siapa begitu pun kamu bukan apa-apa bagi aku. Di sinilah  kepenuhan jiwa mati terlalu dini, api cinta kasih padam terlalu cepat. kenikmatan akan kekinian adalah sesuatu yang cepat berlalu sehingga kadang kala kita bagai seorang anak kecil rindu akan pelukan hangat dari sang Ibunda yang sudah lama ditinggal pergi entah ke mana.

Aku mencoba menelusuk masuk mengakrabi diriku pada Dia setelah sekian lama aku merunduk berpaling dari-Nya. Aku merasa asing karena terkesan asik di saat dunia jadi arena konsumeristis. Persaudaraan kian terkikis oleh anggapan bahwa dunia sebagai ladang subur untuk saling berkompetisi. Dunia tempat di mana manusia mereproduksi kehidupan mengalami dekontruksi moral akibat lajunya arus globalisasi pada sendi-sendi kehidupan modern. Abad yang disebut sebagai zaman modern telah memoderisasi lini kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Pola komunikasi, interaksi sosial, dan konsumsi umat manusia mengalami suatu revolusi yang tak terbayangkan pun nanti tak terpadamkan.

Waktu ini membawa setitik rindu akan situasi kehidupan masa lalu yang kaya akan nilai-nilai positif. Ya dahulu, ke-aku-anku dapat menjadi di dalam yang lain. Dia, kamu, mereka adalah aku yang lain. Namun ini sekadar menenun kembali ingatan itu yang masih terekam baik dalam memori. Ruang dan waktu seakan-akan berhembus kencang tak terbendung tatkala derasnya rinai-rinai kenangan semerbak pada kelamnya rasa. Aku masih di sini terpaku dengan aneka ragam rasa pada Dia yang pernah kupuja. Tiada kata yang indah untuk kukisahkan tentang kita. Mungkin keindahan yang kita ciptakan bersama itu tidak dapat dimengerti oleh bahasa manusia sehingga ketika waktu mengajakku untuk bersua, diri enggan untuk berbicara.  

Aku seorang diri berdiri menatap bangunan tua peninggalan para misionaris Eropa itu yang masih kokoh berdiri mesti sudah senja ditelan waktu. Sunyi terus mencekam. Malam makin gelap penuh lengang yang kian lekang. Di sudut kiri bangunan tua itu aku berdiri. Diam. Membisu.

Gemuruh angin malam berhembus meluruh dinding-dinding kenangan pada rumah tua yang sudah kusut tak terurus itu sementara aku mengusut jejak langkah demi langkah yang susut diterpa gelora gelombang kekinian. Aku yang dulu ingin menjadi nanti meski kini aku meresah tentang kelak yang tak pasti. Terlalu lamakah aku berkelana bersama waktu sehingga pada detik ini aku masih di sini? Ya aku harus dan mesti di sini bukan di sana. Barangkali untuk meresapi Tubuh dan Darah-Nya kelak, aku mesti melewati arus kehidupan di Padang Gurun yang kering dan tandus. Lalu bagaimana dengan raga ini yang kadang ragu dengan rasa? Ketika raga dan rasa tercerai-berai gugur pula tatapan akan harapan masa depan.

Di luar sana suara-suara kehidupan yang selalu terdengar tanpa henti kini terhenti sedangkan aku masih mencoba untuk berdamai dengan raga dan rasa tentangmu yang telah kupungut dari sejuta kisah dan kasih yang tiada pernah surut. Kau dan aku pernah jadi kita. Kita bercerita tentang nanti tetapi bukan janji sebab kita masih dini. Bagimu “janji itu suci” sehingga kau tidak ingin berjanji tentang hati yang tak pasti. Adakalanya janji itu adalah sebuah solusi kadang kala juga merupakan sebuah ilusi. Barangkali inilah yang buat aku dan kamu untuk tidak saling mengikat janji. Cerita kita kemarin belum usai. Canda tawa yang pernah kita rawat pada kali pertama perjumpaan kita kala itu masih terawat dan akan tetap hidup. Di saat sepi dan sunyi menganyam kebisingan malam, aku kembali teringat akan senyum manjamu itu. Ya barangkali senyum manismu itu yang selalu melunglai-lunglai keadaanku kini. Senyum itulah yang menjadikan ada sebagai yang sekarang.

Barangkali pulangku adalah ruang bagi hatimu yang tak bertuang itu? entahlah. Atau hadirku adalah utang yang tak mampu kubayar sehingga diammu itu adalah cara kamu untuk menyadariku? Aku sadar kalau jarak dan waktu adalah sebuah ziarah perjalanan yang Panjang dengan pandang yang tak berujung. Adalah mungkin bagi kamu kalau jarak itu memisahkan sekaligus memusnahkan. Namun bukankah ini cara kita untuk saling merindu dalam sujud dan doa, tempat kita bersua. Mungkin bagi kamu ini adalah sebuah cita-cita utopia yang membuat kamu berpaling. Namun harus aku akui bahwa kini aku sudah menghidupi senyum itu di sini yang barangkali pun aku tak tahu sampai kapan? Ingatlah bahwa suatu hari kita akan bersatu dalam suasana yang berbeda dalam satu atap yang sama yakni: Di Rumah-Nya.

_________________________

Tentang penulis Roni Tlaan adalah Putera Atoin Meto, aleu nekaf.

  

Post a Comment

0 Comments