(Kutuliskan
sebuah diary untukmu Mama Martina)
Beberapa bulan yang lalu, kala rutinitas
harian pembelajaran berakhir dan segala tetek bengek kehidupan membiara rehat,
semua para frater melaksanakan kegiatan liburan. Liburan ini dengan tujuan
perjumpaan bersama keluarga, tat kala sudah setahun menjalani masa-masa formasi
di biara. Kini saatnya para frater mengalami perjumpaan bersama orang-orang
rumah yang selama ini hanya bertemu via
handphone.
Pada
momen liburan kali ini, dua orang frater yang berbeda asal, namun disatukan
dalam sebuah komunitas biara menjalani dan mengisi waktu liburan mreka dengan
mengunjungi orang tua angkatnya. Kebahagiaan nampak, mengingat perjumpaan
bersama keluarga angkat itu sudah empat tahun tak kunjung temu. Walau pun
terkadang pertemuan maya, via video call
menjadi cerita tersendiri untuk sekedar bercanda ria dan bersenda gurau. Senyum
simpul dan wajah keriangan, memoles rindu yang kian lapuk dan ingin temu.
Sekadar ber-say hello menjadi doa paling ulung dan amin tanpa semoga. Agar
lekas lupa dari rindu yang makin menggunung.
Waktu
itu, kira-kira pukul 12:15 waktu setempat. Langit berkabung, angin sepoi-sepoi
kering berhembusan tak karuan. Dingin mencumbui kulit, menusuk-nusuk rajutan sweater yang sealakadarnya. Frater tiba
di rumah orang tua angkatnya. Hal yang paling pertama dan utama adalah ketika rindu anak menggebu-gebu ingin
berjumpa dengan wanita yang di sapa ibu. Namun, nihil. Ia yang di sapa ibu tak
kunjung ada. Lantas, kemanakah ia yang kami sebut mama?
Itulah
pertanyaan awal kami ketika kaki dan hati terlampau pintu rumah yang sederhana.
Dengan hati sedikit risau dan rindu yang kian merimbun, kami mencari seluruh
isi rumah. Dan kami pun tak menemukan sosok wanita paruh baya itu. Sontak,
gadis kecil bernama Rilan menyapa kami di balik kain jendela dengan nada sedikit gusar dan melemah. “Kakak Frater?”. Melihat kami yang
kebingungan layaknya anak ayam yang kehilangan induknya, ia lalu melanjutkan
kalimatnya, “Kak Frater cari mama?” tukasnya. Jawab kami serempak, ‘Ia nona,
mama di mana?’ dengan tergesa-gesa menjawabnya. ‘Mama ada di rumah sebelah’,
jawabnya lagi.Singkat
cerita, percakapan yang melow dan emosional menghantar kami pada pertemuan
dengan mama. Sesampainya di rumah tujuan kami, pandangan mati kami seakan-akan
menitihkan air mata. Tak menyangka, bahwa seorang ibu yang selama ini sangat
kuat, tegar dan penuh cinta terbaring lemas di atas ranjang, yang beralaskan
tempat tidur seadanya. Nampak kala itu, raut wajah kesakitan dan badan yang
kian ringkih, ia masih memberikan secuil senyum harapan untuk kami. Apakah arti
senyuman itu hanya untuk menenangkan hati kami yang tak mampu melihat keadaan
sekarang ataukah menyembunyikan sakit yang jauh lebih ganas, meranggas dan
merasuki seluruh tubuhnya yang fana?
Ahhhh,,
hampir saja air mata kami membanjiri rumah. Hanya saja, kami menahannya agar ia
tak mengetahuinya, betapa kami tak sanggup melihat keadaanya yang begitu
menyedihkan dan menyayat hati kami. Ketika pandangan kami bertemu, air matanya
perlahan menetes. Kami berusaha menenangkannya, yang walaupun sebenarnya kami
pun tak mampu menahannya. Dengan segala cinta dan kasih seorang ibu, ia berujar
kepada kami, ‘nak, maafkan ibu! Kali ini kalian datang, ibu dengan keadaan
seperti ini. Ibu tahu kalian pasti sedih melihat kondisi ibu ini, tapi tak
apa-apa, ibu baik-baik saja. Ibu sudah sangat senang bisa melihat kalian lagi.
