DUKA BERUJUNG
SUKA
Debur ombak menghantam keras bebatuan dan
gemuruhnya memecah keheningan senja itu. Hati Ina Marta kacau balau laksana
gumpalan ombak yang luluh lantah di bibir karang. Kaki rentanya basah kuyup,
sedangkan matanya kosong menatap harap ke arah Pelabuhan Waikelo. Ia tak
sedikitpun mengacuhkan suara alam yang kian senja kian mengerikan. Sejuta beban
dan penat telah lama bersarang dalam hati dan pikirannya. Semuanya dipikul oleh
wanita setengah abad ini.
"Bu,mengapa setiap sore ibu selalu menyendiri
di sini ?" Suara Agus memecah kesunyian hati Marta. Agus adalah buah hati
tunggal perkawinan tak direstui antara Marta dan Martinus.
"Ibu menunggu kedatangan ayah kamu Gus.
Sejak kamu masih dalam kandungan ibu, ayah kamu merantau ke negeri tetangga
bersama temannya. Waktu itu ayah kamu berangkat melalui pelabuhan ini
menggunakan kapal barang yang tak jelas apa namanya. Ayah kamu berjanji akan
pulang setelah kamu masuk SD sekaligus uang untuk membayar belis ibu
terkumpul." Sahut Ina Marta.
Agus membantah dengan lugunya, "Tapi
sekarang Agus sudah tamat SD bu, mengapa ayah tak kunjung datang? Agus bosan dengan
ejekan teman-teman yang mengatakan kalau Agus anak haram.”
Marta terdiam terpaku tanpa kata. Air
matanya jatuh menimpa kerapuhan hatinya. "Mungkinkah Martinus telah
menjumpai wanita lain yang lebih layak dariku? Atau orang tua wanita itu tidak
seperti orang tuaku yang gila akan harta benda dan kehormatan dalam masyarakat?
Ohh Tuhan darah biruku menciptakan jurang pemisah antara aku dan Martinus.
Jurang itu terlampau dalam yang membuat Martinus sulit menjangkau aku dengan
tangannya yang dekil, lugu dan tak punya apa-apa. Mengapa harus ada darah yang
berwarna biru dalam diriku Tuhan? Hatinya dan hatiku harus dipisahkan oleh
serakahnya darah biru ini. Tunjukan caranya Tuhan, agar aku dapat mengeluarkan
dan membuang jauh darah biru dalam diriku ini." Hati Marta menangis
sejadi-jadinya.
Agus menarik kaleku (tas tempat sirih pinang khas Sumba) Ina Marta. "Bu,
ayo kita pulang, hari sudah mulai malam."
Sebagai anak lelaki Agus tidak tega
melihat luka yang semakin hari semakin bernanah dan membusuk dalam hati Ina
Marta. Hepa makanan favorit wanita
Sumba pun tak berdaya guna bila hati Ina Marta sedang dilanda duka seperti ini.
Tubuh tuanya kian renta termakan usia dan beban pikiran. Sedangkan usaha
Martinus mengais rejeki demi membayar belis tak kunjung usai. Harapan Marta
akan kembalinya Martinus tak pernah lekang oleh waktu. Ia tahu Martinus adalah
seorang pekerja keras dan sosok yang tulus menyayangi Marta dan Agus.
Pada suatu pagi yang teduh sebelum hiruk-pikuk
dunia mengusik tenang, Agus mengumpulkan niat dan mengatakan keinginannya untuk
merantau mencari uang sekaligus mencari Martinus. Jantung Marta seperti
berhenti berdetak mendengar keinginan anaknya. Tentu saja Marta tak ingin
kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Apa lagi saat ini hanya Aguslah
harta semata wayangnya.
Berbekal ijazah Sekolah Dasar Agus
berkeras hati untuk tetap merantau. Agus tidak sanggup melihat Marta bergumul
dalam penantian yang tak kunjung sampai. Dengan barang bawaan seadanya Agus
menuju ke pelabuhan menanti datangnya kapal. Ina Marta membuntuti Agus sembari
berharap agar Agus mengurung niatnya. Sekitar setengah jam berada di pelabuhan terdengarlah
gemuruh bel kapal dan tampak dari jauh suatu benda hitam dengan asap mengepul
mendekat ke arah pelabuhan. Dalam waktu singkat kapal telah sandar dan Agus
menunggu gilirannya untuk mengambil posisi sebagai penumpang kapal. Ina Marta
tak henti-hentinya meneteskan air mata. Satu persatu penumpang turun
berdesak-desakkan sampai pada satu penumpang terakhir yang tak asing di mata
Ina Marta. Samar-samar Ina Marta melihat sosok dengan tubuh tinggi semampai,
kulit sawo matang, hidung mancung dan rambut bergulung-gulung bak ombak Pantai
Weekuri. Sosok itu amat familiar di mata dan kenangan Ina Marta. Seketika
pandangan keduanya bertemu. Saat itu juga wajah murung Ina Marta berganti
senyum sumringah dan Agus bingung tak keruan. Ternyata lelaki paruh baya itu
adalah Martinus suami Marta, ayah Agus.
Belasan tahun doa dan penantian terjawab
sudah. Ketiganya berpelukkan walaupun Agus sebenarnya dalam keadaan tak tahu
apa-apa. Sejak lahir, Agus belum pernah sekali pun bertemu atau melihat foto
Martinus. Martinus tidak seperti dulu lagi. Tentu saja usaha dan kerja kerasnya
selama ini menggerogoti tubuh kekarnya. Mimpi besar Agus untuk merantau batal
dalam tempo sesingkat-singkatnya. Martinus amat yakin hasil kerja kerasnya
selama ini mampu membayar lunas mahar atau belis kepada orang tua Marta. Ia
akan dengan bangganya menunjukan rasa tanggung jawab dan wibawanya kepada orang
tua Marta walaupun sebenarnya orang tua Marta telah lama kembali ke pangkuan
Yang Ilahi.
__________________________________
Tentang Penulis
Rian Ibe berasal dari Bajawa. Ia sedang melanjutkan pendidikannya di IFTK Ledalero semester V.
0 Comments