CERPEN RIAN IBE-DUKA BERUJUNG SUKA

 

 

Pixabay.com

DUKA BERUJUNG SUKA

Debur ombak menghantam keras bebatuan dan gemuruhnya memecah keheningan senja itu. Hati Ina Marta kacau balau laksana gumpalan ombak yang luluh lantah di bibir karang. Kaki rentanya basah kuyup, sedangkan matanya kosong menatap harap ke arah Pelabuhan Waikelo. Ia tak sedikitpun mengacuhkan suara alam yang kian senja kian mengerikan. Sejuta beban dan penat telah lama bersarang dalam hati dan pikirannya. Semuanya dipikul oleh wanita setengah abad ini.

 "Bu,mengapa setiap sore ibu selalu menyendiri di sini ?" Suara Agus memecah kesunyian hati Marta. Agus adalah buah hati tunggal perkawinan tak direstui antara Marta dan Martinus.

 "Ibu menunggu kedatangan ayah kamu Gus. Sejak kamu masih dalam kandungan ibu, ayah kamu merantau ke negeri tetangga bersama temannya. Waktu itu ayah kamu berangkat melalui pelabuhan ini menggunakan kapal barang yang tak jelas apa namanya. Ayah kamu berjanji akan pulang setelah kamu masuk SD sekaligus uang untuk membayar belis ibu terkumpul." Sahut Ina Marta.

 Agus membantah dengan lugunya, "Tapi sekarang Agus sudah tamat SD bu, mengapa ayah tak kunjung datang? Agus bosan dengan ejekan teman-teman yang mengatakan kalau Agus anak haram.”

Marta terdiam terpaku tanpa kata. Air matanya jatuh menimpa kerapuhan hatinya. "Mungkinkah Martinus telah menjumpai wanita lain yang lebih layak dariku? Atau orang tua wanita itu tidak seperti orang tuaku yang gila akan harta benda dan kehormatan dalam masyarakat? Ohh Tuhan darah biruku menciptakan jurang pemisah antara aku dan Martinus. Jurang itu terlampau dalam yang membuat Martinus sulit menjangkau aku dengan tangannya yang dekil, lugu dan tak punya apa-apa. Mengapa harus ada darah yang berwarna biru dalam diriku Tuhan? Hatinya dan hatiku harus dipisahkan oleh serakahnya darah biru ini. Tunjukan caranya Tuhan, agar aku dapat mengeluarkan dan membuang jauh darah biru dalam diriku ini." Hati Marta menangis sejadi-jadinya.

Agus menarik kaleku (tas tempat sirih pinang khas Sumba) Ina Marta. "Bu, ayo kita pulang, hari sudah mulai malam."

Sebagai anak lelaki Agus tidak tega melihat luka yang semakin hari semakin bernanah dan membusuk dalam hati Ina Marta. Hepa makanan favorit wanita Sumba pun tak berdaya guna bila hati Ina Marta sedang dilanda duka seperti ini. Tubuh tuanya kian renta termakan usia dan beban pikiran. Sedangkan usaha Martinus mengais rejeki demi membayar belis tak kunjung usai. Harapan Marta akan kembalinya Martinus tak pernah lekang oleh waktu. Ia tahu Martinus adalah seorang pekerja keras dan sosok yang tulus menyayangi Marta dan Agus. 

Pada suatu pagi yang teduh sebelum hiruk-pikuk dunia mengusik tenang, Agus mengumpulkan niat dan mengatakan keinginannya untuk merantau mencari uang sekaligus mencari Martinus. Jantung Marta seperti berhenti berdetak mendengar keinginan anaknya. Tentu saja Marta tak ingin kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Apa lagi saat ini hanya Aguslah harta semata wayangnya.

Berbekal ijazah Sekolah Dasar Agus berkeras hati untuk tetap merantau. Agus tidak sanggup melihat Marta bergumul dalam penantian yang tak kunjung sampai. Dengan barang bawaan seadanya Agus menuju ke pelabuhan menanti datangnya kapal. Ina Marta membuntuti Agus sembari berharap agar Agus mengurung niatnya. Sekitar setengah jam berada di pelabuhan terdengarlah gemuruh bel kapal dan tampak dari jauh suatu benda hitam dengan asap mengepul mendekat ke arah pelabuhan. Dalam waktu singkat kapal telah sandar dan Agus menunggu gilirannya untuk mengambil posisi sebagai penumpang kapal. Ina Marta tak henti-hentinya meneteskan air mata. Satu persatu penumpang turun berdesak-desakkan sampai pada satu penumpang terakhir yang tak asing di mata Ina Marta. Samar-samar Ina Marta melihat sosok dengan tubuh tinggi semampai, kulit sawo matang, hidung mancung dan rambut bergulung-gulung bak ombak Pantai Weekuri. Sosok itu amat familiar di mata dan kenangan Ina Marta. Seketika pandangan keduanya bertemu. Saat itu juga wajah murung Ina Marta berganti senyum sumringah dan Agus bingung tak keruan. Ternyata lelaki paruh baya itu adalah Martinus suami Marta, ayah Agus.

Belasan tahun doa dan penantian terjawab sudah. Ketiganya berpelukkan walaupun Agus sebenarnya dalam keadaan tak tahu apa-apa. Sejak lahir, Agus belum pernah sekali pun bertemu atau melihat foto Martinus. Martinus tidak seperti dulu lagi. Tentu saja usaha dan kerja kerasnya selama ini menggerogoti tubuh kekarnya. Mimpi besar Agus untuk merantau batal dalam tempo sesingkat-singkatnya. Martinus amat yakin hasil kerja kerasnya selama ini mampu membayar lunas mahar atau belis kepada orang tua Marta. Ia akan dengan bangganya menunjukan rasa tanggung jawab dan wibawanya kepada orang tua Marta walaupun sebenarnya orang tua Marta telah lama kembali ke pangkuan Yang Ilahi.

__________________________________

Tentang Penulis

Rian Ibe berasal dari Bajawa. Ia sedang melanjutkan pendidikannya di IFTK Ledalero semester V.

Post a Comment

0 Comments