CERPEN FAN WASA-LIBURAN: AWAL PERJUMPAAN ATAU AKHIR PERTEMUAN?

Gambar Pixabay.com

LIBURAN: AWAL PERJUMPAAN ATAU AKHIR PERTEMUAN?
(Kutuliskan sebuah diary untukmu Mama Martina)

Beberapa bulan yang lalu, kala rutinitas harian pembelajaran berakhir dan segala tetek bengek kehidupan membiara rehat, semua para frater melaksanakan kegiatan liburan. Liburan ini dengan tujuan perjumpaan bersama keluarga, tat kala sudah setahun menjalani masa-masa formasi di biara. Kini saatnya para frater mengalami perjumpaan bersama orang-orang rumah yang selama ini hanya bertemu via handphone.

Pada momen liburan kali ini, dua orang frater yang berbeda asal, namun disatukan dalam sebuah komunitas biara menjalani dan mengisi waktu liburan mreka dengan mengunjungi orang tua angkatnya. Kebahagiaan nampak, mengingat perjumpaan bersama keluarga angkat itu sudah empat tahun tak kunjung temu. Walau pun terkadang pertemuan maya, via video call menjadi cerita tersendiri untuk sekedar bercanda ria dan bersenda gurau. Senyum simpul dan wajah keriangan, memoles rindu yang kian lapuk dan ingin temu. Sekadar ber-say hello menjadi doa paling ulung dan amin tanpa semoga. Agar lekas lupa dari rindu yang makin menggunung.

Waktu itu, kira-kira pukul 12:15 waktu setempat. Langit berkabung, angin sepoi-sepoi kering berhembusan tak karuan. Dingin mencumbui kulit, menusuk-nusuk rajutan sweater yang sealakadarnya. Frater tiba di rumah orang tua angkatnya. Hal yang paling pertama dan utama  adalah ketika rindu anak menggebu-gebu ingin berjumpa dengan wanita yang di sapa ibu. Namun, nihil. Ia yang di sapa ibu tak kunjung ada. Lantas, kemanakah ia yang kami sebut mama?

Itulah pertanyaan awal kami ketika kaki dan hati terlampau pintu rumah yang sederhana. Dengan hati sedikit risau dan rindu yang kian merimbun, kami mencari seluruh isi rumah. Dan kami pun tak menemukan sosok wanita paruh baya itu. Sontak, gadis kecil bernama Rilan menyapa kami di balik kain jendela  dengan nada sedikit gusar dan melemah.  “Kakak Frater?”. Melihat kami yang kebingungan layaknya anak ayam yang kehilangan induknya, ia lalu melanjutkan kalimatnya, “Kak Frater cari mama?” tukasnya. Jawab kami serempak, ‘Ia nona, mama di mana?’ dengan tergesa-gesa menjawabnya. ‘Mama ada di rumah sebelah’, jawabnya lagi.Singkat cerita, percakapan yang melow dan emosional menghantar kami pada pertemuan dengan mama. Sesampainya di rumah tujuan kami, pandangan mati kami seakan-akan menitihkan air mata. Tak menyangka, bahwa seorang ibu yang selama ini sangat kuat, tegar dan penuh cinta terbaring lemas di atas ranjang, yang beralaskan tempat tidur seadanya. Nampak kala itu, raut wajah kesakitan dan badan yang kian ringkih, ia masih memberikan secuil senyum harapan untuk kami. Apakah arti senyuman itu hanya untuk menenangkan hati kami yang tak mampu melihat keadaan sekarang ataukah menyembunyikan sakit yang jauh lebih ganas, meranggas dan merasuki seluruh tubuhnya yang fana?

