OPINI RIO AMBASAN-UTILITARIANISME, BESIPAE DAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Gambar pixabay.com


UTILITARIANISME, BESIPAE DAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

 

Ingatan masyarakat Nusa Tenggara Timur tentu masih segar terkait penerbitan Perpers Nomor 63 Tahun 2020 tentang penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024, di mana terdapat  62 kabupaten dari 10 provinsi masuk dalam kategori tersebut. Di provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri terdapat 13 kabupaten yang masih berada dalam pusaran daerah tertinggal. Ketiga belas daerah tersebut antara lain, Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, Belu, Alor, Malaka, Lembata, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Sabu Raijua serta Kabupaten  Timor Tengah Selatan, tempat yang menjadi locus masyarakat adat Besipae.

Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi termiskin ketiga di Indonesia. Realitas sebagai provinsi termiskin ketiga di republik tercinta ini terkadang mendorong banyak pihak, baik elite politik, tokoh masyarakat maupun tokoh agama untuk secara masif dan terang-terangan mendukung misi pembangunan. Bagi Mereka, pembangunan merupakan “dewa” baru yang dapat menyelamatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur dari cengkraman kemiskinan, dan di luar pembanguan, masyarakat Nusa Tenggara Timur tidak akan pernah sampai pada kata sejahtera. Oleh sebab itu, pembangunan atas nama apa pun harus digolkan.

Jika kita kaji lebih lanjut, geliat pembangunan yang masif dicanangkan tersebut sering kali masih jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Tak dapat dimungkiri bahwasanya geliat pembangunan yang menjanjikan kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Timur masih jauh dari kata adil serta berpihak pada masyarakat akar rumput dan kaum minoritas. Masih begitu banyak pembangunan di Nusa Tenggara Timur yang mengikuti prinsip utilitarianisme. Hemat penulis, jika prinsip utilitarianisme masih saja dihidupi dalam setiap geliat pembangunan di Nusa Tenggara Timur, maka tidak mengherankan lagi jika “Besipae-besipae” lainnya akan segera mencuat ke permukaan.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengkaji lebih lanjut konsep utilitarianisme dalam pemanfaatan lahan di Besipae dan implikasinya terhadap masyarakat adat yang tinggal di sekitar lahan tersebut. Kita tahu bahwa, terkadang demi menjalankan misi kesejahteraan dan kebaikan bersama, kita absen dalam memperhatikan nasib kaum minoritas yang seyogianya merupakan kelompok masyarakat yang paling terdampak. Tak hanya melulu mengkritisi pembangunan berbau utilitarianisme di Besipae, penulis juga berusaha menghadirkan tindakan solutif yang cocok diterapkan untuk konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur.

MASYARAKAT ADAT BESIPAE DAN HAK ASASI MANUSIA

Diskursus tentang Hak Asasi Manusia di tengah arus demokrasi memang selalu menarik untuk digali secara lebih lanjut. Ia menjadi sesuatu yang menarik karena selalu bersinggungan dengan esensi dan eksistensi manusia. Sesungguhnya, Hak Asasi Manusia merupakan suatu realitas terberi (given). Hal ini berarti tanpa diminta pun, Hak Asasi Manusia sudah dengan sendirinya melekat dalam diri seseorang. Hak Asasi Manusia dalam dirinya sendiri selalu menuntut untuk diakui, dijaga dan dihormati. Tanpa adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM, bonum communae yang seyogianya menjadi tujuan bersama tidak akan pernah terealisasi. Kita harus kritis bahwasanya kendatipun negara kita menganut paham demokrasi, kasus pelanggaran HAM masih jamak terjadi. Hal tersebut dapat kita lihat melalui kasus yang terjadi di Besipae.

Pada medio 2020 kemarin, masyarakat Indonesia diguncangkan dengan kasus yang menimpa masyarakat adat Besipae, Timor Tengah Selatan. Insiden yang terjadi pada Selasa, 18 Agustus 2020 ini membuat anak-anak dan perempuan adat Besipae trauma lantaran dihadapan dengan aparat yang datang lengkap dengan senjata.[1] Tak hanya itu, sebanyak 29 kepala keluarga terpaksa tidur beralaskan tikar dan beratapkan langit karena imbas dari pengrusakan tempat tinggal yang dilakukan oleh aparat sebagai tangan kekuasaan. Kasus yang kini dialami oleh masyarakat adat Besipae seyogianya mengingatkan kita semua bahwasanya misi mulia untuk menjaga alam dan kelestariannya tidak serta-merta berjalan mulus. Akan ada sejumput persoalan yang harus dihadapi.