Kalian harus capai apa yang menjadi cita-cita kalian, jangan mudah menyerah
yahh,, ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian’. Kata-kata ini sangat
purba untuk kita yang merasa biasa-biasa saja, tetapi ketulusan dan cinta yang
mengiringi setiap hurufnya, menjadikan doa paling suci dan puisi paling syahdu
untuk didendangkan.
Setelah
sekian tahun tak kunjung temu, liburan ini menjadi awal pertemuan lagi dengan
ibu kami yang sedang sekarat. Hari-hari hidup terasa hambar dan tak
menyenangkan. Suasana yang biasanya riuh dan ria kini perlahan sepi. Sunyi.
Hening. Tenang.
Sebelum
dan sesudah bangun tidur, kami sempatkan mendikte dan menggugat Tuhan
barangkali secercah harapan ia kembali pulih.
Kadang
kita tidak pernah menyangka sekuat dan segigih apa pun tubuh kita, lantas kita
hanya bisa berpasrah. Syukur jika kita sembuh dan kembali beraktivitas seperti
sedia kala. Tetapi jika kita belum sembuh dan masih kekal dengan sakit, yang
ada hanyalah cercaan tanpa ampun untuk
diri sendiri. Barangkali Tuhan?
Hari-hari
liburan frater berdua diisi dengan menjaga dan merawat mama yang mereka kasihi.
Tiap tawa dan senyum simpul mama tidak terasa lagi seperti dulu-dulu. Mungkin
saja ia terpaksa memberi senyum. Agar kami terlihat kuat dan terima kenyataan
yang ada.
Perjumpaan
itu akhirnya selesai dengan masa liburan. Kedua frater kembali ke biara
menjalani rutinitas mereka sebagaimana adanya. Tiada hari tanpa mendoakan
beliau. Tiap mata dipejamkan, selalu ada namanya disebut. Kiranya yang punya
kuasa menyembuhkan dapat menyembuhkan beliau.
~ ~ ~ ~
Berbulan-bulan
ia berjalan bersama sakit, beriringan layaknya pasangan yang tak mau lepas
pisah. Rasa sakit terus saja menggerogoti setiap urat-urat semangat untuk kembali
berjuang menikmati hari hidupnya. Lantas, sakit masih dan tak kunjung sembuh.
Beberapa dokter dan rumah sakit sudah dikunjunginya, ratusan jenis obat sudah
dikosumsinya, bahkan tabib pun di panggilnya.
Ujud intensi pun di doakan setiap Minggunya. Alhasil, beliau masih
dengan rasa dan perasaan yang sama. Kalut. Kesakitan. Ia pasrah.
Medio
September tepatnya tanggal 13 beliau terlelap dengan kekal. Mata tak lagi buka,
jantung tidak lagi berdetak dan mulut tak lagi berkutat. Ia diam penuh luka.
Sepi penuh tanya. Selesai sudah?
Tidak
ada lagi jumpa, sisa-sisa kenangan membekas, dekap dan akan selalu tersimpan.
Dulu,
senyumnya memabukan anak-anak. Tuturnya yang bernas dan penuh kerinduan. Kini
Senyumnya menggenang, tawanya dikenang.
Martina,
Luka
dan sakit jadi lupa.
Mata
pejam kekal dan doa tidak lagi syahdu kau dendangkan.
Senyum
dan tawa yang dulu penuh lugu
Tinggal
sisa abu dan debu.
Tanah
bersorak riang, kami penuh duka mengenang.
Lantas
kami persalahkan Tuhan?
Boleh
jadi, kami belum puas menikmati rindu.
Kerut
di dahi belum tergores sama sekali.
Terlalu
dini.
Dan
masih terlalu dini.
Singkat
saja, Martina kami rindu.
Medio
September 2022
Paviliun
Ludovikus
Oleh:Fand
Wasa, Fratar Tingkat IV
0 Comments