Ahhhh,, hampir saja air mata kami membanjiri rumah. Hanya saja, kami menahannya agar ia tak mengetahuinya, betapa kami tak sanggup melihat keadaanya yang begitu menyedihkan dan menyayat hati kami. Ketika pandangan kami bertemu, air matanya perlahan menetes. Kami berusaha menenangkannya, yang walaupun sebenarnya kami pun tak mampu menahannya. Dengan segala cinta dan kasih seorang ibu, ia berujar kepada kami, ‘nak, maafkan ibu! Kali ini kalian datang, ibu dengan keadaan seperti ini. Ibu tahu kalian pasti sedih melihat kondisi ibu ini, tapi tak apa-apa, ibu baik-baik saja. Ibu sudah sangat senang bisa melihat kalian lagi. Kalian harus capai apa yang menjadi cita-cita kalian, jangan mudah menyerah yahh,, ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian’. Kata-kata ini sangat purba untuk kita yang merasa biasa-biasa saja, tetapi ketulusan dan cinta yang mengiringi setiap hurufnya, menjadikan doa paling suci dan puisi paling syahdu untuk didendangkan.

Setelah sekian tahun tak kunjung temu, liburan ini menjadi awal pertemuan lagi dengan ibu kami yang sedang sekarat. Hari-hari hidup terasa hambar dan tak menyenangkan. Suasana yang biasanya riuh dan ria kini perlahan sepi. Sunyi. Hening. Tenang.

Sebelum dan sesudah bangun tidur, kami sempatkan mendikte dan menggugat Tuhan barangkali secercah harapan ia kembali pulih.

Kadang kita tidak pernah menyangka sekuat dan segigih apa pun tubuh kita, lantas kita hanya bisa berpasrah. Syukur jika kita sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Tetapi jika kita belum sembuh dan masih kekal dengan sakit, yang ada hanyalah cercaan tanpa ampun  untuk diri sendiri. Barangkali Tuhan?

 Hari-hari liburan frater berdua diisi dengan menjaga dan merawat mama yang mereka kasihi. Tiap tawa dan senyum simpul mama tidak terasa lagi seperti dulu-dulu. Mungkin saja ia terpaksa memberi senyum. Agar kami terlihat kuat dan terima kenyataan yang ada.

 Perjumpaan itu akhirnya selesai dengan masa liburan. Kedua frater kembali ke biara menjalani rutinitas mereka sebagaimana adanya. Tiada hari tanpa mendoakan beliau. Tiap mata dipejamkan, selalu ada namanya disebut. Kiranya yang punya kuasa menyembuhkan dapat menyembuhkan beliau.

~ ~ ~ ~

Berbulan-bulan ia berjalan bersama sakit, beriringan layaknya pasangan yang tak mau lepas pisah. Rasa sakit terus saja menggerogoti setiap urat-urat semangat untuk kembali berjuang menikmati hari hidupnya. Lantas, sakit masih dan tak kunjung sembuh. Beberapa dokter dan rumah sakit sudah dikunjunginya, ratusan jenis obat sudah dikosumsinya, bahkan tabib pun di panggilnya.  Ujud intensi pun di doakan setiap Minggunya. Alhasil, beliau masih dengan rasa dan perasaan yang sama. Kalut. Kesakitan. Ia pasrah.

Medio September tepatnya tanggal 13 beliau terlelap dengan kekal. Mata tak lagi buka, jantung tidak lagi berdetak dan mulut tak lagi berkutat. Ia diam penuh luka. Sepi penuh tanya. Selesai sudah?

Tidak ada lagi jumpa, sisa-sisa kenangan membekas, dekap dan akan selalu tersimpan.

 Dulu, senyumnya memabukan anak-anak. Tuturnya yang bernas dan penuh kerinduan. Kini Senyumnya menggenang, tawanya dikenang.


Martina,

Luka dan sakit jadi lupa.

Mata pejam kekal dan doa tidak lagi syahdu kau dendangkan.

Senyum dan tawa yang dulu penuh lugu

Tinggal sisa abu dan debu.

Tanah bersorak riang, kami penuh duka mengenang.

 

Lantas kami persalahkan Tuhan?

Boleh jadi, kami belum puas menikmati rindu.

Kerut di dahi belum tergores sama sekali.

Terlalu dini.

Dan masih terlalu dini.

Singkat saja, Martina kami rindu.

 

 

Medio September 2022

Paviliun Ludovikus

 

Oleh:Fand Wasa, Fratar Tingkat IV

 

 

 

  

Post a Comment

0 Comments