Lantas, hal apakah yang menyebabkan sampai terjadinya pelanggaran tersebut? Ini merupakan pertanyaan paling fundamental yang harus segera dijawab dan diketahui oleh semua orang. Hemat penulis, pelanggaran-pelanggaran HAM di tengah arus demokrasi sesungguhnya terjadi akibat minusnya rasa pengakuan akan yang lain. Orang cenderung mengabaikan HAM karena selalu berpikir tentang dirinya sendiri. Kasus Besipae misalnya, meskipun perbuatan tersebut jelas-jelas merugikan masyarakat adat, toh negara terkesan absen di dalamnya. Dalam konteks hidup berdemokrasi, Hak Asasi Manusia hanya dapat terwujud apabila semua orang berani untuk mengakui eksistensi yang lain dan tidak salah lagi dalam menggunakan kebebasannya. Kita perlu sadar bahwa dalam iklim demokrasi sekalipun, orang tidak seutuhnya bebas, sebab kebebasannya t selalu dibatasi oleh kebebasan orang lain.

KONSEP UTILITARIANISME DALAM PEMANFAATAN LAHAN DI BESIPAE: UNTUNG ATAU BUNTUNG?

Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika formatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah memaksimalkan kegunaan atau manfaat bagi sebanyak mungkin orang (Utility).  Utilitarianisme biasanya didefenisikan sebagai upaya yang memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Secara etimologis, utilitarianisme berasal dari kata bahasa Latin ‘Utilis’, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah atau menguntungkan. Salah satu kekuatan utilitarianisme adalah kenyataan bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional. Dengan mengikuti prinsip ini, pemegang kekuasaan mempunyai pegangan yang jelas untuk membentuk kebijakannya dalam mengatur masyarakat. Utilitarianisme sendiri berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Menurut para utilitarian, manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik yang sebesar-besarnya terhadap akibat-akibat buruk. Jika kita kaji lebih lanjut, kekhasan konsep ini terletak pada orientasinya yang menekankan pada hasil perbuatan. Secara sederhana, kriteria objektif etika utilitarianisme adalah: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang”.

Bertolak dari logika utilitarianisme, kita dapat mengatakan bahwa: “adalah lebih baik menyejahterakan masyarakat NTT dengan pemanfaatan lahan di Besipae ketimbang nasib dan hak masyarakat adat yang terciderai.” Masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah manifestasi kaum mayoritas sedangkan masyarakat adat di Besipae adalah imagi tentang wajah kaum minoritas. Lantas, apakah logika ini dapat dikatakan adil? Geliat pembangunan yang kini sedang dicanangkan di wilayah Besipae sudah jelas menggunakan konsep utilitarianisme sebab atas nama kepentingan dan kebaikan bersama, hak-hak masyarakat adat dengan mudahnya dicaplok. Kita harus kritis bahwasanya konsep utilitarianisme dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur sangatlah tidak relevan. Pernyataan ini cukup berdasar sebab konsep utilitarianisme bisa saja melahirkan masalah baru. Hemat penulis, ada beberapa masalah klasik yang harus dihadapi apabila logika dan konsep utilitarianise masih diterapkan dalam pembangunan-pembangunan yang ada di Nusa Tenggara Timur, antara lain:

Pertama, Pengabaian terhadap hak-hak minotitas. Di tengah munculnya misi pembangunan, ada tabrakan kepentingan yang terjadi di sana.  Ada dua pihak dengan kehendak yang berlawanan. Kaum mayoritas dan kaum minoritas sama-sama mengklaim bahwa apa yang mereka kehendaki adalah yang paling benar. Rousseau, seorang filsuf politik asal Prancis pernah berada dalam dilema tersendiri ketika dihadapkan dengan persoalan mayoritas dan minoritas. Rousseau sendiri mengakui masalah ini, tetapi tidak sanggup menjawabi persoalan ini. Kepentingan umum selalu saja disejajarkan dengan kepentingan kaum mayoritas. Lebih buruk lagi, dengan konstruksi ini, minoritas tidak hanya dinyatakan salah, melainkan kalah![2]

Kedua, Ancaman terhadap alam. Sadar atau tidak republik ini sedang dikuasai oleh para oligarki di mana sulit bagi kita untuk membedakan mana kebijakan yang sungguh berpihak terhadap masyarakat dan mana kebijakan yang sungguh berpihak pada para pemilik modal. Jika kita kaji lebih lanjut, konsep utilitarianisme secara implisit telah menyiapkan jalan yang mulus bagi para oligarki dan kapitalis untuk mengeksploitasi alam secara membabibuta. Akhirnya, ketika alam sudah mulai hancur, masyarakat sekitar tempat eksploitasi tersebutlah yang menderita.



[1] Ayomi Amindoni, “Masyarakat adat Besipae di NTT ‘digusur’ dari hutan adat Pubabu: Anak-anak dan perempuan ‘trauma’ dan ‘hidup’ di bawah pohon”, dalam BBC News Indonesia, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53839101, diakses pada 31 Mei 2022.

 

[2] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2021) hlm. 309.


_______________________

Tentang penulis:

Rio Ambasan mahasiswa IFTK Ledalero semester VII.

Post a Comment

0 Comments