Antologi Puisi Puisi
Ama Cole
SUNYI
YANG TERAKHIR
:untuk ibu yang telanjur tiada
English Literatur
Kini terasa begitu berbeda, kita tak
bersua.
Ada waktu tuk bersama, dan kini terpisah.
Siapa lagi yang memberi sesuap pada tubuh
puisi ini.
Aku harus sepi tak lagi aroma tungkumu menusuk.
Mak!
Panggilku berulang tak bertulang sebab
tiadamu.
Apa aku harus merayu Tuhan,
biar sejenak aku mengenangmu?
Aku harus terus menerima beban rindu ini,
jika begini jangan beri aku cinta.
Toh… atas nama cinta kau pergi,
Toh… atas nama cinta Dia memanggilmu.
Terus aku harus menulis puisi doa,
atas nama cinta kumelihat sunyimu yang
terakhir.
Memang Dia lebih mencintaimu,
pergilah tapi tidak cintamu ibu.
JERUJI RINDU
Kemana seperti yang tertawan aku pasrah,
butiran hujan yang jatuh tak bisa menjadi mendung.
Lalu aku hanya terjebaku pada waktu
yang hilang membawa semua milik kita.
Percuma malam ini tak akan menjadi senja.
Aku hanya tak tahu tanpa semuamu
mungkin satu yang kubisa dan selalu kutemani
menawan
seribu rindu pada jeruji kata.
Jeruji rindu yang selalu menunggu
senja
Aku ingin menjadi semua milikmu
tersisa adalah setiap hariku adalah
hadirmu
PELANGI
SESAL
Raga penuh belukar darah yang merontah
sebab nada paling sesal berlutut di senja ungu.
Sedang Kau sudi meminum dari cangkir yang
retak
jika raga boleh kembali pada pintu,
menemanimu yang duduk di sana, pada senja
yang sama.
Aku boleh bercerita sesal yang tertunda,
bila kau mau menumpas ampas yang
menggelegar
dan aku secangkir indah,
penampung segala pelangi sesal ini.
Asal kau tahu saja kita tak berdusta pada
rindu desember
aku yang menanti pada senja yang
bergerimis ini,
mungkin kandangmu punya cerita:
Aku dan kamu di pangkuan bunda.
Ama Cole: Pecinta Puisi, Unit Agustinus-Ledalero
0 Comments